Puasa Memperkuat Arti Kebebasan, Persaudaraan dan Persamaan dalam Jiwa Manusia

Kamis, 21 Maret 2024 - 14:48 WIB
Apabila taklid dalam iman belum dapat disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa. Ilustrasi: SINDOnews
Sebelum Islam, banyak orang yang telah melakukan puasa dengan cara yang bermacam-macam, yang secara tekun dilakukannya dalam waktu-waktu tertentu setiap minggu atau setiap bulan.

"Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah buat manusia dengan diwajibkan kepada mereka berpuasa selama beberapa hari yang sudah ditentukan, supaya dalam pada itu semua sama, dengan diberikan pula kesempatan fidyah ," tulis Muhammad Husain Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Sejarah Hidup Muhammad".

Mereka masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada kesempatan lain.

Menurutnya, kewajiban berpuasa selama hari-hari yang sudah ditentukan untuk memperkuat arti persaudaraan dan persamaan di hadapan Tuhan, sungguh suatu latihan rohani yang luarbiasa.



Semua orang, selama menahan diri sejak fajar hingga malam hari mereka telah melaksanakan persamaan itu antara sesama mereka, sama halnya seperti dalam sembahyang jamaah .

Dengan persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu perasaan yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam mengecap kenikmatan rejeki yang diberikan Tuhan kepadanya.

Dengan demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan, persaudaraan dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya dengan sembahyang.

"Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan penuh kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin bertentangan dengan cara-cara berpikir yang sehat, yang telah dapat memahami tujuan hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita arti puasa yang dapat membebaskan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai latihan dalam menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri," ujar Haekal.

Di samping itu kita pun sudah diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya sendiri - dengan kehendak Tuhan - mengenai batas-batas rohani dan mentalnya sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang paling tinggi itu.



Menurut Haekal, apabila taklid dalam iman belum dapat disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa.

Oleh karena itu, orang yang bertaklid menganggap puasanya suatu kekangan dan membatasi kebebasannya - sebaliknya daripada dapat memahami arti pembebasan dari belenggu kebiasaan serta konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu.

Apabila dengan jalan latihan rohani ini manusia telah sampai kepada arti hukum dan rahasia-rahasia alam dan mengetahui pula di mana tempatnya dan tempat anak manusia ini, cintanya kepada sesama anak manusia akan lebih besar lagi, dan semua anak manusia saling cinta dalam Tuhan.

"Mereka akan saling tolong-menolong untuk kebaikan dan rasa takwa - menjaga diri dari kejahatan. Yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya mengulurkan tangan kepada yang tidak punya," katanya.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Manusia yang paling dibenci Allah adalah yang keras kepala dan suka membantah.

(HR. Bukhari No. 6651)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More