Bagaimana Hukum Kurban Kerbau seperti yang Dilakukan Masyarakat Kudus?
Sabtu, 02 Juli 2022 - 12:40 WIB
Hukum kurban kerbau sebagaimana dilakukan masyarakat Kudus, Jawa Tengah, adalah boleh. Maknanya, berkurban dengan hewan kerbau adalah sah, dan hukumnya sama dengan berkurban dengan sapi, sebab kerbau merupakan hewan yang masih terkategorikan sebagai spesies dari sapi.
Di Kota Kretek, kerbau adalah hewan kurban pengganti sapi. Kebanyakan masyarakat Kudus seakan berpantang menyembelih sapi. Pada Hari Raya Idul Adha , di antara mereka lebih memilih menyembelih kerbau dan kambing. Dan ini merupakan jejak dakwah Sunan Kudus Ja'far Shodiq yang sampai kini masih membekas di kota tersebut.
Syariat Islam telah menentukan beberapa jenis hewan yang sah dijadikan kurban, yaitu unta, sapi, dan kambing. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyembelih kurban unta dan sapi untuk tujuh orang.
Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah beliau berkata:
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Kita bersama Rasulullah SAW pada saat perang Hudaibiyah menyembelih hewan unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR Imam Muslim).
Sejumlah ulama menganggap kerbau merupakan salah satu dari spesies hewan sapi, sehingga hukum berkurban menggunakan kerbau sama saja dengan berkurban menggunakan sapi, yaitu sah dan mencukupi untuk tujuh orang. Ketentuan usianya juga sama persis dengan sapi, yaitu minimal berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Syaikh Muhammmad Nawawi bin Umar al Jawi dalam "Tausyikh ‘Ala Ibni Qosim", mengatakan hewan yang berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga dari sapi yang jinak. Dan termasuk ke dalam jenisnya sapi adalah kerbau yang jinak.
Dikecualikan dari sapi/kerbau jinak yaitu sapi/kerbau liar, maka tidak cukup untuk dijadikan kurban walaupun termasuk ke dalam jenisnya sapi/kerbau. Dan tidak ditemukan dari selain keduanya istilah hewan yang liar.
Sedangkan Syaikh Khatib al-Syarbini dalam kitab al-Iqna’ mengatakan sapi jinak yang sempurna berusia dua tahun dan memasuki tahun ketiga. Dikecualikan dengan qayyid jinak yaitu sapi liar, maka tidak mencukupi dalam kurban meskipun masuk dalam nama sapi”.
Syaikh Sulaiman al-Bujairimi mengomentari itu dalam "Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Iqna’ mengatakan ucapan Syaikh Khatib dari sapi jinak, di antaranya adalah kerbau.
Syekh Khatib membatasi sapi dengan jinak bukan kepada hewan lain, sebab hewan kurban lainnya tidak ditemukan istilah liar.
Al-Baqar merupakan jenis spesies hewan yang mencakup “al-‘Irab” (sejenis sapi) dan “al-Jawamis” (kerbau). Bila seseorang bersumpah tidak memakan daging “al-Baqar” maka dihukumi melanggar sumpah disebabkan memakan “al-Jamus” (kerbau). Sebab “al-Jamus” (kerbau) merupakan bagian dari jenis “al-Baqar” (sapi).
Syekh Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahab berkata: “Ucapan pengarang; dan daging sapi mencakup kerbau, karena sapi adalah jenis yang mencakup sapi ‘irab dan kerbau, berbeda bila ia bersumpah tidak memakan kerbau, maka tidak mencakup sapi ‘irab, sehingga tidak dihukumi melanggar sumpah dengan memakannya, karena kerbau bagian dari sapi”.
Tradisi Turun Temurun
Bagi masyarakat Kudus, mengganti sapi dengan kerbau sebagai hewan kurban merupakan tradisi yang sudah turun temurun sejak Sunan Kudus menetapkan larangan menyembelih sapi pada saat beliau memulai menyebarkan Islam di daerah tersebut.
Kala itu, penduduk Kudus banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Itu sebabnya Sunan Kudus banyak melakukan terobosan-terobosan yang mengagumkan.
Buku Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi mengisahkan pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi. Sapi tersebut diimpor dari India, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Ja'far Shodiq. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap binatang yang dikeramatkan mereka itu.
Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” sambut Sunan Kudus memulai pidato. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Ja'far Shodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Dalam kitab suci agama Islam, salah satu di antara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” jelas Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu.
Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Di Kota Kretek, kerbau adalah hewan kurban pengganti sapi. Kebanyakan masyarakat Kudus seakan berpantang menyembelih sapi. Pada Hari Raya Idul Adha , di antara mereka lebih memilih menyembelih kerbau dan kambing. Dan ini merupakan jejak dakwah Sunan Kudus Ja'far Shodiq yang sampai kini masih membekas di kota tersebut.
Syariat Islam telah menentukan beberapa jenis hewan yang sah dijadikan kurban, yaitu unta, sapi, dan kambing. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyembelih kurban unta dan sapi untuk tujuh orang.
Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah beliau berkata:
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Kita bersama Rasulullah SAW pada saat perang Hudaibiyah menyembelih hewan unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR Imam Muslim).
Sejumlah ulama menganggap kerbau merupakan salah satu dari spesies hewan sapi, sehingga hukum berkurban menggunakan kerbau sama saja dengan berkurban menggunakan sapi, yaitu sah dan mencukupi untuk tujuh orang. Ketentuan usianya juga sama persis dengan sapi, yaitu minimal berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Syaikh Muhammmad Nawawi bin Umar al Jawi dalam "Tausyikh ‘Ala Ibni Qosim", mengatakan hewan yang berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga dari sapi yang jinak. Dan termasuk ke dalam jenisnya sapi adalah kerbau yang jinak.
Dikecualikan dari sapi/kerbau jinak yaitu sapi/kerbau liar, maka tidak cukup untuk dijadikan kurban walaupun termasuk ke dalam jenisnya sapi/kerbau. Dan tidak ditemukan dari selain keduanya istilah hewan yang liar.
Sedangkan Syaikh Khatib al-Syarbini dalam kitab al-Iqna’ mengatakan sapi jinak yang sempurna berusia dua tahun dan memasuki tahun ketiga. Dikecualikan dengan qayyid jinak yaitu sapi liar, maka tidak mencukupi dalam kurban meskipun masuk dalam nama sapi”.
Syaikh Sulaiman al-Bujairimi mengomentari itu dalam "Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Iqna’ mengatakan ucapan Syaikh Khatib dari sapi jinak, di antaranya adalah kerbau.
Syekh Khatib membatasi sapi dengan jinak bukan kepada hewan lain, sebab hewan kurban lainnya tidak ditemukan istilah liar.
Al-Baqar merupakan jenis spesies hewan yang mencakup “al-‘Irab” (sejenis sapi) dan “al-Jawamis” (kerbau). Bila seseorang bersumpah tidak memakan daging “al-Baqar” maka dihukumi melanggar sumpah disebabkan memakan “al-Jamus” (kerbau). Sebab “al-Jamus” (kerbau) merupakan bagian dari jenis “al-Baqar” (sapi).
Syekh Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahab berkata: “Ucapan pengarang; dan daging sapi mencakup kerbau, karena sapi adalah jenis yang mencakup sapi ‘irab dan kerbau, berbeda bila ia bersumpah tidak memakan kerbau, maka tidak mencakup sapi ‘irab, sehingga tidak dihukumi melanggar sumpah dengan memakannya, karena kerbau bagian dari sapi”.
Tradisi Turun Temurun
Bagi masyarakat Kudus, mengganti sapi dengan kerbau sebagai hewan kurban merupakan tradisi yang sudah turun temurun sejak Sunan Kudus menetapkan larangan menyembelih sapi pada saat beliau memulai menyebarkan Islam di daerah tersebut.
Kala itu, penduduk Kudus banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Itu sebabnya Sunan Kudus banyak melakukan terobosan-terobosan yang mengagumkan.
Buku Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi mengisahkan pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi. Sapi tersebut diimpor dari India, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Ja'far Shodiq. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap binatang yang dikeramatkan mereka itu.
Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.
Baca Juga
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” sambut Sunan Kudus memulai pidato. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Ja'far Shodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Dalam kitab suci agama Islam, salah satu di antara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” jelas Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu.
Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
(mhy)