Kisah Abdullah bin Abbas: Doa Nabi SAW yang Mempengaruhi Jalan Hidupnya
Kamis, 26 Desember 2024 - 18:44 WIB
Berdebat dengan Khawarij
Pada suatu hari Ibnu Abbas diutus oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib kepada sekelompok besar kaum Khawarij. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat memesona. Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cuplikan di bawah ini:
"Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali?" tanya Ibnu Abbas.
"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya," jawab mereka.
"Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: "Tak ada hukum kecuali bagi Allah.
Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya.
Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang- orang mukmin lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir.!"
Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas. "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya," ujar Ibnu Abbas.
Bukankah Allah telah berfirman:
"Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya..." (QS al-Maidah : 95)
Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?"
Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan bantahannya: "Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan?"
Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu. Mereka menutupi muka mereka dengan tangan.
Sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: "Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy.
Kata beliau kepada penulis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Quraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu... ! Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah... !"
Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya..."
Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya: "Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah...!"
Demikianlah, dengan cara yang menarik dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar pikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan- keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Pada suatu hari Ibnu Abbas diutus oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib kepada sekelompok besar kaum Khawarij. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat memesona. Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cuplikan di bawah ini:
"Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali?" tanya Ibnu Abbas.
"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya," jawab mereka.
"Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: "Tak ada hukum kecuali bagi Allah.
Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya.
Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang- orang mukmin lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir.!"
Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas. "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya," ujar Ibnu Abbas.
Bukankah Allah telah berfirman:
"Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya..." (QS al-Maidah : 95)
Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?"
Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan bantahannya: "Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan?"
Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu. Mereka menutupi muka mereka dengan tangan.
Sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: "Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy.
Kata beliau kepada penulis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Quraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu... ! Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah... !"
Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya..."
Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya: "Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah...!"
Demikianlah, dengan cara yang menarik dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar pikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan- keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Lihat Juga :