Syarat Sah Perkawinan: Mengapa Harus Ada Wali dari Pihak Calon Istri?
Sabtu, 29 Juni 2024 - 20:02 WIB
Prof Quraish Shihab mengatakan untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi SAW.
Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996) menjelaskan adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi SAW . "Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali."
Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada para wali:
"... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf." ( QS Al-Baqarah [2] : 232).
Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki, "Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di atas tidak ada artinya," dan karena itu pula terhadap para wali ditujukan firman Allah.
"Janganlah kamu menikahkan (mengawinkan) orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka beriman." (QS Al-Baqarah [2]: 221).
Sedang ketika Al-Quran berbicara kepada kaum pria nyatakannya,
"Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu." (QS AlBaqarah [2]: 221).
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:
"Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut." (QS Al-Baqarah [2): 234).
Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita bebas melakukan apa saja yang baik --bukan sekadar berhias, bepergian, atau menerima pinangan-- sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali.
Di samping itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga --dan bukan hanya sekali--menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya firman-Nya,
"Sampai dia menikah dengan suami yang lain." (QS Al-Baqarah [2]: 230).
Quraish menjelaskan perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis.
"Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas," katanya.
Quraish berpendapat amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.
Ini sejalan dengan jiwa perintah Al-Quran yang menyatakan, "Nikahilah mereka atas izin keluarga (tuan mereka." ( QS Al-Nisa' [4] : 25). Walaupun ayat ini turun berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini.
Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996) menjelaskan adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi SAW . "Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali."
Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada para wali:
"... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf." ( QS Al-Baqarah [2] : 232).
Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki, "Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di atas tidak ada artinya," dan karena itu pula terhadap para wali ditujukan firman Allah.
"Janganlah kamu menikahkan (mengawinkan) orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka beriman." (QS Al-Baqarah [2]: 221).
Sedang ketika Al-Quran berbicara kepada kaum pria nyatakannya,
"Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu." (QS AlBaqarah [2]: 221).
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:
"Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut." (QS Al-Baqarah [2): 234).
Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita bebas melakukan apa saja yang baik --bukan sekadar berhias, bepergian, atau menerima pinangan-- sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali.
Di samping itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga --dan bukan hanya sekali--menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya firman-Nya,
"Sampai dia menikah dengan suami yang lain." (QS Al-Baqarah [2]: 230).
Quraish menjelaskan perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis.
"Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas," katanya.
Quraish berpendapat amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.
Ini sejalan dengan jiwa perintah Al-Quran yang menyatakan, "Nikahilah mereka atas izin keluarga (tuan mereka." ( QS Al-Nisa' [4] : 25). Walaupun ayat ini turun berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini.
(mhy)