Beda Pendapat Mengenai Istimta', Imam Safi'i dan Imam Maliki Mengharamkan
Senin, 05 Oktober 2020 - 05:00 WIB
KADANG-kadang darah pemuda bergelora, kemudian dia menggunakan tangannya untuk mengeluarkan mani supaya alat kelaminnya itu menjadi tenang dan darahnya yang bergelora itu menurun. Cara semacam ini sekarang dikenal dengan nama onani atau masturbasi , dan dalam bahasa Arab istimta' atau adatus sirriyah. (
)
Secara defenisi, istimna’ berarti sebuah usaha untuk pemenuhan dan pemuasan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lainnya.
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang menjunjung tinggi nilai moral memandang pekerjaan masturbasi atau onani sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Imam Malik , Imam Syafi'i , dan Mazhab Zaidiah mengharamkan istimna’. ( )
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya "Fatawa Qardhawi" menjelaskan Imam Malik mengharamkan onani dengan mendasarkan pada dalil ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (QS Al-Mu'minun: 5-7)
"Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya," tutur Al-Qardhawi. ( )
Sedang Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm (salah seorang tokoh Mazhab az- Zahiri). Ia berpendapat bahwa hukum bagi praktek masturbasi adalah makruh, dan masturbasi tidak akan menjerumuskan orang pada dosa. Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT surah Baqarah (2) ayat 29: "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” ( )
Jadi, ia memandang makruh saja mencari kesenangan dengan melakukan masturbasi karena untuk melakukannya tidak dilibatkan orang lain. Secara umum Allah SWT telah menciptakan semua itu untuk manusia sesuai dengan fitrahnya.
Sedangkan ulama-ulama Hanafiah memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara: Pertama, karena takut berbuat zina. Kedua, karena tidak mampu kawin.
Al-Qardhawi mengatakan pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. ( )
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi Muhammad SAW) membolehkan masturbasi karena orang Islam dahulu sering kali melakukannya sewaktu mengikuti peperangan (jauh dari keluarga). Bahkan Mujahid (seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas) berkata bahwa Nabi Muhammad SAW mentoleransi para pemuda Islam melakukan masturbasi pada waktu itu. (Baca Juga: Kisah Nabi Luth dan Kaum Sodom yang Ditenggelamkan di Laut Mati
Agar boleh melakukan masturbasi di sini tidak salah diartikan, maka kebolehan itu hanya berlaku dalam kondisi yang sangat mendesak, dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan karena dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan jasmani dan mental orang yang melakukannya.
Rasulullah SAW menyarankan pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Untuk itu Rasuluilah SAW bersabda sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari)
Secara defenisi, istimna’ berarti sebuah usaha untuk pemenuhan dan pemuasan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lainnya.
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang menjunjung tinggi nilai moral memandang pekerjaan masturbasi atau onani sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Imam Malik , Imam Syafi'i , dan Mazhab Zaidiah mengharamkan istimna’. ( )
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya "Fatawa Qardhawi" menjelaskan Imam Malik mengharamkan onani dengan mendasarkan pada dalil ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (QS Al-Mu'minun: 5-7)
"Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya," tutur Al-Qardhawi. ( )
Sedang Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm (salah seorang tokoh Mazhab az- Zahiri). Ia berpendapat bahwa hukum bagi praktek masturbasi adalah makruh, dan masturbasi tidak akan menjerumuskan orang pada dosa. Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT surah Baqarah (2) ayat 29: "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” ( )
Jadi, ia memandang makruh saja mencari kesenangan dengan melakukan masturbasi karena untuk melakukannya tidak dilibatkan orang lain. Secara umum Allah SWT telah menciptakan semua itu untuk manusia sesuai dengan fitrahnya.
Sedangkan ulama-ulama Hanafiah memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara: Pertama, karena takut berbuat zina. Kedua, karena tidak mampu kawin.
Al-Qardhawi mengatakan pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. ( )
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi Muhammad SAW) membolehkan masturbasi karena orang Islam dahulu sering kali melakukannya sewaktu mengikuti peperangan (jauh dari keluarga). Bahkan Mujahid (seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas) berkata bahwa Nabi Muhammad SAW mentoleransi para pemuda Islam melakukan masturbasi pada waktu itu. (Baca Juga: Kisah Nabi Luth dan Kaum Sodom yang Ditenggelamkan di Laut Mati
Agar boleh melakukan masturbasi di sini tidak salah diartikan, maka kebolehan itu hanya berlaku dalam kondisi yang sangat mendesak, dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan karena dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan jasmani dan mental orang yang melakukannya.
Rasulullah SAW menyarankan pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Untuk itu Rasuluilah SAW bersabda sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari)
(mhy)