Begini Kondisi Maju Pesatnya Dinasti Abbasiyah di Era Abu Nawas
Selasa, 01 Juni 2021 - 14:07 WIB
Syair mereka menjurus kepada jenaka, perpeloncoan dan kritikan pedas yang lepas bebas, kendati masih penuh dengan nuansa religius, filsafat, maupun sufisme. Ternyata dampak dari langkah ini betul-betul hebat sehingga seakan bahasa ahli syair mengental dengan warna kehidupan publik sehari-hari.
Bahasa asal publik itu sendiri seakan dibuat lumpuh tergiring dalam kebudayaan dan pengetahuan para ahli syair. Segera saja perilaku Abu Nawas ini diikuti oleh Abu Syamqamaq, Husein bin Dhahhak, Abbas bin Ahnaf, dan lain-lain.
Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, para pujangga itu akhirnya disusupi orang-orang yang membenci Islam, sehingga budaya adiluhung kaum muslim harus berhadapan dengan mereka yang menghendaki hancurnya Islam dari dalam, yang sedikit demi sedikit menggerogoti akidah dan syari'ah. Lebih parahnya lagi, ada kebiasaan dalam mendendangkan syair itu tidak lepas dari arak dan wanita, apalagi di hari Nairuz.
Perilaku ahli syair dapat dikatakan melampaui batas dan menjurus pada hedonisme atau kesenangan duniawi semata. Banyak para wanita yang mengenakan pakaian pria dan sebaliknya, sehingga perilaku mereka dapat dikatakan keluar dari koridor agama, meremehkan akidah dan tidak mengindahkan lagi terhadap syari'at. Bahkan, kaum atheis dari bekas-bekas budak yang terdiri dari orang Persia mulai berani menyebarkan paham. Mereka juga menghina kebudayaan Arab yang berbau badui dan kasar, serta mengontraskannya dengan kebudayaan Persia yang mereka anggap modern.
Fenomena ini menggusarkan Baginda al Mahdi. Setelah baginda mengadakan penyisiran dan mengetahui adanya penyusupan, baginda segera mengadakan tindakan seperlunya. Dalam masa ini, banyak ahli syair yang harus berhadapan dengan kebijaksanaan kerajaan, sebagaimana Ibnul Muqaffa', Shalih bin Abdil Qudus, dan Bisyar bin Barad.
Bahasa asal publik itu sendiri seakan dibuat lumpuh tergiring dalam kebudayaan dan pengetahuan para ahli syair. Segera saja perilaku Abu Nawas ini diikuti oleh Abu Syamqamaq, Husein bin Dhahhak, Abbas bin Ahnaf, dan lain-lain.
Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, para pujangga itu akhirnya disusupi orang-orang yang membenci Islam, sehingga budaya adiluhung kaum muslim harus berhadapan dengan mereka yang menghendaki hancurnya Islam dari dalam, yang sedikit demi sedikit menggerogoti akidah dan syari'ah. Lebih parahnya lagi, ada kebiasaan dalam mendendangkan syair itu tidak lepas dari arak dan wanita, apalagi di hari Nairuz.
Perilaku ahli syair dapat dikatakan melampaui batas dan menjurus pada hedonisme atau kesenangan duniawi semata. Banyak para wanita yang mengenakan pakaian pria dan sebaliknya, sehingga perilaku mereka dapat dikatakan keluar dari koridor agama, meremehkan akidah dan tidak mengindahkan lagi terhadap syari'at. Bahkan, kaum atheis dari bekas-bekas budak yang terdiri dari orang Persia mulai berani menyebarkan paham. Mereka juga menghina kebudayaan Arab yang berbau badui dan kasar, serta mengontraskannya dengan kebudayaan Persia yang mereka anggap modern.
Fenomena ini menggusarkan Baginda al Mahdi. Setelah baginda mengadakan penyisiran dan mengetahui adanya penyusupan, baginda segera mengadakan tindakan seperlunya. Dalam masa ini, banyak ahli syair yang harus berhadapan dengan kebijaksanaan kerajaan, sebagaimana Ibnul Muqaffa', Shalih bin Abdil Qudus, dan Bisyar bin Barad.
(mhy)