Kisah Sunan Gresik: Ketika Kakek Bantal Menaklukkan Dewa Hujan
Senin, 28 Desember 2020 - 14:05 WIB
SYAIKH Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik dalam mendakwahkan Islam tidak langsung mengajak masyarakat setempat untuk belajar Islam melalui jalur pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Bukan langsung di pesantren . (
)
Sekadar mengingatkan, sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi.
Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos.
Dalam buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H Lawrens Rasyidi diceritakan bahwa perang saudara antara kerabat istana Majapahit tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. ( )
Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan. ( )
Kakek Bantal
Di saat demikian sesekali Sunan Gresik dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat.
Lawrens Rasyidi berkisah tentang Sunan Gresik yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai Kakek Bantal. Pada suatu hari Sunan Gresik dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah. ( )
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan di tangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti. Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
Gadis itu berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. ( )
“Wahai Dewa Hujan! Terimalah persembahan kami! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini!” Demikian teriak pendeta tua berkali-kali.
Sunan Gresik dan kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Pada saat pendeta tua itu mengangkat belati di atas dada si gadis, Sunan Gresik berteriak: “Berhenti!”
Sunan Gresik menghampiri pendeta dan bertanya: “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanyanya.
“Kami mengharap turunnya hujan!” sahut sang Pendeta.
“Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis-gadis cantik?” tanya Sunan Gresik.
Sekadar mengingatkan, sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi.
Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos.
Dalam buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H Lawrens Rasyidi diceritakan bahwa perang saudara antara kerabat istana Majapahit tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. ( )
Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan. ( )
Kakek Bantal
Di saat demikian sesekali Sunan Gresik dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat.
Lawrens Rasyidi berkisah tentang Sunan Gresik yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai Kakek Bantal. Pada suatu hari Sunan Gresik dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah. ( )
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan di tangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti. Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
Gadis itu berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. ( )
“Wahai Dewa Hujan! Terimalah persembahan kami! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini!” Demikian teriak pendeta tua berkali-kali.
Sunan Gresik dan kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Pada saat pendeta tua itu mengangkat belati di atas dada si gadis, Sunan Gresik berteriak: “Berhenti!”
Sunan Gresik menghampiri pendeta dan bertanya: “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanyanya.
“Kami mengharap turunnya hujan!” sahut sang Pendeta.
“Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis-gadis cantik?” tanya Sunan Gresik.