Perang Shiffin: Ini Mengapa Abdullah bin Amr di Pihak Mu'awiyah, Bukan Ali bin Abu Thalib
Selasa, 19 Juli 2022 - 14:23 WIB
Seorang mukmin seperti Abdullah bin Amr bin al-Ash ini akan sulit dijumpai dalam pertempuran yang berkecamuk di antara dua kelompok Muslim. Bila demikian, apakah yang membawa kakinya dari Madinah ke Shiffin dan bergabung dengan barisan Mu'awiyah dalam pertempuran menghadapi Ali bin Abi Thalib ? Yang pasti bahwa sikap Abdullah ini patut direnungkan, dan setelah memahaminya, ia itu layak mendapatkan penghargaan dan penghormatan.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Rijalun haular Rasul" dan telah diterjemahkan Agus Suwandi menjadi "Kisah 60 Sahabat Nabi" menceritakan bahwa Abdullah bin Amr memusatkan perhatiannya terhadap ibadah, hingga dapat membahayakan nyawanya. Hal ini sangat mencemaskan hati ayahnya, hingga ia sering melaporkan anaknya itu kepada Rasulullah SAW .
Pada kali terakhir Rasulullah SAW menasihatinya agar sedang-sedang saja dalam beribadah itu dan menentukan waktu-waktunya, ayahnya pada waktu itu juga hadir. Rasulullah SAW meraih tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan ayahnya, lalu bersabda, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Dan walaupun selama ini dengan akhlak dan keagamaannya, Abdullah selalu taat kepada kedua orang tuanya, perintah Rasulullah SAW yang dilakukan dengan cara tersebut dan dalam suasana seperti itu meninggalkan kesan tersendiri pada dirinya. Sepanjang usia, Abdullah tidak pernah lupa sesaat pun kalimat singkat tersebut, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Hari terus berputar dan tahun berganti tahun. Mu'awiyah di Syria menolak baiat terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Ali menolak tunduk terhadap pembangkangan yang tidak sah itu. Peperangan antara dua golongan kaum muslimin tidak bisa terhindarkan. Perang Jamal telah berlalu dan selanjutnya berganti dengan perang Shiffin.
Amr bin Al-Ash telah menentukan sikapnya dan berpihak kepada Mu'awiyah. Ia menyadari sepenuhnya bagaimana penghormatan kaum muslimin terhadap putranya Abdullah, di samping kepercayaan mereka terhadap agamanya. Ia ingin mengajak putranya itu bergabung ke pihak Mu'awiyah, sehingga dengan posisinya itu banyak kaum muslimin yang mengikutinya.
Selain itu, Amr sangat optimistis dengan kehadiran Abdullah di dekatnya akan membawa nasib mujur baginya dalam peperangan. Ia belum lupa bagaimana jasa putranya itu pada saat penyerbuan ke Syria dan waktu
Pertempuran Yarmuk. Karena itulah, ketika hendak berangkat ke Shiffin, ia memanggil putranya dan berkata, “Wahai Abdullah, bersiap-siaplah untuk berangkat. Engkau akan berperang di pihak kami.”
Abdullah menjawab, “Bagaimana mungkin aku melakukannya, sedangkan Rasulullah SAW telah mengamanatkan kepadaku agar tidak mengangkat senjata di atas leher orang Islam untuk selama-lamanya?”
Amr dengan kecerdasannya mencoba meyakinkan Abdullah, bahwa maksud kepergian mereka ini hanyalah untuk membekuk pembunuh-pembunuh Utsman dan menuntutkan balas atas darah sucinya.
Kemudian secara tiba-tiba ayahnya mengatakan kepadanya, “Apakah engkau masih ingat, wahai Abdullah, amanah terakhir yang disampaikan Rasulullah kepadamu ketika beliau meraih tanganmu lalu meletakkannya ke atas tanganku seraya bersabda, “Taatilah ayahmu? Sekarang aku menghendaki agar engkau bersama kami dan ikut berperang.”
Akhirnya, Abdullah berangkat sebagai wujud ketaatan kepada ayahnya. Dalam hatinya ia tetap bertekad tidak akan mengangkat pedang terhadap seorang Muslim. Tetapi, bagaimana ia melakukannya? Yang penting baginya kini ialah turut bersama ayahnya, sedangkan bila perang berlangsung nanti, terserah kepada Allah saja bagaimana takdir-Nya.
Perang pun berkecamuk dengan dahsyat. Para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut serta di permulaan perang itu ataukah tidak. Kita katakan di permulaan, karena tidak lama setelah itu, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan Abdullah bin Amr mengambil sikap secara terang-terangan menentang peperangan dan menentang Mu'awiyah.
Hal itu terjadi karena Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali. Ammar adalah sahabat yang sangat dihormati oleh para sahabat. Lebih daripada itu, jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah mengabarkan kematiannya dan
siapa pembunuhnya.
Kisahnya, ketika itu Rasulullah SAW bersama para sahabat sedang membangun masjid di Madinah, tidak lama setelah hijrah beliau ke sana. Batu-batu yang digunakan sebagai bahannya ialah batu-batu besar dan berat, sehingga setiap orang hanya dapat mengangkat satu-satu saja. Tetapi, Ammar, karena dorongan perasaan senang dan semangatnya, dapat mengangkut dua batu sekaligus.
Hal itu tampak oleh Rasulullah, beliau memandangi anak muda itu dengan linangan air mata, lalu bersabda, “Kasihan putra Sumayyah itu, ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampau batas."
Semua sahabat yang ikut bekerja pada hari itu mendengar pengabaran Rasulullah tersebut dan teringat. Abdullah bin Amr juga mendengarnya. Saat awal peperangan antara pihak Ali dan Mu'awiyah itu, Ammar naik ke tempat yang tinggi dan berteriak dengan sekuat suaranya membangkitkan
semangat, “Hari ini kita akan menjumpai para kekasih: Muhammad beserta sahabat-sahabatnya."
Sekelompok orang dari pasukan Mu'awiyah saling memberi saran untuk membunuhnya. Mereka sepakat mengarahkan anak panah kepadanya dan melepaskannya secara serempak tepat mengenai sasaran. Serangan itu langsung mengantarkan Ammar ke alam syuhada dan para pahlawan.
Berita wafatnya Ammar ini menyebar bagai angin kencang. Saat mendengar kabar itu Abdullah sontak bangkit. Hatinya meledak dan berontak, ia berkata, “Benarkah Ammar terbunuh? Dan kalian pembunuhnya? Kalau begitu, kalianlah pihak yang aniaya. Kalian berperang di jalan yang sesat dan salah.”
Abdullah berkeliling di barisan Mu'awiyah sebagai pemberi peringatan, melemahkan semangat mereka dan menyatakan bahwa mereka adalah pihak yang melampaui batas karena merekalah yang telah membunuh Ammar. Dua puluh tujuh tahun yang lalu, di hadapan sejumlah sahabat, Rasulullah SAW telah mengabarkan bahwa ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.
Ucapan Abdullah itu disampaikan orang kepada Mu'awiyah, yang segera memanggil Amr dan putranya itu. Mu'awiyah berkata kepada Amr, “Mengapa engkau tidak mencegah anakmu yang gila itu?”
Abdullah sendiri yang menjawab, “Aku tidak gila. Hanya saja aku mendengar Rasulullah mengatakan kepada Ammar, “Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas'.”
“Kalau begitu, mengapa engkau ikut bersama kami?”
"Karena Rasulullah memerintahkan kepadaku agar taat kepada ayahku. Aku telah menaati perintahnya supaya ikut pergi, tetapi aku tidak ikut berperang membelamu.”
Ketika mereka sedang adu mulut itu, tiba-tiba seseorang masuk dan memintakan izin bagi orang yang telah membunuh Ammar untuk menghadap. Abdullah bin Amr langsung menyahut, “Suruhlah ia masuk dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa ia di neraka.”
Bagaimana pun ketenangan dan kesabaran Mu'awiyah, ia tetap tidak bisa mengendalikan kemarahannya lagi, lalu berteriak kepada Amr, “Cegahlah, apakah engkau tidak mendengar kata-katanya itu?”
Tetapi, dengan ketenangan seorang yang bertakwa, Abdullah kembali menegaskan kepada Mu'awiyah bahwa apa yang dikatakannya itu adalah benar dan pihak yang membunuh Ammar tidak lain merupakan orang-orang yang durhaka.
Kemudian sambil mengalihkan mukanya kepada ayahnya, Abdullah berkata, “Kalau bukan karena Rasulullah menyuruhku agar menaatimu, aku tidak akan pergi bersama kalian dalam perjalanan ini.”
Mu'awiyah dan Amr keluar untuk memeriksa pasukan. Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika mengetahui bahwa semua orang sedang membicarakan pengabaran Rasulullah SAW terhadap Ammar, “Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.”
Amr dan Mu'awiyah berasa bahwa kasak-kusuk itu dapat meningkat menjadi tantangan dan pembangkangan terhadap Mu'awiyah. Karenanya, mereka berdua memikirkan suatu taktik. Akhirnya mereka berdua menemukannya dan menyampaikan kepada barisan pasukan, “Memang benar, suatu hari Rasulullah pernah mengatakan kepada Ammar, 'Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.'
"Pengabaran Rasulullah itu benar. Dan sekarang Ammar telah dibunuh. Namun, siapakah yang membunuhnya? Pembunuhnya tidak lain ialah orang-orang yang telah mengajaknya pergi ikut berperang.”
Dalam suasana kacau balau seperti itu, berbagai logika bisa saja dimunculkan. Faktanya logika Mu'awiyah dan Amr bisa diterima dan mendapat dukungan. Kedua pasukan pun mulai bertempur lagi, sementara Abdullah bin Amr kembali ke masjid dan ibadahnya.
Abdullah bin Amr menjalani kehidupannya dan tidak mengisinya selain dengan mengabdikan diri dan beribadah. Tetapi, keikutsertaannya dalam Perang Shiffin, meski hanya ikut pergi saja, senantiasa menjadi sumber kegelisahannya. Ingatan itu tidak bisa hilang dari pikirannya. Ia sering menangis dan berkata, “Apa perlunya bagiku Perang Shiffin. Apa gunanya bagiku memerangi kaum muslimin?”
Suatu hari, ketika ia sedang duduk-duduk dengan beberapa sahabatnya di masjid Rasul, Al-Al-Husain bin Ali lewat dan mereka pun saling mengucapkan salam. Ketika Al-Al-Husain telah berlalu, Abdullah berkata kepada orang-orang di dekatnya, “Maukah kalian kutunjukkan penduduk bumi yang paling dicintai oleh penduduk langit? Dialah orang yang baru saja lewat di hadapan kita tadi. Al-Al-Husain bin Ali. Sejak Perang Shiffin ia tidak pernah berbicara denganku. Sungguh, bila ia ridha terhadapku, itu lebih aku sukai daripada unta merah (harta terbaik).”
Abdullah mengadakan kesepakatan dengan Abu Sa'id Al-Khudri "untuk berkunjung ke tempat Al-Al-Husain. Akhirnya di rumah Al-Al-Husain terjadilah pertemuan orang-orang mulia itu. Abdullah bin Amr membuka percakapan lebih dahulu, lalu mengarahkan perbincangannya ke persoalan Shiffin.
Al-Al-Husain langsung menanggapinya dengan bertanya, “Apa yang menyebabkanmu ikut berperang di pihak Mu'awiyah?”
Abdullah menjawab, “Suatu hari ayahku Amr bin Al-Ash menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan diriku dengan mengatakan, 'Abdullah selalu berpuasa setiap hari dan beribadah setiap malam.'
Rasulullah SAW pun berwasiat kepadaku, “Wahai Abdullah, sholatlah tetapi jangan lupa tidur, berpuasalah tetapi jangan lupa berbuka, dan taatilah ayahmu."
Ketika Perang Shiffin ayahku memaksa diriku agar ikut pergi bersamanya. Aku menuruti kemauannya, tetapi—demi Allah—aku tidak pernah menghunus pedang, melemparkan tombak, atau melepaskan anak panah dalam peperangan itu.”
Ketika usianya yang diberkahi itu telah mencapai 72 tahun, saat ia sedang berada di tempat sholatnya untuk mendekatkan diri dan bermunajat kepada Allah Rabb semesta alam, bertasbih, dan bertahmid, tiba-tiba ia dipanggil untuk perjalanan abadi. Ia pun memenuhi panggilan itu karena sudah sangat merindukannya untuk bertemu dengan teman-temannya yang telah mendahuluinya mendapat kebaikan. Rohnya terbang dan mencari tempat tinggalnya. Sementara itu, suara pemberi kabar gembira dari Ar-Rafiq Al-A'la memanggil:
Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. ( QS Al-Fajr : 27-30).
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Rijalun haular Rasul" dan telah diterjemahkan Agus Suwandi menjadi "Kisah 60 Sahabat Nabi" menceritakan bahwa Abdullah bin Amr memusatkan perhatiannya terhadap ibadah, hingga dapat membahayakan nyawanya. Hal ini sangat mencemaskan hati ayahnya, hingga ia sering melaporkan anaknya itu kepada Rasulullah SAW .
Pada kali terakhir Rasulullah SAW menasihatinya agar sedang-sedang saja dalam beribadah itu dan menentukan waktu-waktunya, ayahnya pada waktu itu juga hadir. Rasulullah SAW meraih tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan ayahnya, lalu bersabda, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Dan walaupun selama ini dengan akhlak dan keagamaannya, Abdullah selalu taat kepada kedua orang tuanya, perintah Rasulullah SAW yang dilakukan dengan cara tersebut dan dalam suasana seperti itu meninggalkan kesan tersendiri pada dirinya. Sepanjang usia, Abdullah tidak pernah lupa sesaat pun kalimat singkat tersebut, “Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu.”
Hari terus berputar dan tahun berganti tahun. Mu'awiyah di Syria menolak baiat terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Ali menolak tunduk terhadap pembangkangan yang tidak sah itu. Peperangan antara dua golongan kaum muslimin tidak bisa terhindarkan. Perang Jamal telah berlalu dan selanjutnya berganti dengan perang Shiffin.
Amr bin Al-Ash telah menentukan sikapnya dan berpihak kepada Mu'awiyah. Ia menyadari sepenuhnya bagaimana penghormatan kaum muslimin terhadap putranya Abdullah, di samping kepercayaan mereka terhadap agamanya. Ia ingin mengajak putranya itu bergabung ke pihak Mu'awiyah, sehingga dengan posisinya itu banyak kaum muslimin yang mengikutinya.
Selain itu, Amr sangat optimistis dengan kehadiran Abdullah di dekatnya akan membawa nasib mujur baginya dalam peperangan. Ia belum lupa bagaimana jasa putranya itu pada saat penyerbuan ke Syria dan waktu
Pertempuran Yarmuk. Karena itulah, ketika hendak berangkat ke Shiffin, ia memanggil putranya dan berkata, “Wahai Abdullah, bersiap-siaplah untuk berangkat. Engkau akan berperang di pihak kami.”
Abdullah menjawab, “Bagaimana mungkin aku melakukannya, sedangkan Rasulullah SAW telah mengamanatkan kepadaku agar tidak mengangkat senjata di atas leher orang Islam untuk selama-lamanya?”
Amr dengan kecerdasannya mencoba meyakinkan Abdullah, bahwa maksud kepergian mereka ini hanyalah untuk membekuk pembunuh-pembunuh Utsman dan menuntutkan balas atas darah sucinya.
Kemudian secara tiba-tiba ayahnya mengatakan kepadanya, “Apakah engkau masih ingat, wahai Abdullah, amanah terakhir yang disampaikan Rasulullah kepadamu ketika beliau meraih tanganmu lalu meletakkannya ke atas tanganku seraya bersabda, “Taatilah ayahmu? Sekarang aku menghendaki agar engkau bersama kami dan ikut berperang.”
Akhirnya, Abdullah berangkat sebagai wujud ketaatan kepada ayahnya. Dalam hatinya ia tetap bertekad tidak akan mengangkat pedang terhadap seorang Muslim. Tetapi, bagaimana ia melakukannya? Yang penting baginya kini ialah turut bersama ayahnya, sedangkan bila perang berlangsung nanti, terserah kepada Allah saja bagaimana takdir-Nya.
Perang pun berkecamuk dengan dahsyat. Para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut serta di permulaan perang itu ataukah tidak. Kita katakan di permulaan, karena tidak lama setelah itu, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan Abdullah bin Amr mengambil sikap secara terang-terangan menentang peperangan dan menentang Mu'awiyah.
Hal itu terjadi karena Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali. Ammar adalah sahabat yang sangat dihormati oleh para sahabat. Lebih daripada itu, jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah mengabarkan kematiannya dan
siapa pembunuhnya.
Kisahnya, ketika itu Rasulullah SAW bersama para sahabat sedang membangun masjid di Madinah, tidak lama setelah hijrah beliau ke sana. Batu-batu yang digunakan sebagai bahannya ialah batu-batu besar dan berat, sehingga setiap orang hanya dapat mengangkat satu-satu saja. Tetapi, Ammar, karena dorongan perasaan senang dan semangatnya, dapat mengangkut dua batu sekaligus.
Hal itu tampak oleh Rasulullah, beliau memandangi anak muda itu dengan linangan air mata, lalu bersabda, “Kasihan putra Sumayyah itu, ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampau batas."
Baca Juga
Semua sahabat yang ikut bekerja pada hari itu mendengar pengabaran Rasulullah tersebut dan teringat. Abdullah bin Amr juga mendengarnya. Saat awal peperangan antara pihak Ali dan Mu'awiyah itu, Ammar naik ke tempat yang tinggi dan berteriak dengan sekuat suaranya membangkitkan
semangat, “Hari ini kita akan menjumpai para kekasih: Muhammad beserta sahabat-sahabatnya."
Sekelompok orang dari pasukan Mu'awiyah saling memberi saran untuk membunuhnya. Mereka sepakat mengarahkan anak panah kepadanya dan melepaskannya secara serempak tepat mengenai sasaran. Serangan itu langsung mengantarkan Ammar ke alam syuhada dan para pahlawan.
Berita wafatnya Ammar ini menyebar bagai angin kencang. Saat mendengar kabar itu Abdullah sontak bangkit. Hatinya meledak dan berontak, ia berkata, “Benarkah Ammar terbunuh? Dan kalian pembunuhnya? Kalau begitu, kalianlah pihak yang aniaya. Kalian berperang di jalan yang sesat dan salah.”
Abdullah berkeliling di barisan Mu'awiyah sebagai pemberi peringatan, melemahkan semangat mereka dan menyatakan bahwa mereka adalah pihak yang melampaui batas karena merekalah yang telah membunuh Ammar. Dua puluh tujuh tahun yang lalu, di hadapan sejumlah sahabat, Rasulullah SAW telah mengabarkan bahwa ia akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.
Ucapan Abdullah itu disampaikan orang kepada Mu'awiyah, yang segera memanggil Amr dan putranya itu. Mu'awiyah berkata kepada Amr, “Mengapa engkau tidak mencegah anakmu yang gila itu?”
Abdullah sendiri yang menjawab, “Aku tidak gila. Hanya saja aku mendengar Rasulullah mengatakan kepada Ammar, “Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas'.”
“Kalau begitu, mengapa engkau ikut bersama kami?”
"Karena Rasulullah memerintahkan kepadaku agar taat kepada ayahku. Aku telah menaati perintahnya supaya ikut pergi, tetapi aku tidak ikut berperang membelamu.”
Ketika mereka sedang adu mulut itu, tiba-tiba seseorang masuk dan memintakan izin bagi orang yang telah membunuh Ammar untuk menghadap. Abdullah bin Amr langsung menyahut, “Suruhlah ia masuk dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa ia di neraka.”
Bagaimana pun ketenangan dan kesabaran Mu'awiyah, ia tetap tidak bisa mengendalikan kemarahannya lagi, lalu berteriak kepada Amr, “Cegahlah, apakah engkau tidak mendengar kata-katanya itu?”
Tetapi, dengan ketenangan seorang yang bertakwa, Abdullah kembali menegaskan kepada Mu'awiyah bahwa apa yang dikatakannya itu adalah benar dan pihak yang membunuh Ammar tidak lain merupakan orang-orang yang durhaka.
Kemudian sambil mengalihkan mukanya kepada ayahnya, Abdullah berkata, “Kalau bukan karena Rasulullah menyuruhku agar menaatimu, aku tidak akan pergi bersama kalian dalam perjalanan ini.”
Mu'awiyah dan Amr keluar untuk memeriksa pasukan. Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika mengetahui bahwa semua orang sedang membicarakan pengabaran Rasulullah SAW terhadap Ammar, “Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.”
Amr dan Mu'awiyah berasa bahwa kasak-kusuk itu dapat meningkat menjadi tantangan dan pembangkangan terhadap Mu'awiyah. Karenanya, mereka berdua memikirkan suatu taktik. Akhirnya mereka berdua menemukannya dan menyampaikan kepada barisan pasukan, “Memang benar, suatu hari Rasulullah pernah mengatakan kepada Ammar, 'Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.'
"Pengabaran Rasulullah itu benar. Dan sekarang Ammar telah dibunuh. Namun, siapakah yang membunuhnya? Pembunuhnya tidak lain ialah orang-orang yang telah mengajaknya pergi ikut berperang.”
Dalam suasana kacau balau seperti itu, berbagai logika bisa saja dimunculkan. Faktanya logika Mu'awiyah dan Amr bisa diterima dan mendapat dukungan. Kedua pasukan pun mulai bertempur lagi, sementara Abdullah bin Amr kembali ke masjid dan ibadahnya.
Abdullah bin Amr menjalani kehidupannya dan tidak mengisinya selain dengan mengabdikan diri dan beribadah. Tetapi, keikutsertaannya dalam Perang Shiffin, meski hanya ikut pergi saja, senantiasa menjadi sumber kegelisahannya. Ingatan itu tidak bisa hilang dari pikirannya. Ia sering menangis dan berkata, “Apa perlunya bagiku Perang Shiffin. Apa gunanya bagiku memerangi kaum muslimin?”
Suatu hari, ketika ia sedang duduk-duduk dengan beberapa sahabatnya di masjid Rasul, Al-Al-Husain bin Ali lewat dan mereka pun saling mengucapkan salam. Ketika Al-Al-Husain telah berlalu, Abdullah berkata kepada orang-orang di dekatnya, “Maukah kalian kutunjukkan penduduk bumi yang paling dicintai oleh penduduk langit? Dialah orang yang baru saja lewat di hadapan kita tadi. Al-Al-Husain bin Ali. Sejak Perang Shiffin ia tidak pernah berbicara denganku. Sungguh, bila ia ridha terhadapku, itu lebih aku sukai daripada unta merah (harta terbaik).”
Abdullah mengadakan kesepakatan dengan Abu Sa'id Al-Khudri "untuk berkunjung ke tempat Al-Al-Husain. Akhirnya di rumah Al-Al-Husain terjadilah pertemuan orang-orang mulia itu. Abdullah bin Amr membuka percakapan lebih dahulu, lalu mengarahkan perbincangannya ke persoalan Shiffin.
Al-Al-Husain langsung menanggapinya dengan bertanya, “Apa yang menyebabkanmu ikut berperang di pihak Mu'awiyah?”
Abdullah menjawab, “Suatu hari ayahku Amr bin Al-Ash menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan diriku dengan mengatakan, 'Abdullah selalu berpuasa setiap hari dan beribadah setiap malam.'
Rasulullah SAW pun berwasiat kepadaku, “Wahai Abdullah, sholatlah tetapi jangan lupa tidur, berpuasalah tetapi jangan lupa berbuka, dan taatilah ayahmu."
Ketika Perang Shiffin ayahku memaksa diriku agar ikut pergi bersamanya. Aku menuruti kemauannya, tetapi—demi Allah—aku tidak pernah menghunus pedang, melemparkan tombak, atau melepaskan anak panah dalam peperangan itu.”
Ketika usianya yang diberkahi itu telah mencapai 72 tahun, saat ia sedang berada di tempat sholatnya untuk mendekatkan diri dan bermunajat kepada Allah Rabb semesta alam, bertasbih, dan bertahmid, tiba-tiba ia dipanggil untuk perjalanan abadi. Ia pun memenuhi panggilan itu karena sudah sangat merindukannya untuk bertemu dengan teman-temannya yang telah mendahuluinya mendapat kebaikan. Rohnya terbang dan mencari tempat tinggalnya. Sementara itu, suara pemberi kabar gembira dari Ar-Rafiq Al-A'la memanggil:
Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. ( QS Al-Fajr : 27-30).
Baca Juga
(mhy)