Perebutan Kursi Khalifah: Kisah Rekonsiliasi Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Rabu, 23 Desember 2020 - 08:51 WIB
KETIKA berlangsung proses pembai'atan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sebagai Khalifah untuk meneruskan kepemimpinan Rasulullah SAW atas ummat Islam, Ali bin Abi Thalib r.a . tidak ikut terlibat di dalamnya. Kala itu ia sibuk mempersiapkan pemakaman jenazah Rasulullah. (
)
Dalam buku "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a." karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini disebutkan bahwa hampir tidak ada ungkapan sejarah yang mengemukakan bagaimana sikap Imam Ali r.a. pada waktu mendengar berita tentang terbai'atnya Abu Bakar secara mendadak sebagai Khalifah. Tetapi isteri Ali, puteri Rasulullah SAW yang selalu bersikap terus terang, sukar menerima kenyataan terbai'atnya Abu Bakar sebagai Khalifah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a . berpendirian, bahwa yang patut memikul tugas sebagai Khalifah dan penerus kepemimpinan Rasulullah hanyalah suaminya.
Pendirian Sitti Fatimah r.a. didasarkan pada kenyataan bahwa Imam Ali adalah satu-satunya kerabat terdekat beliau. Bahwa seorang anggota ahlul-bait Rasulullah lebih berhak ketimbang orang lain untuk menduduki jabatan Khalifah. ( )
Selain itu Imam Ali r.a. juga sangat dekat hubungannya dengan Rasulullah, baik dilihat dari sudut hubungan kekeluargaan maupun dari sudut prestasi besar yang telah diperbuat dalam perjuangan menegakkan agama Allah.
Demikian pula ilmu pengetahuannya yang sangat kaya berkat ajaran dan pendidikan yang diberikan langsung oleh Rasulullah kepadanya. Itu merupakan syarat-syarat terpenting bagi seseorang untuk dapat di bai'at sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah atas ummatnya.
Dengan gigih Sitti Fatimah r.a. memperjuangkan keyakinan dan pendiriannya itu. Pada suatu malam dengan menunggang unta ia mendatangi sejumlah kaum Anshar yang telah membai'at Abu Bakar r.a. guna menuntut hak suaminya.
Kaum Anshar yang didatanginya itu menanggapi tuntutan Sitti Fatimah r.a. dengan mengatakan: "Wahai puteri Rasulullah, pembai'atan Abu Bakar sudah terjadi. Kami telah memberikan suara kepadanya. Kalau saja ia (Sayyidina Ali r.a.) datang kepada kami sebelum terjadi pembai'atan itu, pasti kami tidak akan memilih orang lain."
Ali sendiri dalam menanggapi pembai'atan Abu Bakar r.a. hanya mengatakan: "Patutkah aku meninggalkan Rasulullah sebelum jenazah beliau selesai dimakamkan, hanya untuk mendapat kekuasaan?" ( )
Rekonsiliasi
Al Hamid Al Husaini menulis pembicaraan dan perdebatan mengenai masalah kekhilafan banyak dilakukan orang, termasuk antara Imam Ali r.a. dan orang-orang Bani Hasyim di satu pihak, dengan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. di lain pihak. Semuanya itu tidak mengubah keadaan yang sudah terjadi. Sebagai akibatnya hubungan antara Sitti Fatimah r.a. dan Abu Bakar r.a. tidak lagi pernah berlangsung secara baik.
Sebagai orang yang merasa dirinya mustahak memangku jabatan khalifah, Imam Ali r.a. tidak meyakini tepatnya pembai'atan yang diberikan oleh kaum Muhajirin dan Anshar kepada Abu Bakar r.a. Selama 6 bulan ia mengasingkan diri dan menekuni ilmu-ilmu agama yang diterimanya dari Rasulullah SAW.
Dalam masa 6 bulan ini muncullah berbagai macam peristiwa berbahaya yang mengancam kelestarian dan kesentosaan ummat.
Demi untuk memelihara kesentosaan Islam dan menjaga keutuhan ummat dari bahaya perpecahan, akhirnya Imam Ali r.a. secara ikhlas menyatakan kesediaan mengadakan kerjasama dengan khalifah Abu Bakar r.a. Terutama mengenai hal-hal yang olehnya dipandang menjadi kepentingan Islam dan kaum muslimin. ( )
Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu tercermin dengan jelas sekali dalam sepucuk suratnya yang antara lain:
"Aku tetap berpangku-tangan sampai saat aku melihat banyak orang-orang yang meninggalkan Islam dan kembali kepada agama mereka semula. Mereka berseru untuk menghapuskan agama Muhammad SAW. Aku khawatir, jika tidak membela Islam dan pemeluknya, akan kusaksikan terjadinya perpecahan dan kehancuran. Bagiku hal itu merupakan bencana yang lebih besar dibanding dengan hilangnya kekuasaan.
Kekuasaan yang ada di tangan kalian, tidak lain hanyalah suatu kenikmatan sementara dan hanya selama beberapa waktu saja. Apa yang sudah ada pada kalian akan lenyap seperti lenyapnya bayangan fatamorgana atau seperti lenyapnya awan. Oleh karena itu, aku bangkit menghadapi kejadian itu, sampai semua kebatilan tersingkir musnah, dan sampai agama berada dalam suasana tenteram…"
Sejak saat itu suara Imam Ali r.a. berkumandang kembali di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada saat-saat ia dimintai pendapat-pendapat oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Kesempatan-kesempatan semacam itu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memberi pengarahan kepada kehidupan Islam dan kaum muslimin, agar jangan sampai menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik di bidang legislatif (tasyri'iyyah), eksekutif (tanfidziyyah), maupun judikatif (qadha'iyyah).
Baca Juga
Dalam buku "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a." karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini disebutkan bahwa hampir tidak ada ungkapan sejarah yang mengemukakan bagaimana sikap Imam Ali r.a. pada waktu mendengar berita tentang terbai'atnya Abu Bakar secara mendadak sebagai Khalifah. Tetapi isteri Ali, puteri Rasulullah SAW yang selalu bersikap terus terang, sukar menerima kenyataan terbai'atnya Abu Bakar sebagai Khalifah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a . berpendirian, bahwa yang patut memikul tugas sebagai Khalifah dan penerus kepemimpinan Rasulullah hanyalah suaminya.
Pendirian Sitti Fatimah r.a. didasarkan pada kenyataan bahwa Imam Ali adalah satu-satunya kerabat terdekat beliau. Bahwa seorang anggota ahlul-bait Rasulullah lebih berhak ketimbang orang lain untuk menduduki jabatan Khalifah. ( )
Selain itu Imam Ali r.a. juga sangat dekat hubungannya dengan Rasulullah, baik dilihat dari sudut hubungan kekeluargaan maupun dari sudut prestasi besar yang telah diperbuat dalam perjuangan menegakkan agama Allah.
Demikian pula ilmu pengetahuannya yang sangat kaya berkat ajaran dan pendidikan yang diberikan langsung oleh Rasulullah kepadanya. Itu merupakan syarat-syarat terpenting bagi seseorang untuk dapat di bai'at sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah atas ummatnya.
Dengan gigih Sitti Fatimah r.a. memperjuangkan keyakinan dan pendiriannya itu. Pada suatu malam dengan menunggang unta ia mendatangi sejumlah kaum Anshar yang telah membai'at Abu Bakar r.a. guna menuntut hak suaminya.
Kaum Anshar yang didatanginya itu menanggapi tuntutan Sitti Fatimah r.a. dengan mengatakan: "Wahai puteri Rasulullah, pembai'atan Abu Bakar sudah terjadi. Kami telah memberikan suara kepadanya. Kalau saja ia (Sayyidina Ali r.a.) datang kepada kami sebelum terjadi pembai'atan itu, pasti kami tidak akan memilih orang lain."
Ali sendiri dalam menanggapi pembai'atan Abu Bakar r.a. hanya mengatakan: "Patutkah aku meninggalkan Rasulullah sebelum jenazah beliau selesai dimakamkan, hanya untuk mendapat kekuasaan?" ( )
Rekonsiliasi
Al Hamid Al Husaini menulis pembicaraan dan perdebatan mengenai masalah kekhilafan banyak dilakukan orang, termasuk antara Imam Ali r.a. dan orang-orang Bani Hasyim di satu pihak, dengan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. di lain pihak. Semuanya itu tidak mengubah keadaan yang sudah terjadi. Sebagai akibatnya hubungan antara Sitti Fatimah r.a. dan Abu Bakar r.a. tidak lagi pernah berlangsung secara baik.
Sebagai orang yang merasa dirinya mustahak memangku jabatan khalifah, Imam Ali r.a. tidak meyakini tepatnya pembai'atan yang diberikan oleh kaum Muhajirin dan Anshar kepada Abu Bakar r.a. Selama 6 bulan ia mengasingkan diri dan menekuni ilmu-ilmu agama yang diterimanya dari Rasulullah SAW.
Dalam masa 6 bulan ini muncullah berbagai macam peristiwa berbahaya yang mengancam kelestarian dan kesentosaan ummat.
Demi untuk memelihara kesentosaan Islam dan menjaga keutuhan ummat dari bahaya perpecahan, akhirnya Imam Ali r.a. secara ikhlas menyatakan kesediaan mengadakan kerjasama dengan khalifah Abu Bakar r.a. Terutama mengenai hal-hal yang olehnya dipandang menjadi kepentingan Islam dan kaum muslimin. ( )
Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu tercermin dengan jelas sekali dalam sepucuk suratnya yang antara lain:
"Aku tetap berpangku-tangan sampai saat aku melihat banyak orang-orang yang meninggalkan Islam dan kembali kepada agama mereka semula. Mereka berseru untuk menghapuskan agama Muhammad SAW. Aku khawatir, jika tidak membela Islam dan pemeluknya, akan kusaksikan terjadinya perpecahan dan kehancuran. Bagiku hal itu merupakan bencana yang lebih besar dibanding dengan hilangnya kekuasaan.
Kekuasaan yang ada di tangan kalian, tidak lain hanyalah suatu kenikmatan sementara dan hanya selama beberapa waktu saja. Apa yang sudah ada pada kalian akan lenyap seperti lenyapnya bayangan fatamorgana atau seperti lenyapnya awan. Oleh karena itu, aku bangkit menghadapi kejadian itu, sampai semua kebatilan tersingkir musnah, dan sampai agama berada dalam suasana tenteram…"
Sejak saat itu suara Imam Ali r.a. berkumandang kembali di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada saat-saat ia dimintai pendapat-pendapat oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Kesempatan-kesempatan semacam itu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memberi pengarahan kepada kehidupan Islam dan kaum muslimin, agar jangan sampai menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik di bidang legislatif (tasyri'iyyah), eksekutif (tanfidziyyah), maupun judikatif (qadha'iyyah).
(mhy)
Lihat Juga :