Kisah Iyas bin Mu’awiyah al-Muzanni Luruskan Anggapan Guru Yahudi Surga Itu Aneh
Jum'at, 15 April 2022 - 15:05 WIB
Keesokan harinya beliau mengundang walinya di Irak yang bernama Adi bin Arthah yang ketika itu berada di Damaskus. “Wahai Adi, panggillah Iyas bin Mu’awiyah al-Muzanni dan al-Qasim bin Rabi’ah al-Haritsi. Ajaklah keduannya membicarakan perihal pengadilan di Bashrah, lalu pilihlah salah satu dari keduanya,” titah Umar bin Abdul Aziz kepada Adi bin Arthah.
“Saya mendengar dan saya taat wahai Amirul Mukminin,” jawab Adi.
Akhirnya, Adi bin Arthah mempertemukan antara Iyas dan al-Qasim lalu berkata, “Amirul Mukminin memintaku untuk mengangkat salah satu dari kalian untuk menjadi kepala Pengadilan Bashrah. Bagaimana pendapat kalian berdua?”
Masing-masing dari mereka mengatakan bahwa rekannyalah yang lebih utama. Iyas menganggap al-Qasim lebih utama, sedangkan al-Qasim menganggap Iyaslah yang lebih utama darinya. Mereka masing-masing menyebutkan keutamaan ilmu dan kefakihannya rekannya.
“Kalian tidak boleh keluar dari sini sebelum kalian memutuskannya,” ujar Adi kemudian.
Buru-buru Iyas berkata, “Wahai Amir, Anda bisa menanyakan tentang diriku dan al-Qasim kepada dua fuqaha ternama di Irak, yaitu Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, karena keduanyalah yang paling mampu membedakan antara kami berdua.”
Iyas mengatakan hal itu, karena al-Qasim adalah murid dari kedua ulama tersebut, sedangkan Iyas sendiri tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka. Al-Qasim menyadari bahwa Iyas akan memojokkannya, sebab jika pemimpin Irak itu bermusyawarah dengan kedua ulama tersebut tentulah mereka akan memilih dia bukan Iyas.
Maka dia segera menoleh kepada Adi dan berkata, “Wahai Amir, janganlah Anda menanyakan perihalku kepada siapapun. Demi Allah yang tiada ilah selain Dia. Iyas lebih mengerti tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada aku dan lebih mampu untuk menjadi hakim. Bila aku berbohong dalam sumpahku ini, maka tentunya Anda tidak patut memilihku karena itu berarti memberikan jabatan kepada orang yang ada cacatnya. Bila aku jujur, Anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah, sedangkan di sini ada yang lebih utama.”
Iyas menoleh kepada Adi dan berkata, “Wahai Amir, Anda memanggil orang untuk dijadikan hakim. Ibaratnya Anda meletakkan ia di tepi jahannam, lalu orang itu (yakni al-Qasim) hendak menyelamatkan dirinya dengan sumpah palsu, dia bisa meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan beristighfar kepada-Nya. Kemudian selamatlah dia dari apa yang ditakutinya.”
Maka Adi berkata, “Orang yang berpandangan seperti dirimu inilah yang pantas menjadi hakim.” Lalu diangkatlah Iyas sebagai Hakim di Bashrah.
“Saya mendengar dan saya taat wahai Amirul Mukminin,” jawab Adi.
Akhirnya, Adi bin Arthah mempertemukan antara Iyas dan al-Qasim lalu berkata, “Amirul Mukminin memintaku untuk mengangkat salah satu dari kalian untuk menjadi kepala Pengadilan Bashrah. Bagaimana pendapat kalian berdua?”
Masing-masing dari mereka mengatakan bahwa rekannyalah yang lebih utama. Iyas menganggap al-Qasim lebih utama, sedangkan al-Qasim menganggap Iyaslah yang lebih utama darinya. Mereka masing-masing menyebutkan keutamaan ilmu dan kefakihannya rekannya.
“Kalian tidak boleh keluar dari sini sebelum kalian memutuskannya,” ujar Adi kemudian.
Buru-buru Iyas berkata, “Wahai Amir, Anda bisa menanyakan tentang diriku dan al-Qasim kepada dua fuqaha ternama di Irak, yaitu Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, karena keduanyalah yang paling mampu membedakan antara kami berdua.”
Iyas mengatakan hal itu, karena al-Qasim adalah murid dari kedua ulama tersebut, sedangkan Iyas sendiri tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka. Al-Qasim menyadari bahwa Iyas akan memojokkannya, sebab jika pemimpin Irak itu bermusyawarah dengan kedua ulama tersebut tentulah mereka akan memilih dia bukan Iyas.
Maka dia segera menoleh kepada Adi dan berkata, “Wahai Amir, janganlah Anda menanyakan perihalku kepada siapapun. Demi Allah yang tiada ilah selain Dia. Iyas lebih mengerti tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada aku dan lebih mampu untuk menjadi hakim. Bila aku berbohong dalam sumpahku ini, maka tentunya Anda tidak patut memilihku karena itu berarti memberikan jabatan kepada orang yang ada cacatnya. Bila aku jujur, Anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah, sedangkan di sini ada yang lebih utama.”
Iyas menoleh kepada Adi dan berkata, “Wahai Amir, Anda memanggil orang untuk dijadikan hakim. Ibaratnya Anda meletakkan ia di tepi jahannam, lalu orang itu (yakni al-Qasim) hendak menyelamatkan dirinya dengan sumpah palsu, dia bisa meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan beristighfar kepada-Nya. Kemudian selamatlah dia dari apa yang ditakutinya.”
Maka Adi berkata, “Orang yang berpandangan seperti dirimu inilah yang pantas menjadi hakim.” Lalu diangkatlah Iyas sebagai Hakim di Bashrah.
(mhy)