Tanggapan Montgomery Watt tentang Kolusi Kaum Orentalis dengan Kolonialis untuk Hancurkan Islam

Sabtu, 21 Januari 2023 - 11:48 WIB
loading...
A A A
Dinyatakan bahwa Gibb lebih memilih kata "Mohammedanisme" untuk "Islam" sama sekali tidak tepat. Semua bukti menunjukkan bahwa judul tersebut terpaksa diberikan oleh para penerbit, lantaran buku itu menggantikan buku terdahulu yang ditulis oleh D.S. Margoliouth yang berjudul Mohammedanism (1911).

Dalam beberapa halaman awalnya Gibb banyak menjelaskan tentang Mohammedan dan Mohammedanisme yang paling dipahami sebagai semacam apologi terhadap judul yang dibuatnya, sebab berbeda dengan pernyataan ini dia tidak pernah menggunakan istilah tersebut kecuali buku itu seluruhnya hanya untuk Islam dan umat Islam semata. Lebih dari itu, pada edisi berikutnya nama Mohammedan ini telah berubah menjadi Islam.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa Gibb telah salah dalam menyebut bahwa ilmu Islam yang paling penting adalah hukum (fiqh) dan bukannya teologi. Ini agaknya yang menunjukkan ketidaktahuan Said terhadap Islam, karena dia adalah seorang yang berasal dari latar belakang Kristen.

Sebenamya Gibb mengoreksi ide mahasiswa-mahasiswa dari Eropa terdahulu yang mempelajari Islam yang karena interes-interes agama telah memberikan tempat sentral kepada teologi. Secara umum yang kini diakui oleh para ilmuwan barat bahwa inti pendidikan Islam yang lebih tinggi adalah jurisprudensi (fiqh), sebagaimana telah dijelaskan di sini, sebagai contoh, bahwa di perguruan-perguruan atau madrasah abad pertengahan ada seorang profesor utama dan tugas yang paling penting orang ini adalah mengajarkan jurisprudensi (fiqh)



Poin lebih penting makin dikembangkan oleh halaman yang lain. Setelah menguraikan bahwa "sebagaimana buku ini mencoba menunjukkan, Islam secara mendasar digambarkan secara salah di Barat", dia melanjutkan penjelasannya:

Isu yang sesungguhnya baik yang dapat menjadi representasi yang benar terhadap sesuatu, sebagian maupun semua, sebab semua itu adalah gambaran-gambaran, yang pertama melekat pada bahasa dan kemudian melekat pada kebudayaan, pranata sosial dan ambiensi politik yang mewakili.

Penjelasan di atas agaknya dimaksudkan bahwa para orientalis telah salah memberi gambaran tentang Islam sebab pemyataan-pernyataan para orientalis ini dilekatkan pada latar belakang linguistik dan latar belakang kebudayaan mereka; dan ini jelas berlaku terhadap pokok persoalan ini.

Tetapi pertanyaan penting yang lebih meluas bagi penggambaran yang salah ini, disebabkan oleh pendirian pengamat dari luar Islam. Sebagian terbesar ilmuwan Barat tentang Islam di masa lampau secara pasti telah gagal mengapresiasi nilai-nilai agama Islam yang positif, meskipun dalam beberapa hal, yang mereka nyatakan itu benar.

Pengamat suatu agama dari dalam terpengaruh oleh faktor-faktor yang sama sebagai pengamat dari luar, sungguhpun dalam bentuk yang berbeda.



Pengamat dari dalam biasanya melekat pada satu aliran agama khusus tertentu dan oleh karenanya sulit untuk memperoleh hasil nilai imbang terhadap keseluruhan. Maka para penganut agama tertentu harus belajar dari yang diinformasikan sedemikian baiknya oleh pengamat dari luar yang harus mengatakan tentang suatu agama itu apa adanya. Sebagaimana penyair Skotlandia, Robert Burns, menggubah sebuah syair:

Wahai gumpalan kekuasaan yang dikaruniakan kepada kita
Untuk melihat diri kita sebagai yang sesungguhnya melihat kita.

Suatu saat penggambaran salah dari penyimpangan image benar-benar dibakukan pada pandangan umum dari suatu keseluruhan komunitas kultural, yang sulit sekali berubah. Generasi-generasi baru dari para ilmuwan diajarkan oleh orang-orang yang menerima persepsi lama dan ketika mereka sendiri mendapatkan fakta-fakta baru, masih tetap disesuaikan dengan persepsi lama tersebut. Hanya ketika ketidaksesuaian itu menjadi serius, maka para ilmuwan baru mulai memikirkan kembali kebenaran persepsi lama tersebut.

Gerakan Intelektual Baru
Dalam kasus Islam, yang pertama kali dicatat oleh para ilmuwan adalah ketidaksesuaian antara Islam sebagai yang mereka pahami dari tulisan-tulisan orang Islam yang sempat mereka baca dan konsep populer Islam, secara luas didasarkan pada ide-ide ganjil dan khayali.

Pada abad tujuh belas, sejalan dengan gerakan-gerakan intelektual baru di Eropa, kecenderungan bangkit kembali ke buku-buku Arab. Satu produk yang penting dari kebangkitan kembali ini adalah sebuah buku yang berjudul De religõone Mohammedica hasil pemikiran Hadrian Reland of Utrecht, yang terbit pada tahun 1705.

Dalam buku ini dia memberi pertimbangan yang didasarkan atas sumber-sumber umat Islam, dan mengecam dongeng- dongeng dan legenda-legenda yang belakangan muncul di Eropa.



Dia tidak mengecam titik-titik persepsi menyimpang abad pertengahan seperti dijelaskan terdahulu, malah walaupun buku itu ditempatkan pada Indeks Romawi sebab rupanya terlalu menguntungkan untuk Islam. Selain buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol, juga berpengaruh baik bagi pemikiran bangsa Eropa.

Keinginan untuk mendapatkan informasi tentang Islam yang lebih akurat nampak pula pada penerjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Latin oleh Ludovico Marracci, terbit di Padua tahun 1698. Terjemahan ini lebih akurat daripada terjemahan Robert Ketton, akan tetapi diikuti oleh penolakan beberapa hal secara rinci tentang ajarannya yang berbeda dengan keimanan Kristen.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2085 seconds (0.1#10.140)