Begini Alasan Ulama yang Mengharamkan Nikah Misyar

Selasa, 31 Oktober 2023 - 19:10 WIB
loading...
Begini Alasan Ulama yang Mengharamkan Nikah Misyar
Solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya lebih banyak. Ilustrasi: Ist
A A A
Sejumlah ulama kontemporer mengharamkan pernikahan misyar. Di antara argumen mereka adalah lantaran menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini. Oleh arena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran.

Chomim Tohari dari Islamic Law Marmara University Turkey dalam papernya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah" menyebut di antara ulama yang mengharamkan nikah misyar adalah Nasir al-Din al-Albani, Muhammad Zuhayli, Ali Qurah Dagi, dan Ibrahim Fadhil.

Argumen mereka mengharamkan lantaran nikah misyar menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini. "Oleh arena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran," tulisnya.



Orang-orang yang sudah rusak pribadinya bisa saja menjadikannya sebagai tunggangan untuk merealisasikan tujuan mereka. Sebab segala sesuatu yang menyeret kepada perkara haram, maka hukumnya juga diharamkan.

Usamah al-Asyqar dalam kitabnya berjudul "Mustajidat al-Fiqihiyyah fi Qadhaya al-Zawaj wa al-Thalaq" (Dar al-Ilmiyyah, 1422 H) menjelaskan bahwa larangan ini juga ditunjukkan untuk kepentingan mengatur umat manusia.

"Dampak-dampak buruk ini dapat dipastikan timbul, dan biasanya menjadi kenyataan, bukan sekadar dalam batas prediksi-prediksi, khayalan belaka, maupun kejadian-kejadian yang bersifat dadakan maupun jarang terjadi," ujarnya.

Selain itu para ulama di atas juga berpendapat bahwa pernikahan misyar tidak mewujudkan orientasi-orientasi pernikahan, seperti hidup bersama, meretas jalinan kasih sayang, cita-cita memiliki keturunan dan perhatian terhadap istri dan anak-anak, serta tidak adanya keadilan di hadapan istri-istri.

"Terlebih lagi, adanya unsur penghinaan terhadap kaum wanita dan terkadang mengandung muatan untuk menggugurkan hak istri atas pemenuhan kebutuhan biologis, nafkah, dan lain-lain," ujar Chomim Tohari.



Adapun ulama kontemporer yang termasuk kelompok yang mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Nashiruddin al-Albani. Ulama lain yang juga mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Abdul Sattar al-Jubali.

Beliau berargumen bahwa nikah misyar menyebabkan suami tidak punya rasa tanggung jawab keluarga. Akibatnya, suami akan dengan mudah menceraikan istrinya, semudah dia menikah. Belum lagi praktik nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam, tanpa wali.

Semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum seks dan pecinta wanita. Karena tak ada tujuan lain, selain agar nafsu seksnya terpenuhi tanpa ada tanggung jawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang terlahir nantinya, akan merasa asing dengan bapaknya, karena jarang dikunjungi. Dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.

Chomim Tohari juga menyebut salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang mengatakan tidak sahnya akad nikah bila disyaratkan gugur nafkah dan tempat tinggal.

Selain itu, al-Jubali juga membantah argumen ulama yang membolehkan nikah misyar bahwa disebabkan dalil yang digunakan oleh pendapat pertama sangat tidak pas.



Al-Jubali juga menolak argumen yang dikemukakan oleh pendapat yang membolehkan nikah misyar, bahwa nikah misyar meminimalisir perawan-perawan tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya suami.

Menurutnya, alasan seperti ini perlu ditela’ah lebih jauh. Bahwa perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya. Maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya lebih banyak.

Shaykh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim berpendapat bahwa pendapat yang rajih tentang nikah misyar adalah bahwa yang menjadi pangkal perselisihan terletak pada pengajuan syarat untuk mengugurkan kewajiban menafkahi dan tinggal bersama istri, serta pengaruhnya terhadap keabsahan akad.

Beliau menyatakan bahwa akad nikah misyar tetap sah dan perkawinannya pun legal, namun syaratnya gugur. Dengan demikian, katanya, perkawinan ini tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syari’at berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami).

Dalam hal ini, istri berhak menuntut, namun tidak masalah jika ia dengan sukarela melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2657 seconds (0.1#10.140)