Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mematikan Lampu ketika KH Ahmad Dahlan Bertamu
Jum'at, 06 Desember 2024 - 16:47 WIB
SUATU saat, Gerebeg Hari Raya yang menjadi tradisi Kraton Yogyakarta menurut penanggalan Jawa jatuh satu hari sesudah Hari Raya menurut hisab dan rukyat .
Kiai Ahmad Dahlan yang seorang Khatib Masjid Besar Kauman, meminta menghadap Raja Jogja, ketika itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX, guna menyampaikan usulan tentang perlunya memajukan acara Grebeg tersebut.
Di tengah malam dengan diantar Kanjeng Kiai Penghulu, Kiai Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruangan tanpa diterangi lampu.
Sang Raja mendengar penjelasan Kiai Ahmad Dahlan. Setelah Kiai Dahlan selesai menguraikan gagasannya, Raja Jogja itu bersabda bahwa acara Grebeg tetap dilaksanakan sesuai tradisi Jawa dan Kiai Ahmad Dahlan dipersilahkan menyelenggarakan Salat Hari Raya sehari lebih dahulu sesuai ajaran Islam.
Selesai bersabda, lampu di ruangan di mana Raja sedang menerima Kiai Dahlan menghadap itu pun dinyalakan. Betapa terkejut Kiai Dahlan, karena Sang Raja didampingi para pangeran dan pejabat kerajaan lainnya.
Melihat gelagat keterkejutan Kiai Dahlan itu, Sang Raja kembali bersabda bahwa pemadaman lampu itu sengaja dilakukan agar Kiai Dahlan tidak merasa kikuk ketika menyampaikan pandangan dan usulannya kepada Raja.
Salat Hari Raya pun berlangsung sehari lebih awal dan Gerebeg berlangsung sehari sesudah Hari Raya.
"Sikap Kiai Dahlan tersebut di atas bersumber dari pandangannnya tentang Islam dan pemahamannya atas Al-Qur'an," tulis Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)" bab "Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un".
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta..
Menurutnya, gagasan dasar Kiai Dahlan tampak mendasari seluruh inovasi kreatif bersumber pada tafsir pragmatis dan fungsionalnya atas berbagai ayat dalam kitab suci Al-Qur'an.
Kiai Ahmad Dahlan memandang bahwa tafsir atas ayat-ayat Al-Qur'an merupakan pengetahuan yang kompatibel terhadap seluruh temuan iptek dan pengalaman hidup manusia dari beragam bangsa dan pemeluk agama.
Seluruh gagasan dan kerja Kiai Ahmad Dahlan tercurah untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana kebenaran pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur'an itu berfungsi bagi pemecahan berbagai problem kehidupan umat manusia.
Melalui jalan demikian itulah menurut pendapatnya, ajaran Islam akan benar-benar berfungsi bagi kebaikan hidup seluruh umat manusia dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Abdul Munir Mulkhan mengatakan gagasan tentang kebenaran dan kebaikan sebagai tafsir Al-Qur'an dalam hubungan dengan pengalaman universal kemanusiaan (global dan lokal) tampak mewarnai sikap hidup dan luas hubungan sosialnya.
Cikal-bakal Kelahiran Departemen Agama.
Kiai Ahmad Dahlan adalah salah seorang pejabat di lingkungan kerajaan Yogyakarta Hadiningrat yang secara khusus membidangi persoalan keagamaan (Islam) dalam lembaga Kepenghuluan (Jw: Kapengulon).
Lembaga yang hingga saat ini tetap bertahan itulah yang pada saat kemerdekaan menjadi cikal-bakal kelahiran Departemen Agama.
Kiai Ahmad Dahlan yang seorang Khatib Masjid Besar Kauman, meminta menghadap Raja Jogja, ketika itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX, guna menyampaikan usulan tentang perlunya memajukan acara Grebeg tersebut.
Di tengah malam dengan diantar Kanjeng Kiai Penghulu, Kiai Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruangan tanpa diterangi lampu.
Sang Raja mendengar penjelasan Kiai Ahmad Dahlan. Setelah Kiai Dahlan selesai menguraikan gagasannya, Raja Jogja itu bersabda bahwa acara Grebeg tetap dilaksanakan sesuai tradisi Jawa dan Kiai Ahmad Dahlan dipersilahkan menyelenggarakan Salat Hari Raya sehari lebih dahulu sesuai ajaran Islam.
Selesai bersabda, lampu di ruangan di mana Raja sedang menerima Kiai Dahlan menghadap itu pun dinyalakan. Betapa terkejut Kiai Dahlan, karena Sang Raja didampingi para pangeran dan pejabat kerajaan lainnya.
Melihat gelagat keterkejutan Kiai Dahlan itu, Sang Raja kembali bersabda bahwa pemadaman lampu itu sengaja dilakukan agar Kiai Dahlan tidak merasa kikuk ketika menyampaikan pandangan dan usulannya kepada Raja.
Salat Hari Raya pun berlangsung sehari lebih awal dan Gerebeg berlangsung sehari sesudah Hari Raya.
"Sikap Kiai Dahlan tersebut di atas bersumber dari pandangannnya tentang Islam dan pemahamannya atas Al-Qur'an," tulis Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)" bab "Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un".
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta..
Menurutnya, gagasan dasar Kiai Dahlan tampak mendasari seluruh inovasi kreatif bersumber pada tafsir pragmatis dan fungsionalnya atas berbagai ayat dalam kitab suci Al-Qur'an.
Kiai Ahmad Dahlan memandang bahwa tafsir atas ayat-ayat Al-Qur'an merupakan pengetahuan yang kompatibel terhadap seluruh temuan iptek dan pengalaman hidup manusia dari beragam bangsa dan pemeluk agama.
Seluruh gagasan dan kerja Kiai Ahmad Dahlan tercurah untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana kebenaran pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur'an itu berfungsi bagi pemecahan berbagai problem kehidupan umat manusia.
Melalui jalan demikian itulah menurut pendapatnya, ajaran Islam akan benar-benar berfungsi bagi kebaikan hidup seluruh umat manusia dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Abdul Munir Mulkhan mengatakan gagasan tentang kebenaran dan kebaikan sebagai tafsir Al-Qur'an dalam hubungan dengan pengalaman universal kemanusiaan (global dan lokal) tampak mewarnai sikap hidup dan luas hubungan sosialnya.
Cikal-bakal Kelahiran Departemen Agama.
Kiai Ahmad Dahlan adalah salah seorang pejabat di lingkungan kerajaan Yogyakarta Hadiningrat yang secara khusus membidangi persoalan keagamaan (Islam) dalam lembaga Kepenghuluan (Jw: Kapengulon).
Lembaga yang hingga saat ini tetap bertahan itulah yang pada saat kemerdekaan menjadi cikal-bakal kelahiran Departemen Agama.
Lihat Juga :