Hasil Mubahalah Sungguh Mengerikan, Begini Al-Qur'an Mengajarkan
Kamis, 04 Februari 2021 - 07:34 WIB
Akhir tahun lalu, keluarga korban enam laskar Front Pembela Islam atau FPI yang tewas ditembak mati polisi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 menantang Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran untuk melakukan sumpah mubahalah .
Ajakan mubahalah ini setidaknya diajukan Suhada, ayah Faiz Ahmad Syukur salah satu korban insiden tersebut. Ia mengatakan, bahwa dirinya tidak mengerti hukum terkait tewasnya para laskar. Ia mengaku hanya mengerti syariat Islam , untuk itu ia mengajak Kapolda Metro Jaya untuk melakukan sumpah mubahalah.
Jauh sebelum itu, tantangan mubahalah juga pernah disampaikan terpidana korupsi Anas Urbaningrum. Ia tak puas dengan keputusan pengadilan dan menantang bermubahalah. Tantangan ini pun tak bersambut.
Begitu juga pimpinan FPI, Habib Muhammad Rizieq Shihab , Ia menuliskan sumpah Mubahalah terhadap orang-orang yang dianggapnya telah memfitnah dirinya di akun Twitternya. Rizieq membantah terlibat dalam kasus chat mesum dengan Firza Husein.
Lalu, apa sesungguhnya mubahalah itu?
Kata mubahalah [arab: المباهلة] turunan dari kata al-Bahl [arab: البَهْل] yang artinya laknat. Dalam Lisan al-Arab dinyatakan,
البَهْل: اللعن، وبَهَله الله بَهْلاً أي: لعنه، وباهل القوم بعضهم بعضاً وتباهلوا وابتهلوا: تلاعنوا، والمباهلة: الملاعنة
Al-Bahl artinya laknat. Kalimat ‘bahalahullah bahlan’ artinya Allah melaknatnya. Kalimat ‘baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha’ artinya saling melaknat satu sama lain. Al-Mubahalah berarti Mula’anah (saling melaknat).
Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan, Al-Bahl dan Ibtihal dalam doa, artinya bersungguh-sungguh tanpa batas dalam berdoa. Seperti disebutkan dalam firman Allah, (yang artinya),
“Kemudian kita melakukan ibtihal, dan kita tetapkan laknat Allah untuk orang yang berdusta.” (QS Ali Imran: 61).
Ulama yang menafsirkan ibtihal dengan laknat karena umumnya orang lepas kontrol ketika itu, disebabkan melakukan laknat. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 63).
Kesimpulannya, Mubahalah artinya doa dalam bentuk melaknat dengan sungguh-sungguh.
Hasil Mubahalah
Contoh ungkapan Mubahalah, si A dan si B berseteru dalam masalah. Mereka masing-masing mengaku yang benar. Ketika Mubahalah, mereka saling mengatakan,
‘Demi Allah saya yang benar. Dan saya siap mendapat laknat Allah, jika saya dusta.’
Hasilnya, laknat akan ditimpakan kepada orang yang berdusta di antara mereka.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan: "Berdasarkan pengalaman, orang yang melakukan mubahalah di kalangan pembela kebatilan, tidak bertahan lebih dari setahun sejak hari mubahalah. Itu pernah saya alami sendiri bersama seorang yang memiliki pemikiran menyimpang, dan dia tidak bertahan hidup lebih dari 2 bulan."
Buku al-Qodiyaniyah, Ihsan Ilahi Dzahir, hl. 154 menyebut Syaikh Tsanaullah al-Amaritsari berdebat dengan Ghulam Ahmad. Setelah Ghulam berada di posisi kalah, akhirnya dapat dipungkasi dengan Mubahalah.
Syaikh mengatakan, "wahai Ghulam Ahmad, siapa di antara kita berada di atas kebatilan, maka Allah akan segera mematikan sebelum orang yang jujur (lawan debatnya) mati."
Pendusta di antara mereka mati lebih dahulu. Ghulam Ahmad mati di WC, terserang penyakit kolera, dan banyak orang menjauh darinya, karena tubuhnya mengeluarkan bau yang sagat tidak sedap. Sementara Syaikh Tsanaullah hidup hingga 40 tahun lagi.
Mubahalah dalam al-Quran
Mubahalah termasuk salah satu metode dakwah yang disebutkan dalam Al-Quran . Metode ini digunakan untuk melawan orang kafir dan orang musyrik yang bersikap sombong, dengan tidak mau menerima kebenaran, tetap kukuh di atas kebatilan dan kesesatan. Padahal telah disampaikan dalil-dalil yang sangat jelas, yang menunjukkan kesesatannya.
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menantang mubahalah orang-orang nasrani terkait akidah yang benar tentang Nabi Isa. Karena mereka tidak menerima kebenaran, setelah beliau menjelaskan bahwa Isa bukan anak tuhan.
Allah berfirman,
إنَّ مَثَلَ عِيسَى عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ . الْـحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلا تَكُن مِّنَ الْـمُمْتَرِينَ . فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.
(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS Ali Imran: 59 – 61).
Dalam ayat di atas, Allah mengajarkan bahwa ketika bermubahalah, hendaknya seseorang mengumpulkan keluarganya, anak dan istrinya. Mereka didatangkan di majlis mubahalah, kemudian saling mendoakan laknat bagi siapa yang berdusta.
Saad bin Abi Waqqash menceritakan,
ولما نزلت هذه الآية: {فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ} دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم علياً وفاطمة وحسناً وحسيناً فقال: اللَّهُمَّ هؤُلاءِ أَهْلِي
Ketika turun ayat ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau bersabda, ‘Ya Allah, mereka keluargaku.’ (HR Ahmad 1630, Muslim 6373, dan Turmudzi 2999).
Tujuan mengumpulkan keluarga, anak, istri ketika mubahalah, bukan menimpakan dampak buruk Mubahalah kepada mereka. Karena dampak buruk dari laknat ketika Mubahalah, hanya mengenai pelaku. Tujuan mengumpulkan mereka adalah untuk semakin meyakinkan dan menunjukkan keseriusan diantara mereka untuk melakukan mubahalah.
Sebab turunnya Ayat
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Ishaq dalam sirahnya, bahwa suatu ketika kota Madinah kedatangan tamu orang-orang nasrani dari daerah Najran.
Di antara mereka ada 14 orang yang merupakan pemuka dan tokoh agama di Najran. Dari 14 orang itu, ada 3 orang yang menjadi tokoh sentral: Aqib, gelarnya Abdul Masih. Dia pemuka kaum, yang memutuskan hasil musyawarah masyarakat. as-Sayid, dia pemimpin rombongan. Nama aslinya al-Aiham.
Dan yang ketiga Abul Haritsah bin Alqamah. Dulunya orang Arab, kemudian pindah ke Najran dan menjadi uskup di sana.
Ketika mereka sampai di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan salat asar. Mereka kemudian masuk masjid dan salat dengan menghadap ke timur.
As-Sayid dan Aqib menjadi jubir mereka di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kalian mau masuk islam?” tanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kami telah masuk islam sebelum kamu,” jawab mereka.
“Dusta, kalian bukan orang Islam disebabkan: kalian menganggap Allah punya anak, kalian menyembah salib, dan makan babi,” jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Jika Isa bukan anak Allah, lalu siapa ayahnya?” Serombogan orang-orang nasrani itupun serempak mendebat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pertanyaan itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tenang menjawab,
“Bukankah kalian tahu yang namanya anak, pasti punya kemiripan dengan bapak?”
“Ya, tentu,” jawab mereka.
“Bukankah kalian yakin, Allah yang mewujudkan segala sesuatu, menjaganya dan memberi rizeki mereka?”
“Ya, kami yakin itu,” jawab mereka.
“Apakah Isa punya salah satu dari kemampuan tuhan itu?”
“Tidak,” jawab mereka.
Beliau melajutkan sabdanya,
“Allah menciptakan Isa di dalam rahim sesuai yang Dia kehendaki. Tuhan kita tidak butuh makan, minum, dan tidak berhadats.”
“Ya, benar,” jawab mereka.
“Bukankah Isa tumbuh di rahim ibunya sebagaimana para wanita mengalami hamil, kemudian dia melahirkan sebagaimana para wanita melahirkan anaknya? Lalu bagaimana mungkin kalian meyakini dia anak tuhan?”
Kemudian mereka terdiam dan Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/50).
Hudzaifah menceritakan, Aqib dan as-Sayid menjadi wakil mereka maju menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hendak melakukan mubahalah. Tiba-tiba salah satu di antara mereka berpesan, ‘Jangan mubahalah. Demi Allah, jika benar dia nabi, kemudian dia melaknat kita, selamanya kita tidak akan selamat, juga keturunan kita.’
Kemudian mereka menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menerima tantangan kamu. Tunjuk satu orang yang amanah di antara kalian.”
“Baik, akan saya tunjuk satu orang yang sangat amanah di antara kami,” jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para sahabatpun menjadi terheran. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk, “Majulah wahai Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Ketika beliau berdiri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Dia adalah orang kepercayan umat ini. (HR. Bukhari 4380).
Ibnu Abbas mengomentari orang nasrani Najran,
وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهِلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَرَجَعُوا لاَ يَجِدُونَ مَالاً وَلاَ أَهْلاً
Andai ada orang yang berani bermubahalah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu mereka semua akan pulang, dan semua harta dan keluarganya akan hilang habis. (HR. Ahmad 2264).
Sumpah Mubahalah patut dilakukan sebagai alternatif terakhir setelah semua jalan sudah dilakukan..
Ajakan mubahalah ini setidaknya diajukan Suhada, ayah Faiz Ahmad Syukur salah satu korban insiden tersebut. Ia mengatakan, bahwa dirinya tidak mengerti hukum terkait tewasnya para laskar. Ia mengaku hanya mengerti syariat Islam , untuk itu ia mengajak Kapolda Metro Jaya untuk melakukan sumpah mubahalah.
Baca Juga
Jauh sebelum itu, tantangan mubahalah juga pernah disampaikan terpidana korupsi Anas Urbaningrum. Ia tak puas dengan keputusan pengadilan dan menantang bermubahalah. Tantangan ini pun tak bersambut.
Begitu juga pimpinan FPI, Habib Muhammad Rizieq Shihab , Ia menuliskan sumpah Mubahalah terhadap orang-orang yang dianggapnya telah memfitnah dirinya di akun Twitternya. Rizieq membantah terlibat dalam kasus chat mesum dengan Firza Husein.
Lalu, apa sesungguhnya mubahalah itu?
Kata mubahalah [arab: المباهلة] turunan dari kata al-Bahl [arab: البَهْل] yang artinya laknat. Dalam Lisan al-Arab dinyatakan,
البَهْل: اللعن، وبَهَله الله بَهْلاً أي: لعنه، وباهل القوم بعضهم بعضاً وتباهلوا وابتهلوا: تلاعنوا، والمباهلة: الملاعنة
Al-Bahl artinya laknat. Kalimat ‘bahalahullah bahlan’ artinya Allah melaknatnya. Kalimat ‘baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha’ artinya saling melaknat satu sama lain. Al-Mubahalah berarti Mula’anah (saling melaknat).
Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan, Al-Bahl dan Ibtihal dalam doa, artinya bersungguh-sungguh tanpa batas dalam berdoa. Seperti disebutkan dalam firman Allah, (yang artinya),
“Kemudian kita melakukan ibtihal, dan kita tetapkan laknat Allah untuk orang yang berdusta.” (QS Ali Imran: 61).
Ulama yang menafsirkan ibtihal dengan laknat karena umumnya orang lepas kontrol ketika itu, disebabkan melakukan laknat. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 63).
Kesimpulannya, Mubahalah artinya doa dalam bentuk melaknat dengan sungguh-sungguh.
Hasil Mubahalah
Contoh ungkapan Mubahalah, si A dan si B berseteru dalam masalah. Mereka masing-masing mengaku yang benar. Ketika Mubahalah, mereka saling mengatakan,
‘Demi Allah saya yang benar. Dan saya siap mendapat laknat Allah, jika saya dusta.’
Hasilnya, laknat akan ditimpakan kepada orang yang berdusta di antara mereka.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan: "Berdasarkan pengalaman, orang yang melakukan mubahalah di kalangan pembela kebatilan, tidak bertahan lebih dari setahun sejak hari mubahalah. Itu pernah saya alami sendiri bersama seorang yang memiliki pemikiran menyimpang, dan dia tidak bertahan hidup lebih dari 2 bulan."
Buku al-Qodiyaniyah, Ihsan Ilahi Dzahir, hl. 154 menyebut Syaikh Tsanaullah al-Amaritsari berdebat dengan Ghulam Ahmad. Setelah Ghulam berada di posisi kalah, akhirnya dapat dipungkasi dengan Mubahalah.
Syaikh mengatakan, "wahai Ghulam Ahmad, siapa di antara kita berada di atas kebatilan, maka Allah akan segera mematikan sebelum orang yang jujur (lawan debatnya) mati."
Pendusta di antara mereka mati lebih dahulu. Ghulam Ahmad mati di WC, terserang penyakit kolera, dan banyak orang menjauh darinya, karena tubuhnya mengeluarkan bau yang sagat tidak sedap. Sementara Syaikh Tsanaullah hidup hingga 40 tahun lagi.
Mubahalah dalam al-Quran
Mubahalah termasuk salah satu metode dakwah yang disebutkan dalam Al-Quran . Metode ini digunakan untuk melawan orang kafir dan orang musyrik yang bersikap sombong, dengan tidak mau menerima kebenaran, tetap kukuh di atas kebatilan dan kesesatan. Padahal telah disampaikan dalil-dalil yang sangat jelas, yang menunjukkan kesesatannya.
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menantang mubahalah orang-orang nasrani terkait akidah yang benar tentang Nabi Isa. Karena mereka tidak menerima kebenaran, setelah beliau menjelaskan bahwa Isa bukan anak tuhan.
Allah berfirman,
إنَّ مَثَلَ عِيسَى عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ . الْـحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلا تَكُن مِّنَ الْـمُمْتَرِينَ . فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.
(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS Ali Imran: 59 – 61).
Dalam ayat di atas, Allah mengajarkan bahwa ketika bermubahalah, hendaknya seseorang mengumpulkan keluarganya, anak dan istrinya. Mereka didatangkan di majlis mubahalah, kemudian saling mendoakan laknat bagi siapa yang berdusta.
Saad bin Abi Waqqash menceritakan,
ولما نزلت هذه الآية: {فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ} دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم علياً وفاطمة وحسناً وحسيناً فقال: اللَّهُمَّ هؤُلاءِ أَهْلِي
Ketika turun ayat ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau bersabda, ‘Ya Allah, mereka keluargaku.’ (HR Ahmad 1630, Muslim 6373, dan Turmudzi 2999).
Tujuan mengumpulkan keluarga, anak, istri ketika mubahalah, bukan menimpakan dampak buruk Mubahalah kepada mereka. Karena dampak buruk dari laknat ketika Mubahalah, hanya mengenai pelaku. Tujuan mengumpulkan mereka adalah untuk semakin meyakinkan dan menunjukkan keseriusan diantara mereka untuk melakukan mubahalah.
Sebab turunnya Ayat
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Ishaq dalam sirahnya, bahwa suatu ketika kota Madinah kedatangan tamu orang-orang nasrani dari daerah Najran.
Di antara mereka ada 14 orang yang merupakan pemuka dan tokoh agama di Najran. Dari 14 orang itu, ada 3 orang yang menjadi tokoh sentral: Aqib, gelarnya Abdul Masih. Dia pemuka kaum, yang memutuskan hasil musyawarah masyarakat. as-Sayid, dia pemimpin rombongan. Nama aslinya al-Aiham.
Dan yang ketiga Abul Haritsah bin Alqamah. Dulunya orang Arab, kemudian pindah ke Najran dan menjadi uskup di sana.
Ketika mereka sampai di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan salat asar. Mereka kemudian masuk masjid dan salat dengan menghadap ke timur.
As-Sayid dan Aqib menjadi jubir mereka di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kalian mau masuk islam?” tanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kami telah masuk islam sebelum kamu,” jawab mereka.
“Dusta, kalian bukan orang Islam disebabkan: kalian menganggap Allah punya anak, kalian menyembah salib, dan makan babi,” jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Jika Isa bukan anak Allah, lalu siapa ayahnya?” Serombogan orang-orang nasrani itupun serempak mendebat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pertanyaan itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tenang menjawab,
“Bukankah kalian tahu yang namanya anak, pasti punya kemiripan dengan bapak?”
“Ya, tentu,” jawab mereka.
“Bukankah kalian yakin, Allah yang mewujudkan segala sesuatu, menjaganya dan memberi rizeki mereka?”
“Ya, kami yakin itu,” jawab mereka.
“Apakah Isa punya salah satu dari kemampuan tuhan itu?”
“Tidak,” jawab mereka.
Beliau melajutkan sabdanya,
“Allah menciptakan Isa di dalam rahim sesuai yang Dia kehendaki. Tuhan kita tidak butuh makan, minum, dan tidak berhadats.”
“Ya, benar,” jawab mereka.
“Bukankah Isa tumbuh di rahim ibunya sebagaimana para wanita mengalami hamil, kemudian dia melahirkan sebagaimana para wanita melahirkan anaknya? Lalu bagaimana mungkin kalian meyakini dia anak tuhan?”
Kemudian mereka terdiam dan Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/50).
Hudzaifah menceritakan, Aqib dan as-Sayid menjadi wakil mereka maju menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hendak melakukan mubahalah. Tiba-tiba salah satu di antara mereka berpesan, ‘Jangan mubahalah. Demi Allah, jika benar dia nabi, kemudian dia melaknat kita, selamanya kita tidak akan selamat, juga keturunan kita.’
Kemudian mereka menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menerima tantangan kamu. Tunjuk satu orang yang amanah di antara kalian.”
“Baik, akan saya tunjuk satu orang yang sangat amanah di antara kami,” jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para sahabatpun menjadi terheran. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk, “Majulah wahai Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Ketika beliau berdiri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Dia adalah orang kepercayan umat ini. (HR. Bukhari 4380).
Ibnu Abbas mengomentari orang nasrani Najran,
وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهِلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَرَجَعُوا لاَ يَجِدُونَ مَالاً وَلاَ أَهْلاً
Andai ada orang yang berani bermubahalah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu mereka semua akan pulang, dan semua harta dan keluarganya akan hilang habis. (HR. Ahmad 2264).
Sumpah Mubahalah patut dilakukan sebagai alternatif terakhir setelah semua jalan sudah dilakukan..
(mhy)