Syahidnya Yahya Sinwar: Mengingat Gugurnya Penakluk Eropa Abdurrahman al-Ghafiqi
Selasa, 22 Oktober 2024 - 05:15 WIB
Bersama pasukannya, Abdurrahman al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenangan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan kavalerinya, seperti daun-daun yang berguguran diterpa angin. Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali ini pun kaum muslimin mampu mengatasinya. Mereka menghajar dan meluluhlantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan para prajuritnya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.
Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan-peperangan yang telah lalu.
Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan muslimin seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mendahului mereka.
Banyak sekali harta ghanimah yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah dengan jatuhnya Bordeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting Prancis lainnya, seperti Lyon, Besancon, dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus mil saja dari Paris.
Perlawanan Eropa
Dunia Eropa tersentak mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Mata dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang menghadap di hadapan mereka.
Anjuran partisipasi menggaung di seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan partisipasinya untuk membendung arus Timur yang deras itu. Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri, dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komando Karel Martel.
Dalam waktu yang bersamaan prajurit Islam telah tiba di Tours, kota Prancis yang padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya.
Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya’ban 104 H Abdurrahman al-Ghafiqi bersama pasukannya yang perkasa memasuki kota Poitiers. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama, “Balath Syuhada,” karena banyaknya prajurit Islam yang syahid.
Ketika itu pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung mereka terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan hati sedih dan khawatir. Beliau mengkhawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kpeada harta benda itu? Di saat-saat yang menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta ghanimah.
Ingin sekali Abdurrahman menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi dia sangsi apakah mereka bisa menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang berkobar.
Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman al-Ghafiqi melihat bahwa semangat pasukannya mulai menyala. Seperti kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman al-Ghafiqi mulai menerobos pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya mereka tak akan berhenti bertempur.