Bolehkah Perempuan Haid Mengajarkan Al-Qur'an?
Senin, 28 September 2020 - 18:50 WIB
Profesi pengajar , banyak dipilih kaum perempuan. Sebagai seorang muslim, tentu menjaga kesucian saat aktivitas pengajar juga sangat dianjurkan. Bagi pengajar kaum laki-laki anjuran ini bukanlah persoalan, namun bagaimana dengan pengajar perempuan saat sedang mengalami menstruasi atau haid ?
Bolehkah mereka tetap melanjutkan aktifitas mengajarkan Al-Qur’an meskipun dalam kondisi sedang haid? Atau seorang perempuan yang sedang belajar Al-Qur’an, haruskah berhenti belajarnya saat sedang haid?
Dalam Islam, semua ulama mazhab sepakat bahwa haram hukumnya bagi perempuan yang sedang haid menyentuh, membawa dan membaca Al-Qur’an di luar aktifitas belajar mengajar .
(Baca juga : Rezeki Mengalir Deras dengan Membaca Surat Al-Waqi'ah )
Akan tetapi, dalam aktifitas belajar mengajar secara khusus mereka berbeda pendapat. Dirangkum dari berbagai sumber, inilah pendapat tentang perempuan haid mengajar dan membaca Al Qur'an menurut pandangan ulama empat mazhab:
1. Mazhab Hanafiyah
Salah satu pendapat disampaikan Imam al-Karkhi yang mengatakan bahwa seorang pengajar perempuan (mu’allimah) tetap mengajarkan Al-Qur’an saat haid dengan cara diputus-putus per satu kata.
Bahkan, Imam al-Thahawi memperbolehkan hingga separuh ayat. Tidak boleh satu ayat lengkap, tetapi dipotong-potong menjadi setengah ayat. Sementara jika mengajarkan cara membaca huruf-huruf hijaiyah diperbolehkan.
(Baca juga : Ikhlas Sebagai Kunci Kekuatan Iman )
Demikian juga, diperkenankan bagi perempuan yang sedang belajar Al-Qur’an membaca satu kata atau kurang dari satu ayat. Sedangkan membaca dalam rangka berdoa, semisal membaca ayat kursi, dan ayat-ayat yang mengandung doa juga diperbolehkan. (Berdasarkan sumber Mahmud Ibn Mazah, Al Muhit al-Burhani fi Fiqh al-Numani, Fiqh al-Ibadat Hanafi).
2. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki diperbolehkan bagi perempuan haid yang sedang belajar atau mengajarkan Al-Qur’an menyentuh dan membawa Al-Qur’an, sekaligus membacanya. Alasannya, karena penghalang hadas yang berupa haid ini tidak bisa ditanggulangi dan dihilangkan, dan haid merupakan kodrat perempuan.
(Baca juga : Waspada dengan Sikap Mencela Takdir )
Hal ini berbeda dengan orang junub yang dapat ditanggulangi dengan mandi besar, sehingga tetap tidak diperbolehkan menyentuh, membawa, dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam konteks belajar mengajar. Kondisi junub ini juga sama dengan perempuan yang haidnya sudah tuntas, namun belum mandi besar, sebab dalam kondisi tersebut hadas dapat dihilangkan dengan cara mandi besar. (Muhammad bin Yusuf bin Abil Qasim Al-Abdari, Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh).
3. Mazhab Syafi'i
Sedangkan golongan Syafi’iyahtidak memberikan peluang kebolehan menyentuh dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam kegiatan belajar mengajar. Mazhab Syafi’i hanya mentoleransi bacaan Al-Qur’an yang bertujuan untuk zikir dan do’a, semisal doa naik kendaraan yang memang diambil dari ayat Al-Qur’an, itupun harus kosong dari niat membaca Al-Qur’an.
(Baca juga : Ancaman Tsunami 20 Meter, BMKG Minta Mitigasi Bencana Terburuk Dipersiapkan )
4. Mazhab Hanabilah
Sama dengan mazhab Syafi'i, mazhab Hanbali jugatidak memberikan peluang kebolehan menyentuh dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan, merekamenegaskan perempuan haid tidak boleh membaca Al-Qur’an dalam kondisi apapun, meskipun ada kekhawatiran akan lupa terhadap hafalannya andai tidak dibaca. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Mushtafa bin Saad, Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh).
(Baca juga : Wow! Nabung Setahun di BP Tapera Dijamin Bisa Punya Rumah Layak )
Bolehkah mereka tetap melanjutkan aktifitas mengajarkan Al-Qur’an meskipun dalam kondisi sedang haid? Atau seorang perempuan yang sedang belajar Al-Qur’an, haruskah berhenti belajarnya saat sedang haid?
Dalam Islam, semua ulama mazhab sepakat bahwa haram hukumnya bagi perempuan yang sedang haid menyentuh, membawa dan membaca Al-Qur’an di luar aktifitas belajar mengajar .
(Baca juga : Rezeki Mengalir Deras dengan Membaca Surat Al-Waqi'ah )
Akan tetapi, dalam aktifitas belajar mengajar secara khusus mereka berbeda pendapat. Dirangkum dari berbagai sumber, inilah pendapat tentang perempuan haid mengajar dan membaca Al Qur'an menurut pandangan ulama empat mazhab:
1. Mazhab Hanafiyah
Salah satu pendapat disampaikan Imam al-Karkhi yang mengatakan bahwa seorang pengajar perempuan (mu’allimah) tetap mengajarkan Al-Qur’an saat haid dengan cara diputus-putus per satu kata.
Bahkan, Imam al-Thahawi memperbolehkan hingga separuh ayat. Tidak boleh satu ayat lengkap, tetapi dipotong-potong menjadi setengah ayat. Sementara jika mengajarkan cara membaca huruf-huruf hijaiyah diperbolehkan.
(Baca juga : Ikhlas Sebagai Kunci Kekuatan Iman )
Demikian juga, diperkenankan bagi perempuan yang sedang belajar Al-Qur’an membaca satu kata atau kurang dari satu ayat. Sedangkan membaca dalam rangka berdoa, semisal membaca ayat kursi, dan ayat-ayat yang mengandung doa juga diperbolehkan. (Berdasarkan sumber Mahmud Ibn Mazah, Al Muhit al-Burhani fi Fiqh al-Numani, Fiqh al-Ibadat Hanafi).
2. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki diperbolehkan bagi perempuan haid yang sedang belajar atau mengajarkan Al-Qur’an menyentuh dan membawa Al-Qur’an, sekaligus membacanya. Alasannya, karena penghalang hadas yang berupa haid ini tidak bisa ditanggulangi dan dihilangkan, dan haid merupakan kodrat perempuan.
(Baca juga : Waspada dengan Sikap Mencela Takdir )
Hal ini berbeda dengan orang junub yang dapat ditanggulangi dengan mandi besar, sehingga tetap tidak diperbolehkan menyentuh, membawa, dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam konteks belajar mengajar. Kondisi junub ini juga sama dengan perempuan yang haidnya sudah tuntas, namun belum mandi besar, sebab dalam kondisi tersebut hadas dapat dihilangkan dengan cara mandi besar. (Muhammad bin Yusuf bin Abil Qasim Al-Abdari, Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh).
3. Mazhab Syafi'i
Sedangkan golongan Syafi’iyahtidak memberikan peluang kebolehan menyentuh dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam kegiatan belajar mengajar. Mazhab Syafi’i hanya mentoleransi bacaan Al-Qur’an yang bertujuan untuk zikir dan do’a, semisal doa naik kendaraan yang memang diambil dari ayat Al-Qur’an, itupun harus kosong dari niat membaca Al-Qur’an.
(Baca juga : Ancaman Tsunami 20 Meter, BMKG Minta Mitigasi Bencana Terburuk Dipersiapkan )
4. Mazhab Hanabilah
Sama dengan mazhab Syafi'i, mazhab Hanbali jugatidak memberikan peluang kebolehan menyentuh dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan, merekamenegaskan perempuan haid tidak boleh membaca Al-Qur’an dalam kondisi apapun, meskipun ada kekhawatiran akan lupa terhadap hafalannya andai tidak dibaca. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Mushtafa bin Saad, Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh).
(Baca juga : Wow! Nabung Setahun di BP Tapera Dijamin Bisa Punya Rumah Layak )