Sudah Dianggap Sahid, Sang Ayah Pulang Setelah 30 Tahun Hilang
Jum'at, 10 Juli 2020 - 16:51 WIB
Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini, ajal menjemput ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi, tepatnya dua tahun sesudah cita-citanya yang agung terwujud, dia kembali ke sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kerelaan.
Nah, setelah itu Farrukh pulang ke Madinah. Dan setelah menikah, ia rindu kembali ke medan perang. Farrukh ingin mati sahid.
Lahirnya ar-Rabi'ah
Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya yang bijaksana itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang cakap dan berwajah tampan. Sang ibu menyambutnya dengan penuh bahagia hingga mampu mengalihkan perhatiannya yang telah sekian lama berpisah dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama ar-Rabi’ah.
Tanda-tanda ketangkasan telah nampak pada diri anak itu sejak kecil. Nampak pula tanda-tanda kecerdasan pada perkataan dan tingkah lakunya. Oleh ibunya, ar-Rabi’ah diserahkan kepada guru-guru agar mendapatkan pendidikan dengan layak. Di samping itu, diundang pula pengajar dalam adab untuk mendidik budi pekertinya.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan ar-Rabi’ah berkembang begitu pesat. Pada mulanya mahir baca tulis, lalu hafal Kitabullah dan mampu membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatkala dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau mendalami hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari yang paling mudah, mempelajari bahasa Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-perkara agama yang wajib untuk diketahui.
Ibunda ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para guru putranya. Setiap kali tampak kemajuan pada diri ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya.
Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih senantiasa menanti kedatangan ayah putranya yang pergi sudah begitu lama. Karena itulah dia berusaha keras mendidik putranya agar kelak bisa menjadi penyejuk pandangannya dan juga suaminya jika sewaktu-waktu suaminya pulang.
Namun ternyata Farrukh begitu lama tak kunjung datang, kemudian terdengarlah kabar burung dan isu yang bermacam-macam tentangnya. Ada yang mengatakan bahwa Farrukh ditawan musuh, ada pula yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihadnya. Yang lain lagi berkata bahwa beliau telah mendapatkan syahid di medan perang seperti yang diidamkannya.
Ummu ar-Rabi’ah menduga bahwa pendapat terakhirlah yang paling mungkin, mengingat berita tentang Farrukh terputus sama sekali. Beliau menjadi sedih, tetapi kemudian beliau kembalikan segala persoalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Ketika ar-Rabi’ah menginjak usia remaja dan hampir baligh, orang-orang menasihati ibunya, “Sekarang ar-Rabi’ah sudah dewasa. Sebaiknya dia tidak usah lagi belajar membaca dan menulis.”
Ada pula yang usul, “Dia sudah mampu menghafal Alquran dan meriwayatkan hadis, lebih baik engkau suruh dia bekerja agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan juga dirimu.”
Namun Ibunya berkata, “Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya ar-Rabi’ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.”
Ar-Rabi’ah menapaki jalan hidup yang sudah digariskan atasnya dengan penuh semangat dan tak mau membuang waktu. Beliau rajin mendatangi halaqah-halaqah ilmu yang memenuhi Masjid Nabawi dengan membawa rasa haus akan sumber-sumber pengetahuan yang baik. Beliau bersahabat baik dengan sisa-sisa sahabat utama, di antaranya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenyam ilmu dari para tabi’in terkemuka seperti Said bin Musayyab, Makhul asy-Syami dan Salamah bin Dinar.
Nah, setelah itu Farrukh pulang ke Madinah. Dan setelah menikah, ia rindu kembali ke medan perang. Farrukh ingin mati sahid.
Lahirnya ar-Rabi'ah
Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya yang bijaksana itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang cakap dan berwajah tampan. Sang ibu menyambutnya dengan penuh bahagia hingga mampu mengalihkan perhatiannya yang telah sekian lama berpisah dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama ar-Rabi’ah.
Tanda-tanda ketangkasan telah nampak pada diri anak itu sejak kecil. Nampak pula tanda-tanda kecerdasan pada perkataan dan tingkah lakunya. Oleh ibunya, ar-Rabi’ah diserahkan kepada guru-guru agar mendapatkan pendidikan dengan layak. Di samping itu, diundang pula pengajar dalam adab untuk mendidik budi pekertinya.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan ar-Rabi’ah berkembang begitu pesat. Pada mulanya mahir baca tulis, lalu hafal Kitabullah dan mampu membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatkala dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau mendalami hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari yang paling mudah, mempelajari bahasa Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-perkara agama yang wajib untuk diketahui.
Ibunda ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para guru putranya. Setiap kali tampak kemajuan pada diri ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya.
Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih senantiasa menanti kedatangan ayah putranya yang pergi sudah begitu lama. Karena itulah dia berusaha keras mendidik putranya agar kelak bisa menjadi penyejuk pandangannya dan juga suaminya jika sewaktu-waktu suaminya pulang.
Namun ternyata Farrukh begitu lama tak kunjung datang, kemudian terdengarlah kabar burung dan isu yang bermacam-macam tentangnya. Ada yang mengatakan bahwa Farrukh ditawan musuh, ada pula yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihadnya. Yang lain lagi berkata bahwa beliau telah mendapatkan syahid di medan perang seperti yang diidamkannya.
Ummu ar-Rabi’ah menduga bahwa pendapat terakhirlah yang paling mungkin, mengingat berita tentang Farrukh terputus sama sekali. Beliau menjadi sedih, tetapi kemudian beliau kembalikan segala persoalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Ketika ar-Rabi’ah menginjak usia remaja dan hampir baligh, orang-orang menasihati ibunya, “Sekarang ar-Rabi’ah sudah dewasa. Sebaiknya dia tidak usah lagi belajar membaca dan menulis.”
Ada pula yang usul, “Dia sudah mampu menghafal Alquran dan meriwayatkan hadis, lebih baik engkau suruh dia bekerja agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan juga dirimu.”
Namun Ibunya berkata, “Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya ar-Rabi’ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.”
Ar-Rabi’ah menapaki jalan hidup yang sudah digariskan atasnya dengan penuh semangat dan tak mau membuang waktu. Beliau rajin mendatangi halaqah-halaqah ilmu yang memenuhi Masjid Nabawi dengan membawa rasa haus akan sumber-sumber pengetahuan yang baik. Beliau bersahabat baik dengan sisa-sisa sahabat utama, di antaranya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenyam ilmu dari para tabi’in terkemuka seperti Said bin Musayyab, Makhul asy-Syami dan Salamah bin Dinar.
Lihat Juga :