Kisah Pasukan Muslim Menumpas Kekuasaan Para Kisra Persia
Kamis, 25 April 2024 - 13:38 WIB
Pasukan Muslim telah memenangkan pertempuran Nahawand. Pihak Persia kehilangan kota-kota di sekitar wilayah tersebut, termasuk kota penting Sephahan, yang kini bernama Isfahan di Iran . Nahawand dan Hamazan juga ada di dalamnya.
Nahawand dan Hamazan terletak di pusat Irak-Persia . Kedua wilayah ini merupakan tulang punggung kerajaan Persia. Penduduknya terdiri dari orang-orang Persia dalam arti ras, bahasa dan agama, yang tak punya hubungan nasab dengan penduduk Irak-Arab, juga mereka tidak mengenal bahasa Arab .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi " Umar bin Khattab " (PT Pustaka Litera AntarNusa, April 2000) mengisahkan takluknya Nahawand terhadap Muslim, merupakan bencana yang menimpa jantung Raja Diraja Kisra.
Tak ada jalan lain. Raja Kisra harus tunduk dan menyerah kepada kekuasaan Muslimin. Keadaan itu terutama sekali menjadi demikian, karena Irak-Persia itu terletak di tengah-tengah kawasan kerajaan seluruhnya: di bagian utaranya Azerbaijan, Tabaristan dan Jailan, di bagian timurnya Saman dan sahara Iran, di bagian selatannya Persia dan Kirman dan di bagian baratnya Khuzistan.
Di Irak-Persia itu terdapat beberapa kota besar yang sudah merupakan ibu kota, seperti Isfahan, Hamazan dan Ray. Kalau pasukan Muslimin dapat menerobos ke sana dan menguasai kotakota itu, pintu seluruh Iran akan terbuka bagi mereka dan akan dapat mereka masuki. Alangkah mustahilnya sesudah itu akan ada kekuatan yang dapat membendung mereka!
Raja Kisra Yazdigird sudah melihat sendiri sejak pasukan Muslim menang di Kadisiah, bergerak maju dari Irak-Arab ke Mada’in dan Jalula, lalu menempati Basrah dan Kufah, menghancurkan perlawanan Hormuzan di Khuzistan, selanjutnya menghadapi kekuatan Persia yang dipusatkan di Nahawand hingga habis ditumpas samasekali.
Raja Diraja
Pada era Pra-Islam, beberapa wilayah di Persia masing-masing diperintah oleh seorang pangeran panglima perang, lalu ia menobatkan diri sebagai rajanya, yang bebas mengatur urusan mereka sendiri pula. Kemudian wilayah-wilayah itu bergabung dalam satu kesatuan di bawah pimpinan seorang Kisra, yang mengatur segala urusannya, dan Baginda mendapat gelar "Raja Diraja."
Persia memerangi semua negeri tetangga di timur dan di barat, dan kekuasaannya bertambah luas, sampai kemudian datang Iskandar Agung. Mereka segera dikalahkan dan ia membentangkan kekuasaannya ke seluruh negeri itu.
Politik Iskandar membiarkan kekuasaan dalam negeri di tangan anak negeri. Itu sebabnya para penguasa Persia itu tetap dengan kekuasaan masing-masing, seperti dulu ketika mereka mengangkat diri sendiri sebagai raja-raja di seluruh wilayah itu.
Mereka lebih kuat lagi berpegang pada kerajaan itu. Sesudah masa kekuasaan Iskandar, Persia kembali memperoleh kemerdekaannya, diperintah oleh keluarga Sasani sebagai Kisra, dengan Mada'in sebagai ibu kotanya, kendati pangeran-pangeran dan para marzaban itu tetap dengan kekuasaan mereka di wilayahnya masing-masing.
Dinasti Sasani di Persia ini kembali dengan sejarah lamanya, berperang dan mengadakan perluasan wilayah. Mereka memperoleh kekayaan yang melimpah dari berbagai kawasan yang mereka kuasai itu, membuat warganya cenderung hidup mewah dengan cara yang mencolok.
Selama bertahun-tahun Persia sudah merasa puas dengan segala kemewahan itu dengan berbagai cara yang beraneka macam. Ini membuat mereka sedikit demi sedikit makin terdorong oleh nafsu kehidupan dunia.
Akibatnya yang mereka wariskan kepada bangsanya adalah kelemahan, dan sifat-sifat kepahlawanan serta keberanian yang semula menjadi kebanggaan leluhur mereka berangsur surut.
Di samping itu mereka tidak pula menyiapkan gantinya berupa kesungguhan hati dan ketabahan yang akan menumbuhkan peradaban yang sehat ke dalam jiwa mereka yang mewarisinya itu.
Sedikit demi sedikit kekuasaan mereka berangsur menyusut. Dalam abad ketujuh Masehi, untuk mengembalikan kekuatan dan kekuasaan itu mereka mencoba memerangi Romawi. Mereka berhasil dan dapat menguasai Baitulmukadas dan Mesir.
Kekalahan Romawi menghadapi Persia ini karena rusaknya pemerintahan dan sistem organisasi yang memang sudah merajalela.
Sesudah tampuk pimpinan Romawi dipegang oleh Heraklius, Persia dapat dipukul mundur, dan Salib Besar dapat direbutnya kembali. Kekalahan Persia itu tidak terbatas hanya pada mundurnya sampai ke perbatasan, tetapi semangat mereka sudah pula lemah, kekacauan makin terbuka dalam istana mereka, kepercayaan kepada diri sendiri hilang.
Setelah tiba-tiba pihak Arab datang, faktor-faktor inilah yang membuat mereka makin rapuh. Mereka sudah tak mampu lagi bertahan di hadapan para penyerbu itu, masing-masing mencari keselamatan untuk dirinya, para pangerannya mencari kekuasaan palsu di samping sang penakluk, menikmatinya walaupun untuk sementara, dengan membiarkan Kisra lambang persatuan dan kebanggaan mereka ke mana saja dibawa oleh nasib.
Demikianlah keadaan penguasa Persia itu, termasuk sebagian besar marzaban dan pangeran-pangerannya.
Memburu Kisra
Adapun Khalifah Umar bin Khattab tak berselang lama setelah merasa lega dengan kemenangan pasukannya di Nahawand dan persetujuan yang dicapai dengan pihak Hamazan, ia teringat pada kata-kata Ahnaf bin Qais, bahwa Persia akan terus mengadakan perlawanan terhadap pasukan Muslimin selama Yazdigird masih berada di tengah-tengah mereka.
Maka tak mungkin ada dua raja berkumpul, salah satunya harus keluar. Jadi kalau begitu tak ada jalan lain ia harus mengejar pasukan Persia ke segenap pelosok kerajaan itu sampai Kisra dapat diusir dan hanya pasukan Muslimin yang akan berkuasa di sana.
Khalifah Umar tidak memberangkatkan brigade-brigade yang dibentuknya itu untuk menjelajahi kawasan Persia sebelum ia dapat membebaskan seluruh Irak-Persia.
Dengan demikian ia dapat melindungi barisan belakangnya, mengamankan jalur penarikan kembalinya serta menguasai jalan-jalan yang akan digunakan untuk membawa bala bantuan dari Irak-Arab dan Semenanjung untuk memperkuat pasukannya.
Nahawand dan Hamazan terletak di pusat Irak-Persia . Kedua wilayah ini merupakan tulang punggung kerajaan Persia. Penduduknya terdiri dari orang-orang Persia dalam arti ras, bahasa dan agama, yang tak punya hubungan nasab dengan penduduk Irak-Arab, juga mereka tidak mengenal bahasa Arab .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi " Umar bin Khattab " (PT Pustaka Litera AntarNusa, April 2000) mengisahkan takluknya Nahawand terhadap Muslim, merupakan bencana yang menimpa jantung Raja Diraja Kisra.
Tak ada jalan lain. Raja Kisra harus tunduk dan menyerah kepada kekuasaan Muslimin. Keadaan itu terutama sekali menjadi demikian, karena Irak-Persia itu terletak di tengah-tengah kawasan kerajaan seluruhnya: di bagian utaranya Azerbaijan, Tabaristan dan Jailan, di bagian timurnya Saman dan sahara Iran, di bagian selatannya Persia dan Kirman dan di bagian baratnya Khuzistan.
Di Irak-Persia itu terdapat beberapa kota besar yang sudah merupakan ibu kota, seperti Isfahan, Hamazan dan Ray. Kalau pasukan Muslimin dapat menerobos ke sana dan menguasai kotakota itu, pintu seluruh Iran akan terbuka bagi mereka dan akan dapat mereka masuki. Alangkah mustahilnya sesudah itu akan ada kekuatan yang dapat membendung mereka!
Raja Kisra Yazdigird sudah melihat sendiri sejak pasukan Muslim menang di Kadisiah, bergerak maju dari Irak-Arab ke Mada’in dan Jalula, lalu menempati Basrah dan Kufah, menghancurkan perlawanan Hormuzan di Khuzistan, selanjutnya menghadapi kekuatan Persia yang dipusatkan di Nahawand hingga habis ditumpas samasekali.
Raja Diraja
Pada era Pra-Islam, beberapa wilayah di Persia masing-masing diperintah oleh seorang pangeran panglima perang, lalu ia menobatkan diri sebagai rajanya, yang bebas mengatur urusan mereka sendiri pula. Kemudian wilayah-wilayah itu bergabung dalam satu kesatuan di bawah pimpinan seorang Kisra, yang mengatur segala urusannya, dan Baginda mendapat gelar "Raja Diraja."
Persia memerangi semua negeri tetangga di timur dan di barat, dan kekuasaannya bertambah luas, sampai kemudian datang Iskandar Agung. Mereka segera dikalahkan dan ia membentangkan kekuasaannya ke seluruh negeri itu.
Politik Iskandar membiarkan kekuasaan dalam negeri di tangan anak negeri. Itu sebabnya para penguasa Persia itu tetap dengan kekuasaan masing-masing, seperti dulu ketika mereka mengangkat diri sendiri sebagai raja-raja di seluruh wilayah itu.
Mereka lebih kuat lagi berpegang pada kerajaan itu. Sesudah masa kekuasaan Iskandar, Persia kembali memperoleh kemerdekaannya, diperintah oleh keluarga Sasani sebagai Kisra, dengan Mada'in sebagai ibu kotanya, kendati pangeran-pangeran dan para marzaban itu tetap dengan kekuasaan mereka di wilayahnya masing-masing.
Dinasti Sasani di Persia ini kembali dengan sejarah lamanya, berperang dan mengadakan perluasan wilayah. Mereka memperoleh kekayaan yang melimpah dari berbagai kawasan yang mereka kuasai itu, membuat warganya cenderung hidup mewah dengan cara yang mencolok.
Selama bertahun-tahun Persia sudah merasa puas dengan segala kemewahan itu dengan berbagai cara yang beraneka macam. Ini membuat mereka sedikit demi sedikit makin terdorong oleh nafsu kehidupan dunia.
Akibatnya yang mereka wariskan kepada bangsanya adalah kelemahan, dan sifat-sifat kepahlawanan serta keberanian yang semula menjadi kebanggaan leluhur mereka berangsur surut.
Di samping itu mereka tidak pula menyiapkan gantinya berupa kesungguhan hati dan ketabahan yang akan menumbuhkan peradaban yang sehat ke dalam jiwa mereka yang mewarisinya itu.
Sedikit demi sedikit kekuasaan mereka berangsur menyusut. Dalam abad ketujuh Masehi, untuk mengembalikan kekuatan dan kekuasaan itu mereka mencoba memerangi Romawi. Mereka berhasil dan dapat menguasai Baitulmukadas dan Mesir.
Kekalahan Romawi menghadapi Persia ini karena rusaknya pemerintahan dan sistem organisasi yang memang sudah merajalela.
Sesudah tampuk pimpinan Romawi dipegang oleh Heraklius, Persia dapat dipukul mundur, dan Salib Besar dapat direbutnya kembali. Kekalahan Persia itu tidak terbatas hanya pada mundurnya sampai ke perbatasan, tetapi semangat mereka sudah pula lemah, kekacauan makin terbuka dalam istana mereka, kepercayaan kepada diri sendiri hilang.
Setelah tiba-tiba pihak Arab datang, faktor-faktor inilah yang membuat mereka makin rapuh. Mereka sudah tak mampu lagi bertahan di hadapan para penyerbu itu, masing-masing mencari keselamatan untuk dirinya, para pangerannya mencari kekuasaan palsu di samping sang penakluk, menikmatinya walaupun untuk sementara, dengan membiarkan Kisra lambang persatuan dan kebanggaan mereka ke mana saja dibawa oleh nasib.
Demikianlah keadaan penguasa Persia itu, termasuk sebagian besar marzaban dan pangeran-pangerannya.
Memburu Kisra
Adapun Khalifah Umar bin Khattab tak berselang lama setelah merasa lega dengan kemenangan pasukannya di Nahawand dan persetujuan yang dicapai dengan pihak Hamazan, ia teringat pada kata-kata Ahnaf bin Qais, bahwa Persia akan terus mengadakan perlawanan terhadap pasukan Muslimin selama Yazdigird masih berada di tengah-tengah mereka.
Maka tak mungkin ada dua raja berkumpul, salah satunya harus keluar. Jadi kalau begitu tak ada jalan lain ia harus mengejar pasukan Persia ke segenap pelosok kerajaan itu sampai Kisra dapat diusir dan hanya pasukan Muslimin yang akan berkuasa di sana.
Khalifah Umar tidak memberangkatkan brigade-brigade yang dibentuknya itu untuk menjelajahi kawasan Persia sebelum ia dapat membebaskan seluruh Irak-Persia.
Dengan demikian ia dapat melindungi barisan belakangnya, mengamankan jalur penarikan kembalinya serta menguasai jalan-jalan yang akan digunakan untuk membawa bala bantuan dari Irak-Arab dan Semenanjung untuk memperkuat pasukannya.
Baca Juga
(mhy)
Lihat Juga :