Kisah Khalifah Muawiyah Mengganti Sistem Demokratis ke Monarki
Selasa, 15 Februari 2022 - 19:15 WIB
Mereka tinggal di rumah sederhana, memenuhi kebutuhan hidup sendiri seperti pergi belanja ke pasar, memperbaiki rumah atau peralatan keluarga, persis seperti yang dijalani orang kebanyakan.
Sejak kepemimpinan dipegang oleh Muawiyah, ia meniru sistem pemerintahan ala kerajaan. Muawiyah hidup layaknya raja, membangun istana di dalam benteng, memiliki banyak pembantu, bergelimang kemewahan, berpengawal lengkap dengan kekuasaan mutlak.
Muawiyah pun menyebut dirinya sebagai “khalifatullah” (“wakil” Allah di bumi) –suatu istilah yang kemudian dipakai oleh para khalifah periode-periode berikutnya.
Pewarisan Tahta
Setelah Muawiyah menerima perjanjian damai dari Hasan bin Ali, dimulailah rencana pewarisan tahta khalifah kepada putranya Yazid bin Muawiyah. Satu tindakan yang sebenarnya mencederai isi perjanjian itu sendiri.
Menurut Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam", usulan pertama untuk mengangkat Yazid sebagai khalifah setelah Muawiyah muncul dari Mughira bin Shoba. Ini terjadi pada tahun 50 H, atau berselang 9 tahun dari perjanjian damai antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali.
Ketika itu, areal kekuasaan kaum Muslimin sudah membentang hingga ke Sudan dan Maroko di Afrika, dan sebentar lagi akan menyebrangi Gibraltar. Di Timur, kekuatan kaum Muslimin sudah mulai menguasai juga Pakistan dan sebagian besar kawasan Asia Tengah.
Salah satu alasannya, Muawiyah khawatir bila capaiannya ini bisa rusak bila kepemimpinan setelahnya tidak jatuh ke tangan yang tepat.
Menurut Akbar Shah Najeebabadi, di tahun yang sama (50 H), Mughira datang dari Kufah dan menceritakan kekhawatirannya tentang situsi politik yang melanda kaum Muslimin pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
Ia tidak ingin hal tersebut terulang lagi, di mana masing-masing kelompok berebut kursi kekhalifahan dan menyebabkan terjadinya perpecahan. Ia lalu mengusulkan Yazid bin Muawiyah sebagai orang paling tepat menggantikan kedudukan ayahnya.
Semula Muawiyah tampak ragu orang-orang akan memberikan bai’at kepada putranya, mengingat Yazid memang bukanlah sosok terbaik kala itu.
Menurut Ali Audah, Yazid berbeda dengan Muawiyah. Ia lahir di lingkungan Istana Bani Umayyah, jauh dari lingkungan peradaban Muslimin kala itu di Madinah.
Ia tidak pernah bertemu apalagi berinteraksi dengan para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat yang berakhlak mulia lainnya. Sebaliknya, Yazid diasuh dalam kemewahan istana sampai ia dewasa.
Yazid tidak memiliki minat terhadap ilmu pengetahuan, tidak juga dikenal sebagai ahli ibadah. Kegemarannya adalah bersukaria, dan berburu. Bahkan ketika Muawiyah wafat, Yazid tidak ada di Istana, karena ia sedang berburu.
Bagi masyarakat – yang Muawiyah sendiri tentu sadari – masih banyak sosok-sosok yang jauh lebih kompeten dari Yazid, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan Husein bin Ali. Tapi lagi-lagi, tidak ada satupun penjelasan yang lebih masuk akal terkait keputusan ini, selain semangat ashobiyah dalam diri Muawiyah.
Meski, menurut beberapa riwayat, Muawiyah ragu dengan usulan Mughira, tapi kemudian Mughira berhasil meyakinkannya. Ia menjaminkan pada Muawiyah, bahwa tidak akan ada oposisi bagi Yazid yang akan menggagalkan rencananya.
Rencananya, ia akan membujuk masyarakat Kufah, Ziyad bin Abi Sufyan akan memaksa masyarakat Basrah, dan Marwan bin Hakam bersama Sayeed bin Ash akan melakukan hal sama di Madinah dan Mekkah. Sedang di Syiria (Damaskus) sendiri, tidak akan ada satupun oposisi yang berani menentangnya.
Mengkampayekan Yazid
Sejak kepemimpinan dipegang oleh Muawiyah, ia meniru sistem pemerintahan ala kerajaan. Muawiyah hidup layaknya raja, membangun istana di dalam benteng, memiliki banyak pembantu, bergelimang kemewahan, berpengawal lengkap dengan kekuasaan mutlak.
Muawiyah pun menyebut dirinya sebagai “khalifatullah” (“wakil” Allah di bumi) –suatu istilah yang kemudian dipakai oleh para khalifah periode-periode berikutnya.
Pewarisan Tahta
Setelah Muawiyah menerima perjanjian damai dari Hasan bin Ali, dimulailah rencana pewarisan tahta khalifah kepada putranya Yazid bin Muawiyah. Satu tindakan yang sebenarnya mencederai isi perjanjian itu sendiri.
Menurut Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam", usulan pertama untuk mengangkat Yazid sebagai khalifah setelah Muawiyah muncul dari Mughira bin Shoba. Ini terjadi pada tahun 50 H, atau berselang 9 tahun dari perjanjian damai antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali.
Ketika itu, areal kekuasaan kaum Muslimin sudah membentang hingga ke Sudan dan Maroko di Afrika, dan sebentar lagi akan menyebrangi Gibraltar. Di Timur, kekuatan kaum Muslimin sudah mulai menguasai juga Pakistan dan sebagian besar kawasan Asia Tengah.
Salah satu alasannya, Muawiyah khawatir bila capaiannya ini bisa rusak bila kepemimpinan setelahnya tidak jatuh ke tangan yang tepat.
Menurut Akbar Shah Najeebabadi, di tahun yang sama (50 H), Mughira datang dari Kufah dan menceritakan kekhawatirannya tentang situsi politik yang melanda kaum Muslimin pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
Ia tidak ingin hal tersebut terulang lagi, di mana masing-masing kelompok berebut kursi kekhalifahan dan menyebabkan terjadinya perpecahan. Ia lalu mengusulkan Yazid bin Muawiyah sebagai orang paling tepat menggantikan kedudukan ayahnya.
Semula Muawiyah tampak ragu orang-orang akan memberikan bai’at kepada putranya, mengingat Yazid memang bukanlah sosok terbaik kala itu.
Menurut Ali Audah, Yazid berbeda dengan Muawiyah. Ia lahir di lingkungan Istana Bani Umayyah, jauh dari lingkungan peradaban Muslimin kala itu di Madinah.
Ia tidak pernah bertemu apalagi berinteraksi dengan para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat yang berakhlak mulia lainnya. Sebaliknya, Yazid diasuh dalam kemewahan istana sampai ia dewasa.
Yazid tidak memiliki minat terhadap ilmu pengetahuan, tidak juga dikenal sebagai ahli ibadah. Kegemarannya adalah bersukaria, dan berburu. Bahkan ketika Muawiyah wafat, Yazid tidak ada di Istana, karena ia sedang berburu.
Bagi masyarakat – yang Muawiyah sendiri tentu sadari – masih banyak sosok-sosok yang jauh lebih kompeten dari Yazid, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan Husein bin Ali. Tapi lagi-lagi, tidak ada satupun penjelasan yang lebih masuk akal terkait keputusan ini, selain semangat ashobiyah dalam diri Muawiyah.
Meski, menurut beberapa riwayat, Muawiyah ragu dengan usulan Mughira, tapi kemudian Mughira berhasil meyakinkannya. Ia menjaminkan pada Muawiyah, bahwa tidak akan ada oposisi bagi Yazid yang akan menggagalkan rencananya.
Rencananya, ia akan membujuk masyarakat Kufah, Ziyad bin Abi Sufyan akan memaksa masyarakat Basrah, dan Marwan bin Hakam bersama Sayeed bin Ash akan melakukan hal sama di Madinah dan Mekkah. Sedang di Syiria (Damaskus) sendiri, tidak akan ada satupun oposisi yang berani menentangnya.
Mengkampayekan Yazid