Pengertian Wahabi: Benarkan Julukan bagi Orang yang Melanggar Tradisi?

Selasa, 22 Oktober 2024 - 09:00 WIB
Orang-orang biasa menuduh wahabi kepada setiap orang yang melanggar tradis. Ilustrasi: AI
Orang-orang biasa menuduh " wahabi " kepada setiap orang yang melanggar tradisi , kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quranul Karim dan hadis-hadis sahih.

"Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata," tulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam bukunya berjudul "Jalan Golongan yang Selamat" (Darul Haq, 1998)

Dia mengisahkan suatu kali, di depan seorang Syaikh, ia membacakan hadis riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah. Hadis ini berbunyi:

"Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah." (HR At-Tirmidzi).



Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu kagum dengan terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya --menurut tradisi-- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."

Lalu kepada Syaikh tersebut, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainukatakan, "Hadis ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah."

Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan."

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu lalu bertanya, "Apa dalil anda?"

Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd" dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?!" Ia menjawab, "Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."

Lalu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."



Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."

Padahal Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, mengaku tidak mengenal sedikit pun tentang wahabi, kecuali sekadar yang ia dengar dari para Syaikh.

Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."

"Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh," ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

Kemudian Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tanyakan jama'ahnya, sehingga ia mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadis, dan fikih.

Bersama anak-anak Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan sebagian pemuda intelektual, ia mendatangi majelis mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar.

"Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dantak seorang pun berdiri untuknya," ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainuberkisah.



Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata dalam hati, "Ini adalah seorang Syaikh yang tawadhu' (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati)."

Lalu Syaikh membuka pelajaran-pelajaran dengan ucapan, "Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan...", dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam biasa membuka khotbah dan pelajarannnya.

Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadis-hadis seraya menjelaskan derajat shahih-nya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya.

Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Quranun Karim dan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.

Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqab (memanggil dengan panggilan- panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firman-Nya, "Dan janganlah kamu panggil-mamanggil dengan gelar-gelaran yang buruk." ( QS Al-Hujurat : 11)



Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi'i dengan rafidah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, "Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidah."

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi."

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu kembali berkisah, ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, "Inilah Syaikh yang sesungguhnya!"

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad.

Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa'ul Husnaa). (*)

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
مَا قُلۡتُ لَهُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِىۡ بِهٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰهَ رَبِّىۡ وَرَبَّكُمۡ‌ۚ وَكُنۡتُ عَلَيۡهِمۡ شَهِيۡدًا مَّا دُمۡتُ فِيۡهِمۡ‌ۚ فَلَمَّا تَوَفَّيۡتَنِىۡ كُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِيۡبَ عَلَيۡهِمۡ‌ؕ وَاَنۡتَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ شَهِيۡدٌ‏ (١١٧) اِنۡ تُعَذِّبۡهُمۡ فَاِنَّهُمۡ عِبَادُكَ‌ۚ وَاِنۡ تَغۡفِرۡ لَهُمۡ فَاِنَّكَ اَنۡتَ الۡعَزِيۡزُ الۡحَكِيۡمُ (١١٨)
Aku (Isa) tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Maidah Ayat 117-118)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More