Aliran Hukum dalam Islam: Begini Corak Para Pendiri Mazhab

Kamis, 19 September 2024 - 20:28 WIB
Melalui kajian-kajian yang mereka lakukan, akhirnya lahirlah ilmu fiqih sebagai suatu disiplin ilmu dalam Islam yang membicarakan hukum syara’. Ilustrasi: Ist
FIKIH belum dikenal sebagai ilmu pada awal Islam, karena pada waktu itu semua persoalan yang dihadapi kaum muslimin dapat ditanyakan langsung kepada Nabi Muhammad SAW . Tetapi setelah Rasulullah wafat, sementara daerah kekuasaan Islam semakin luas dan problem yang dihadapi umat semakin banyak, memaksa kaum muslimin menggali hukum-hukum dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis dengan berijtihad untuk mendapatkan hukumnya.

Syamruddin Nasution dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013) mengatakan usaha-usaha kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis serta aktivitas ijtihad berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah dengan munculnya mujtahid-mujtahid terkenal seperti Imam Abi Hanifah (w. 150 H / 767 M), Imam Malik (w. 179 H / 795 M), Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H / 820 M) dan Imam Ahmad bin Hambal (w. 231 H / 855 M).



Melalui kajian-kajian yang mereka lakukan, akhirnya lahirlah ilmu fiqih sebagai suatu disiplin ilmu dalam Islam yang membicarakan hukum syara’.

Imam-imam mujtahid dalam kajian hukum Islam , mereka menempuh cara-cara yang berbeda-beda satu sama lainnya yang selanjutnya melahirkan aliran-aliran hukum dalam Islam. Misalnya Imam Abu Hanifah (80 – 150 H / 669 – 767 M) lebih banyak mempergunakan ra’yu dalam istimbath hukumnya, sehingga dia dipandang sebagai pendiri aliran ra’yu dalam hukum Islam.

Penggunaan metode al-Ra’yu oleh Imam Abu Hanifah adalah konsekwensi logis dari kondisi lingkungan tempat tinggalnya di Irak yang jauh dari pusat Hadis di Madinah, juga karena sikap kehati-hatiannya dalam menerima suatu Hadis.

Bagi Imam Abu Hanifah, sebuah Hadis baru dapat diterima bila Hadis itu telah pada tingkat Hadis masyhur atau para fuqaha’ lainnya sepakat mengamalkannya.



Sementara Imam Malik (97 – 179 H / 715 – 795 M) yang lahir di daerah Hijaz dan seluruh usianya dihabiskan di kota Madinah, dalam menetapkan hukum mendasarkan ijtihadnya terlebih dahulu pada zahir Nash dan lebih banyak mempergunakan Hadis, sehingga dia terkenal sebagai Ahl al-Hadits. Imam Malik menggunakan metode itu karena dipengaruhi oleh kondisi kota Madinah sebagai pusat Hadis.

Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 – 204 H / 67 820 M) menempuh metode yang berbeda dengan kedua aliran Irak (ra’yu) dan Hijaz (hadis) di atas. Dia melakukan penggabungan antara aliran ra’yu dengan aliran Hadis. Metode istimbath hukumnya dapat ditelusuri dalam karya monumentalnya, al-Risalah yang memberi tuntunan dalam berijtihad.

Fuqaha’ besar lainnya yang terkenal pada masa Daulah Abbasiyah adalah Imam Ahmad bin Hambal (164– 231 H / 780 – 855 M). Dalam menetapkan hukum dia lebih banyak mengambil dalil-dalil dari zahir Nash dan kurang mempergunakan ra’yu. Oleh sebab itu dia dikenal juga sebagai ahl al-Hadits di samping sebagai seorang fuqaha’.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
وَاَيُّوۡبَ اِذۡ نَادٰى رَبَّهٗۤ اَنِّىۡ مَسَّنِىَ الضُّرُّ وَاَنۡتَ اَرۡحَمُ الرّٰحِمِيۡنَ‌
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, (Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.

(QS. Al-Anbiya Ayat 83)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More