Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mematikan Lampu ketika KH Ahmad Dahlan Bertamu
Jum'at, 06 Desember 2024 - 16:47 WIB
Jabatan di lembaga kepenghuluan tersebut diterima Kiai Ahmad Dahlan secara turun-temurun dari kakek dan buyutnya yang hingga saat ini dipegang anak-keturunan Kiai Ahmad Dahlan yang seluruhnya merupakan pengurus teras Muhammadiyah.
Hubungan harmonis Kiai Ahmad Dahlan dengan pusat kekuasaan dari Kerajaan Yogyakarta cukup unik, terutama ketika kerajaan Jawa itu dipandang masyarakat sebagai pusat tradisi Kejawen yang penuh mistik.
Konflik keras justru lahir antara komunitas Kauman dan elite ulama senior dengan Kiai Ahmad Dahlan, sehingga bangunan musala yang didirikannya pernah dirobohkan dan Kiai Dahlan pernah diusir dari kampung itu.
Sementara Kiai Dahlan tidak pernah berhenti melancarkan kritik atas praktik takhayul, gugon-tuhon (jimat dan kesaktian mistik) dan perdukunan, tak sekali pun ada berita tentang konflik antara Kiai Dahlan dan penguasa Kraton.
Hanya dalam perkembangannya, hubungan Muhammadiyah dan Kerajaan Yogyakarta tampak kurang berlangsung harmonis seperti selama masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan.
Kecenderungan demikian boleh jadi, kata Abdul Munir Mukhan, berkaitan dengan penempatan tradisi kraton sebagai pusat mistik Kejawen, terutama selama masa Perang Kemerdekaan tidak lama sesudah Perang Diponegoro.
Tafsir Ajaran Islam
Gejala disharmoni tersebut menjadi semakin mengeras saat pemerintah kolonial menguasai kerajaan dan gerakan Islam menjadi pusat komando bagi perlawanan terhadap kolonialisme.
Dalam suasana demikian Pujangga Kerajaan (Yogyakarta dan Surakarta) terus menulis berbagai karya yang tidak bisa diberi arti lain kecuali tafsir ajaran Islam dalam struktur kesadaran budaya Jawa.
Sekurangnya terdapat dua kitab yang menjelaskan tafsir Jawa atas ajaran Islam, yaitu: Serat Warno-Warni dan Serat Kalatida yang terkenal dan sarat ajaran etikamoral Sufi itu. Seorang pangeran di masa lalu harus menjalani suatu fase pendidikan yaitu belajar di Pondok Pesantren terkemuka.
Perubahan hubungan Islam (versi Muhammadiyah) dan tradisi Jawa yang berpusat di Kraton seperti itu berkaitan dengan semakin menguatnya ortodoksi fikih (hukum legal syariah) dalam perjalanan Muhammadiyah sesudah pendirinya wafat pada 1923.
Hubungan harmonis Kiai Ahmad Dahlan dengan pusat kekuasaan dari Kerajaan Yogyakarta cukup unik, terutama ketika kerajaan Jawa itu dipandang masyarakat sebagai pusat tradisi Kejawen yang penuh mistik.
Konflik keras justru lahir antara komunitas Kauman dan elite ulama senior dengan Kiai Ahmad Dahlan, sehingga bangunan musala yang didirikannya pernah dirobohkan dan Kiai Dahlan pernah diusir dari kampung itu.
Sementara Kiai Dahlan tidak pernah berhenti melancarkan kritik atas praktik takhayul, gugon-tuhon (jimat dan kesaktian mistik) dan perdukunan, tak sekali pun ada berita tentang konflik antara Kiai Dahlan dan penguasa Kraton.
Hanya dalam perkembangannya, hubungan Muhammadiyah dan Kerajaan Yogyakarta tampak kurang berlangsung harmonis seperti selama masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan.
Kecenderungan demikian boleh jadi, kata Abdul Munir Mukhan, berkaitan dengan penempatan tradisi kraton sebagai pusat mistik Kejawen, terutama selama masa Perang Kemerdekaan tidak lama sesudah Perang Diponegoro.
Tafsir Ajaran Islam
Gejala disharmoni tersebut menjadi semakin mengeras saat pemerintah kolonial menguasai kerajaan dan gerakan Islam menjadi pusat komando bagi perlawanan terhadap kolonialisme.
Dalam suasana demikian Pujangga Kerajaan (Yogyakarta dan Surakarta) terus menulis berbagai karya yang tidak bisa diberi arti lain kecuali tafsir ajaran Islam dalam struktur kesadaran budaya Jawa.
Sekurangnya terdapat dua kitab yang menjelaskan tafsir Jawa atas ajaran Islam, yaitu: Serat Warno-Warni dan Serat Kalatida yang terkenal dan sarat ajaran etikamoral Sufi itu. Seorang pangeran di masa lalu harus menjalani suatu fase pendidikan yaitu belajar di Pondok Pesantren terkemuka.
Perubahan hubungan Islam (versi Muhammadiyah) dan tradisi Jawa yang berpusat di Kraton seperti itu berkaitan dengan semakin menguatnya ortodoksi fikih (hukum legal syariah) dalam perjalanan Muhammadiyah sesudah pendirinya wafat pada 1923.
(mhy)
Lihat Juga :