Hukum Menjenguk Ahli Maksiat yang Sedang Sakit
Minggu, 11 Desember 2022 - 13:32 WIB
Menjenguk orang nonmuslim yang sedang sakit dibenarkan syariat, bahkan kadang-kadang bernilai qurbah dan ibadah. Lalu bagaimana hukum menjenguk muslim yang ahli maksiat ?
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press) mengatakan menjenguk sesama muslim yang ahli maksiat lebih diutamakan.
Menurutnya, hadis-hadis yang menyuruh menjenguk orang sakit dan menjadikannya hak orang muslim terhadap muslim lainnya, tidak mengkhususkan untuk ahli taat dan kebajikan saja tanpa yang lain, meskipun hak mereka lebih kuat.
Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, setelah menerangkan hadis Abu Hurairah ra mengenai enam macam hak seorang muslim terhadap muslim lainnya dan hadis al-Barra' bin Azib mengenai tujuh macam perkara yang diperintahkan: "Semua yang diperintahkan ini termasuk hak Islam, yang seluruh kaum muslim sama kedudukannya terhadapnya, yang taat ataupun yang durjana."
"Hanya saja untuk orang yang taat perlu disikapi dengan wajah yang ceria, ditanya keadaannya, dan diajak berjabat tangan, sedangkan orang yang durjana yang secara terang-terangan menampakkan kedurjanaannya tidak perlu diperlakukan seperti itu," lanjutnya.
Dalam hal ini, kata Al-Qardhawi, sebagian ulama mengecualikan ahli-ahli bid'ah, bahwa mereka tidak perlu dijenguk untuk menampakkan rasa kebencian mereka karena Allah.
"Tetapi, menurut pentarjihan saya, bahwa bid'ah atau kemaksiatan mereka tidaklah mengeluarkan mereka dari daerah Islam dan tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan hak sebagai seorang muslim atas muslim lainnya," ujar al-Qardhawi.
"Dan menjenguk mereka yang tanpa diduga-duga sebelumnya itu --lebih-lebih oleh seorang muslim yang saleh, orang alim, atau juru dakwah-- dapat menjadi duta kebaikan dan utusan kebenaran kepada hati mereka, sehingga hati mereka terbuka untuk menerima kebenaran dan mendengarkan tutur kata yang bagus, karena manusia adalah tawanan kebaikan," lanjutnya.
Menurut al-Qardhawi, hal ini sebagaimana Islam mensyariatkan agar menjinakkan hati orang lain dengan harta, maka tidaklah mengherankan jika Islam juga menyuruh menjinakkan hati orang lain dengan kebajikan, kelemahlembutan, dan pergaulan yang baik.
Hal ini pernah dicoba oleh juru-juru dakwah yang benar, lalu Allah membuka hati banyak orang yang selama ini tertutup.
Para ulama mengatakan, "Disunnahkan menjenguk orang sakit secara umum, teman atau lawan, orang yang dikenalnya atau yang tidak dikenalnya, mengingat keumuman hadis."
Menjenguk Nonmuslim
Al-Qardhawi mengatakan dijadikannya menjenguk orang sebagai hak seorang muslim terhadap muslim lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis itu, tidak berarti bahwa orang sakit yang nonmuslim tidak boleh dijenguk. Sebab menjenguk orang sakit itu, apa pun jenisnya, warna kulitnya, agamanya, atau negaranya, adalah amal kemanusiaan yang oleh Islam dinilai sebagai ibadah dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah).
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Nabi SAW menjenguk anak Yahudi yang biasa melayani beliau ketika beliau sakit. Nabi SAW menjenguknya dan menawarkan Islam kepadanya, lalu anak itu memandang ayahnya, lantas si ayah berisyarat agar dia mengikuti Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW), lalu dia masuk Islam sebelum meninggal dunia, kemudian Nabi SAW bersabda:
"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka melalui aku." (HR Bukhari)
Hal ini menjadi semakin kuat apabila orang nonmuslim itu mempunyai hak terhadap orang muslim seperti hak tetangga, kawan, kerabat, semenda, atau lainnya.
Hadis-hadis yang telah disebutkan hanya untuk memperkokoh hak orang muslim (bukan membatasi) karena adanya hak-hak yang diwajibkan oleh ikatan keagamaan. Apabila si muslim itu tetangganya, maka ia mempunyai dua hak: hak Islam dan hak tetangga. Sedangkan jika yang bersangkutan masih kerabat, maka dia mempunyai tiga hak, yaitu hak Islam, hak tetangga, dan hak kerabat. Begitulah seterusnya.
Imam Bukhari membuat satu bab tersendiri mengenai "Menjenguk Orang Musyrik" dan dalam bab itu disebutkannya hadis Anas mengenai anak Yahudi yang dijenguk oleh Nabi SAW dan kemudian diajaknya masuk Islam, lalu dia masuk Islam, sebagaimana saya nukilkan tadi.
Beliau juga menyebutkan hadits Sa'id bin al-Musayyab dari ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi saw. datang kepadanya.
Diriwayatkan juga dalam Fathul-Bari dari Ibnu Baththal bahwa menjenguk orang nonmuslim itu disyariatkan apabila dapat diharapkan dia akan masuk Islam, tetapi jika tidak ada harapan untuk itu maka tidak disyariatkan.
Al-Hafizh berkata, "Tampaknya hal itu berbeda-beda hukumnya sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang menjenguknya juga untuk kemaslahatan lain."
Al-Mawardi berkata, "Menjenguk orang dzimmi (nonmuslim yang tunduk pada pemerintahan Islam) itu boleh, dan nilai qurbah (pendekatan diri kepada Allah) itu tergantung pada jenis penghormatan yang diberikan, karena tetangga atau karena kerabat."
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press) mengatakan menjenguk sesama muslim yang ahli maksiat lebih diutamakan.
Menurutnya, hadis-hadis yang menyuruh menjenguk orang sakit dan menjadikannya hak orang muslim terhadap muslim lainnya, tidak mengkhususkan untuk ahli taat dan kebajikan saja tanpa yang lain, meskipun hak mereka lebih kuat.
Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, setelah menerangkan hadis Abu Hurairah ra mengenai enam macam hak seorang muslim terhadap muslim lainnya dan hadis al-Barra' bin Azib mengenai tujuh macam perkara yang diperintahkan: "Semua yang diperintahkan ini termasuk hak Islam, yang seluruh kaum muslim sama kedudukannya terhadapnya, yang taat ataupun yang durjana."
"Hanya saja untuk orang yang taat perlu disikapi dengan wajah yang ceria, ditanya keadaannya, dan diajak berjabat tangan, sedangkan orang yang durjana yang secara terang-terangan menampakkan kedurjanaannya tidak perlu diperlakukan seperti itu," lanjutnya.
Dalam hal ini, kata Al-Qardhawi, sebagian ulama mengecualikan ahli-ahli bid'ah, bahwa mereka tidak perlu dijenguk untuk menampakkan rasa kebencian mereka karena Allah.
"Tetapi, menurut pentarjihan saya, bahwa bid'ah atau kemaksiatan mereka tidaklah mengeluarkan mereka dari daerah Islam dan tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan hak sebagai seorang muslim atas muslim lainnya," ujar al-Qardhawi.
"Dan menjenguk mereka yang tanpa diduga-duga sebelumnya itu --lebih-lebih oleh seorang muslim yang saleh, orang alim, atau juru dakwah-- dapat menjadi duta kebaikan dan utusan kebenaran kepada hati mereka, sehingga hati mereka terbuka untuk menerima kebenaran dan mendengarkan tutur kata yang bagus, karena manusia adalah tawanan kebaikan," lanjutnya.
Menurut al-Qardhawi, hal ini sebagaimana Islam mensyariatkan agar menjinakkan hati orang lain dengan harta, maka tidaklah mengherankan jika Islam juga menyuruh menjinakkan hati orang lain dengan kebajikan, kelemahlembutan, dan pergaulan yang baik.
Hal ini pernah dicoba oleh juru-juru dakwah yang benar, lalu Allah membuka hati banyak orang yang selama ini tertutup.
Para ulama mengatakan, "Disunnahkan menjenguk orang sakit secara umum, teman atau lawan, orang yang dikenalnya atau yang tidak dikenalnya, mengingat keumuman hadis."
Menjenguk Nonmuslim
Al-Qardhawi mengatakan dijadikannya menjenguk orang sebagai hak seorang muslim terhadap muslim lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis itu, tidak berarti bahwa orang sakit yang nonmuslim tidak boleh dijenguk. Sebab menjenguk orang sakit itu, apa pun jenisnya, warna kulitnya, agamanya, atau negaranya, adalah amal kemanusiaan yang oleh Islam dinilai sebagai ibadah dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah).
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Nabi SAW menjenguk anak Yahudi yang biasa melayani beliau ketika beliau sakit. Nabi SAW menjenguknya dan menawarkan Islam kepadanya, lalu anak itu memandang ayahnya, lantas si ayah berisyarat agar dia mengikuti Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW), lalu dia masuk Islam sebelum meninggal dunia, kemudian Nabi SAW bersabda:
"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka melalui aku." (HR Bukhari)
Hal ini menjadi semakin kuat apabila orang nonmuslim itu mempunyai hak terhadap orang muslim seperti hak tetangga, kawan, kerabat, semenda, atau lainnya.
Hadis-hadis yang telah disebutkan hanya untuk memperkokoh hak orang muslim (bukan membatasi) karena adanya hak-hak yang diwajibkan oleh ikatan keagamaan. Apabila si muslim itu tetangganya, maka ia mempunyai dua hak: hak Islam dan hak tetangga. Sedangkan jika yang bersangkutan masih kerabat, maka dia mempunyai tiga hak, yaitu hak Islam, hak tetangga, dan hak kerabat. Begitulah seterusnya.
Imam Bukhari membuat satu bab tersendiri mengenai "Menjenguk Orang Musyrik" dan dalam bab itu disebutkannya hadis Anas mengenai anak Yahudi yang dijenguk oleh Nabi SAW dan kemudian diajaknya masuk Islam, lalu dia masuk Islam, sebagaimana saya nukilkan tadi.
Beliau juga menyebutkan hadits Sa'id bin al-Musayyab dari ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi saw. datang kepadanya.
Diriwayatkan juga dalam Fathul-Bari dari Ibnu Baththal bahwa menjenguk orang nonmuslim itu disyariatkan apabila dapat diharapkan dia akan masuk Islam, tetapi jika tidak ada harapan untuk itu maka tidak disyariatkan.
Al-Hafizh berkata, "Tampaknya hal itu berbeda-beda hukumnya sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang menjenguknya juga untuk kemaslahatan lain."
Al-Mawardi berkata, "Menjenguk orang dzimmi (nonmuslim yang tunduk pada pemerintahan Islam) itu boleh, dan nilai qurbah (pendekatan diri kepada Allah) itu tergantung pada jenis penghormatan yang diberikan, karena tetangga atau karena kerabat."
(mhy)