Tanggapan Montgomery Watt tentang Kolusi Kaum Orentalis dengan Kolonialis untuk Hancurkan Islam
loading...
A
A
A
Orientalis yang pakar studi-studi keislaman dari Britania Raya, William Montgomery Watt (1909-2006), mengakui sebagian umat Islam menuduh kaum orientalis barat berkolusi dengan para kolonialis dalam mencoba memperlemah atau menghancurkan Islam.
Ia lalu mencontohkan artikel yang ditulis oleh Abdallah Laroui berjudul "The Crisis of the Arab Intellectual: Traditionalism or Historicism?". Setelah mendefinisikan "Orientalist" sebagai orang "asing" dari luar -- dalam kasus ini adalah orang barat -- yang mengambil Islam sebagai subyek risetnya, Abdallah Laroui meneruskan:
Pada karya-karya para Orientalis kita dapatkan kritik ideologis (dalam artian yang sederhana) terhadap kultur Islam. Hasil dari dorongan-dorongan intelektual yang besar adalah bagi sebagian terbesar yang tak berharga dan tak bernilai ...
Cita-rasa para Orientalis merupakan bagian dari birokrasi dan berdasarkan alasan ini, menderita karena batas-batas yang secara buruk menghalangi kreasi bebas pendekatan-pendekatan baru atau bahkan penerapan pendekatan-pendekatan yang telah ada.
Di samping mengkritik metode-metode kaum Orientalis, Montgomery Watt juga mengajukan asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang statis. Abdallah Laroui sendiri rupanya melihat reinterpretasi dan reformulasi terhadap keimanan Islam dan artikelnya menyimpulkan:
Sangat mungkin bahwa reformulasi kepercayaan adalah ketaajuban person yang gaib yang segera menunggu hadirnya kemenangan. Satu saat lagi kita akan menjadi saksi verifikasi formal dalil, "Islam berlaku bagi semua zaman ... secara tepat karena keimanan itu tidak pernah Islam yang sama; kata yang secara sederhana benar-benar menunjukkan realitas yang senantiasa diulang dan diperbaharui.
Konsepsi tentang Islam ini sebagai dalam proses pembaharuan yang konstan tentu saja disambut dengan hangat.
Hubungan yang Kompleks
Sekadar mengingatkan William Montgomery Watt adalah seorang penulis barat tentang Islam. Ia pernah mendapatkan gelar "Emiritus Professor," gelar penghormatan tertinggi bagi seorang ilmuwan. Gelar ini diberikan kepadanya oleh Universitas Edinburgh. Penghormatan ini diberikan kepada Watt atas keahliannya di bidang bahasa Arab dan Kajian Islam (Islamic Studies).
Berikut selengkapnya tulisan William Montgomery Watt yang diterjemahkan Zaimudin dengan judul "Titik Temu Islam dan Kristen, Persepsi dan Salah Persepsi" (Gaya Media Pratama Jakarta, 1996)
Orang-orang seperti saya sendiri yang masuk ke golongan orientalis pada asalnya tidak dipandang sebagai bagian dari birokrasi, namun nyatanya ada hubungan yang kompleks antara para orientalis dalam pengertiannya yang luas (mereka yang tidak tertarik dengan Islam) dan mereka adalah golongan kolonialis dan perwira-perwira asing dari luar.
Selama abad sembilan belas sebagian terbesar orientalis tertarik untuk mempelajari bahasa-bahasa timur dan agama-agama besar periode klasik di timur. Sebagian kecil yang mempunyai daya tarik bagi para kolonialis.
Sebagaimana kaum orientalis yang menghimpun informasi yang lebih banyak tentang kultur-kultur yang mereka pelajari, para kolonialis bertujuan menyatakan bahwa sebagian kajian ini berguna dalam membantu memahami bangsa dan rakyat yang mereka kuasai.
Secara perlahan menteri-menteri urusan luar negeri mulai mempekerjakan ilmuwan- ilmuwan untuk meneliti topik-topik khusus yang menarik perhatian, namun sampai Perang Dunia Dua sebagian besar kaum orientalis akademik masih tetap jauh dari politik, sekalipun mereka mulai tertarik kepada Timur kontemporer.
Jadi pada tahun 1932 Sir Hamilton Gibb mengedit sebuah buku yang berjudul Whither Islam? yang berkenaan dengan gerakan gerakan baru-baru ini di Afrika Utara, Mesir, India dan Indonesia, dan pada tahun 1946 menyampaikan ceramah-ceramah ilmiahnya di Chicago tentang Modern Trends in Islaml.
Selama Perang Dunia II, negara-negara barat menjadi sadar akan perlunya pengetahuan bahasa dan kultur Asia dan Afrika yang dijadikan hal yang esensial. Maka setelah perang usai mereka berencana untuk melakukan ekspansi besar-besaran bagi pengkajian-pengkajian budaya dan bahasa tersebut.
Pembebasan kolonialisme dalam skala besar juga berarti bahwa hanya sebagian kecil administrator-administrator kolonial yang mempunyai ketrampilan linguistik. Bidang-bidang yang dipelajari para orientalis lebih tua diperluas sampai ke "area studi" untuk memperbandingkan ekonomi, politik kontemporer dan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain.
Dalam situasi akademik para orientalis yang berubah ini tetap dipertahankan kemerdekaannya, kecuali ketika terjadi perebutan untuk memperoleh dana, yang paling mungkin dijamin oleh proyek-proyek yang bertepatan dengan interes pemerintahan ataupun interes komersial.
Posisi terakhir yang rupanya terjadi bahwa studi-studi ketimuran ini secara umum tidak dapat dikesampingkan oleh negarawan yang menyusun kebijakan luar negeri, agar pemerintah seharusnya dapat mempunyai ahli-ahli sendiri di bidang masing-masing, namun masih ada saja beberapa orientalis akademik yang mengejar garis-garis riset profesional yang hanya sedikit relevansinya dengan politik kontemporer.
Orientalisme Modern
Perjuangan melawan para orientalis itu timbul pada suatu perspektif baru oleh Edward Said dalam bukunya tentang Orientalism. Dia terutama tertarik kepada "orientalisme modern" yang mulai ke arah akhir abad ke delapan belas.
Apakah ada persoalan orientalisme lebih tua yang dapat diperdebatkan, sejak Oxford English Dictionary menunjukkan bahwa kata "orientalist" pertama digunakan bagi seorang mahasiswa Ketimuran sekitar tahun 1780, walaupun "orientalism" tidak terjadi hingga tahun 1812; equivalen kata dalam bahasa Perancis telah sedikit diperlihatkan terdahulu.
Poin utama yang dibuat oleh Said adalah orientalisme modern telah memainkan peranan utama dalam menciptakan stereotype "Oriental" yang menjadi basis kebijakan kolonialis.
Oriental adalah orang yang tidak mengetahui apa yang paling baik bagi diri, yang tidak mampu menguasai diri, yang mudah tertipu, tidak suka akurasi dan tidak jujur, tidak dapat berpikir secara lokal atau memberikan fakta-fakta yang jelas, mudah tergelincir ke dalam intrik.
Hal ini barangkali dapat disimpulkan dalam kalimat: "Barat itu ... adalah rasional, maju, manusiawi, unggul, sementara Timur ... adalah menyimpang, terbelakang, rendah".
Harus diakui bahwa stereotype "Oriental" ini mempengaruhi aktivitas administrator kolonial; namun yang memperluas kaum orientalis itu bertanggung jawab bagi persoalan yang lain. Yang lebih memungkinkan bahwa persepsi "Oriental" ini merupakan sesuatu yang membentuk dirinya secara pelan-pelan pada kontak langsung dengan bangsa-bangsa di Asia, yakni, pertama dari para pelaut dan para pedagang, lalu para kolonialis.
Satu saat persepsi atau stereotype itu mendapat tempat secara umum pada pikiran bangsa Eropa yang terdidik, mahasiswa-mahasiswa Timur tidak dapat luput dari pengaruhnya, dan fakta-fakta baru apapun yang diketemukan akan disesuaikan dan cenderung dikonfirmasikan dengannya.
Sikap Superioritas Kolonialis
Memang Edward Said yang bukan karena maksud yang pertama itu sadar akan sikap superioritas di antara para kolonialis. Beberapa tahun terdahulu (saya pikir pertama pada tahun 1960) Wilfred Cantwell Smith telah menulis:
Pengamatan saya pada studi Ketimuran dan sedikit tentang Afrika lebih dari dua puluh tahun, bahwa kekurangan dan cacat mendasar peradaban Barat dalam peranannya di dunia sejarah adalah arogansi (kesombongan), dan sikap ini juga telah mempengaruhi sikap Gereja Kristen.
Edward Said berikhtiar menghubungkan stereotype Timur abad sembilan belas dengan persepsi-persepsi sebelumnya tentang dunia Islam. Ada beberapa perbedaan penting, namun masih ada satu persoalan sentral yang diabaikan.
Bagaimana persepsi bangsa Eropa terdahulu terhadap orang Islam sebagai seorang pejuang yang menyebar luaskan keimanannya dengan kekerasan dan pedang itu ditransformasikan ke dalam persepsi Ketimuran sebagai suatu perasaan kecut hati, kelemahan dan pribadi yang tidak berguna.
Akan benar-benar lebih baik untuk memperhatikan persepsi Ketimuran abad sembilan belas sebagai sesuatu yang baru yang memungkinkan setelah kekuatan-kekuatan bangsa Eropa berhenti memandang Kerajaan Ottoman sebagai ancaman militer yang berbahaya.
Edward Said menyusun tesisnya secara rinci, namun beberapa poin interpretasinya tentang motif orang-orang yang terlibat rupanya diragukan. Satu poin yang dia diskusikan dengan Edward William Lane dalam Manner and Customs of the Modern Egyptions, dimana Lane menjelaskan bagaimana dia menolak untuk mengawini wanita Mesir yang dibahas dalam pernyataan marriage de convenance (Perkawinan yang tepat).
Secara bahasa dia menafikkan dirinya sebagai orang yang tidak mau kawin pada masyarakat manusia. Jadi dia menjaga identitas otoritatif sebagai partisipan semu dan mendorong obyektivitas naratifnya. Bila kami tahu bahwa Lane adalah seorang non-muslim, maka kami tahu juga bahwa menurutnya untuk menjadi seorang Orientalis -- bukan seorang Oriental -- harus mengabaikan kelezatan sensual kehidupan domestik dirinya sendiri ... Hanya pada cara yang negatif saja dia dapat menyimpan otoritasnya sebagai pengamat dan peneliti yang tak kenal lelah.
Alasan ini tentu tidak meyakinkan karena ada alasan-alasan lain tidak mau mengawini wanita Mesir tersebut, namun yang lebih beralasan adalah karena ia ingin mengejar karirnya. Lebih dari itu, pada periode menetap ketiga di Mesir Lane benar-benar mengawini wanita Mesir, walaupun seorang budak yang dibebaskan berasal-usul Yunani; sebagai orang non-muslim dia tidak dapat mengawini wanita muslimah
Mohammedanism
Dua contoh askripsi motif-motif yang meragukan atau salah terhadap para penulis ini lebih lanjut didapatkan pada pernyataan buku Sir Hamilton Gibb yang berjudul Mohammedanism: An Historical Survey (1949).
Said menyebutkan "preferensi Gibb tentang kata Mohammedanism terhadap Islam" dan "ilmu Islam yang paling penting adalah hukum Islam (fiqh), yang menggantikan teologi".
Dinyatakan bahwa Gibb lebih memilih kata "Mohammedanisme" untuk "Islam" sama sekali tidak tepat. Semua bukti menunjukkan bahwa judul tersebut terpaksa diberikan oleh para penerbit, lantaran buku itu menggantikan buku terdahulu yang ditulis oleh D.S. Margoliouth yang berjudul Mohammedanism (1911).
Dalam beberapa halaman awalnya Gibb banyak menjelaskan tentang Mohammedan dan Mohammedanisme yang paling dipahami sebagai semacam apologi terhadap judul yang dibuatnya, sebab berbeda dengan pernyataan ini dia tidak pernah menggunakan istilah tersebut kecuali buku itu seluruhnya hanya untuk Islam dan umat Islam semata. Lebih dari itu, pada edisi berikutnya nama Mohammedan ini telah berubah menjadi Islam.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa Gibb telah salah dalam menyebut bahwa ilmu Islam yang paling penting adalah hukum (fiqh) dan bukannya teologi. Ini agaknya yang menunjukkan ketidaktahuan Said terhadap Islam, karena dia adalah seorang yang berasal dari latar belakang Kristen.
Sebenamya Gibb mengoreksi ide mahasiswa-mahasiswa dari Eropa terdahulu yang mempelajari Islam yang karena interes-interes agama telah memberikan tempat sentral kepada teologi. Secara umum yang kini diakui oleh para ilmuwan barat bahwa inti pendidikan Islam yang lebih tinggi adalah jurisprudensi (fiqh), sebagaimana telah dijelaskan di sini, sebagai contoh, bahwa di perguruan-perguruan atau madrasah abad pertengahan ada seorang profesor utama dan tugas yang paling penting orang ini adalah mengajarkan jurisprudensi (fiqh)
Poin lebih penting makin dikembangkan oleh halaman yang lain. Setelah menguraikan bahwa "sebagaimana buku ini mencoba menunjukkan, Islam secara mendasar digambarkan secara salah di Barat", dia melanjutkan penjelasannya:
Isu yang sesungguhnya baik yang dapat menjadi representasi yang benar terhadap sesuatu, sebagian maupun semua, sebab semua itu adalah gambaran-gambaran, yang pertama melekat pada bahasa dan kemudian melekat pada kebudayaan, pranata sosial dan ambiensi politik yang mewakili.
Penjelasan di atas agaknya dimaksudkan bahwa para orientalis telah salah memberi gambaran tentang Islam sebab pemyataan-pernyataan para orientalis ini dilekatkan pada latar belakang linguistik dan latar belakang kebudayaan mereka; dan ini jelas berlaku terhadap pokok persoalan ini.
Tetapi pertanyaan penting yang lebih meluas bagi penggambaran yang salah ini, disebabkan oleh pendirian pengamat dari luar Islam. Sebagian terbesar ilmuwan Barat tentang Islam di masa lampau secara pasti telah gagal mengapresiasi nilai-nilai agama Islam yang positif, meskipun dalam beberapa hal, yang mereka nyatakan itu benar.
Pengamat suatu agama dari dalam terpengaruh oleh faktor-faktor yang sama sebagai pengamat dari luar, sungguhpun dalam bentuk yang berbeda.
Pengamat dari dalam biasanya melekat pada satu aliran agama khusus tertentu dan oleh karenanya sulit untuk memperoleh hasil nilai imbang terhadap keseluruhan. Maka para penganut agama tertentu harus belajar dari yang diinformasikan sedemikian baiknya oleh pengamat dari luar yang harus mengatakan tentang suatu agama itu apa adanya. Sebagaimana penyair Skotlandia, Robert Burns, menggubah sebuah syair:
Wahai gumpalan kekuasaan yang dikaruniakan kepada kita
Untuk melihat diri kita sebagai yang sesungguhnya melihat kita.
Suatu saat penggambaran salah dari penyimpangan image benar-benar dibakukan pada pandangan umum dari suatu keseluruhan komunitas kultural, yang sulit sekali berubah. Generasi-generasi baru dari para ilmuwan diajarkan oleh orang-orang yang menerima persepsi lama dan ketika mereka sendiri mendapatkan fakta-fakta baru, masih tetap disesuaikan dengan persepsi lama tersebut. Hanya ketika ketidaksesuaian itu menjadi serius, maka para ilmuwan baru mulai memikirkan kembali kebenaran persepsi lama tersebut.
Gerakan Intelektual Baru
Dalam kasus Islam, yang pertama kali dicatat oleh para ilmuwan adalah ketidaksesuaian antara Islam sebagai yang mereka pahami dari tulisan-tulisan orang Islam yang sempat mereka baca dan konsep populer Islam, secara luas didasarkan pada ide-ide ganjil dan khayali.
Pada abad tujuh belas, sejalan dengan gerakan-gerakan intelektual baru di Eropa, kecenderungan bangkit kembali ke buku-buku Arab. Satu produk yang penting dari kebangkitan kembali ini adalah sebuah buku yang berjudul De religõone Mohammedica hasil pemikiran Hadrian Reland of Utrecht, yang terbit pada tahun 1705.
Dalam buku ini dia memberi pertimbangan yang didasarkan atas sumber-sumber umat Islam, dan mengecam dongeng- dongeng dan legenda-legenda yang belakangan muncul di Eropa.
Dia tidak mengecam titik-titik persepsi menyimpang abad pertengahan seperti dijelaskan terdahulu, malah walaupun buku itu ditempatkan pada Indeks Romawi sebab rupanya terlalu menguntungkan untuk Islam. Selain buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol, juga berpengaruh baik bagi pemikiran bangsa Eropa.
Keinginan untuk mendapatkan informasi tentang Islam yang lebih akurat nampak pula pada penerjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Latin oleh Ludovico Marracci, terbit di Padua tahun 1698. Terjemahan ini lebih akurat daripada terjemahan Robert Ketton, akan tetapi diikuti oleh penolakan beberapa hal secara rinci tentang ajarannya yang berbeda dengan keimanan Kristen.
Kontribusi penting lainnya terhadap pengetahuan Islam yang akurat adalah terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris oleh George Sale, terbit pada tahun 1734 disertai dengan wacana Kata Pengantar.
Terjemahan Sale ini dengan lantang diserang oleh umat Islam di tahun-tahun belakangan ini, namun secara menyeluruh tanpa dasar pembenaran. Sale memiliki petunjuk bahasa Arab yang bagus dan sudah menyelidiki komentar-komentar penting orang Islam, terutama komentar al-Baidawi.
Penerjemahannya terhadap Al-Qur'an ini bertujuan untuk mengikuti komentar-komentar tersebut. Para pembaca muslim modern barangkali ditolak oleh fakta bahwa dalam Kata Pengantar dan Pendahuluannya, Sale harus memperkenalkan penjelasan-penjelasan yang hampir kritis sebagai kesimpulan untuk membela diri dari reaksi-reaksi musuh. Maka pada tahun 1734 Kerajaan Ottoman masih menjadi obyek dari rasa takut.
Abad kesembilan belas nampak makin meningkatnya volume kegiatan keilmuan. Yang paling nampak adalah yang ditujukan bagi makin meningkatnya kuantitas informasi akurat tentang Islam yang tersedia di Eropa, dan berdasarkan atas prinsip yang kembali ke sumber-sumber Islam.
Ia lalu mencontohkan artikel yang ditulis oleh Abdallah Laroui berjudul "The Crisis of the Arab Intellectual: Traditionalism or Historicism?". Setelah mendefinisikan "Orientalist" sebagai orang "asing" dari luar -- dalam kasus ini adalah orang barat -- yang mengambil Islam sebagai subyek risetnya, Abdallah Laroui meneruskan:
Pada karya-karya para Orientalis kita dapatkan kritik ideologis (dalam artian yang sederhana) terhadap kultur Islam. Hasil dari dorongan-dorongan intelektual yang besar adalah bagi sebagian terbesar yang tak berharga dan tak bernilai ...
Cita-rasa para Orientalis merupakan bagian dari birokrasi dan berdasarkan alasan ini, menderita karena batas-batas yang secara buruk menghalangi kreasi bebas pendekatan-pendekatan baru atau bahkan penerapan pendekatan-pendekatan yang telah ada.
Di samping mengkritik metode-metode kaum Orientalis, Montgomery Watt juga mengajukan asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang statis. Abdallah Laroui sendiri rupanya melihat reinterpretasi dan reformulasi terhadap keimanan Islam dan artikelnya menyimpulkan:
Sangat mungkin bahwa reformulasi kepercayaan adalah ketaajuban person yang gaib yang segera menunggu hadirnya kemenangan. Satu saat lagi kita akan menjadi saksi verifikasi formal dalil, "Islam berlaku bagi semua zaman ... secara tepat karena keimanan itu tidak pernah Islam yang sama; kata yang secara sederhana benar-benar menunjukkan realitas yang senantiasa diulang dan diperbaharui.
Konsepsi tentang Islam ini sebagai dalam proses pembaharuan yang konstan tentu saja disambut dengan hangat.
Hubungan yang Kompleks
Sekadar mengingatkan William Montgomery Watt adalah seorang penulis barat tentang Islam. Ia pernah mendapatkan gelar "Emiritus Professor," gelar penghormatan tertinggi bagi seorang ilmuwan. Gelar ini diberikan kepadanya oleh Universitas Edinburgh. Penghormatan ini diberikan kepada Watt atas keahliannya di bidang bahasa Arab dan Kajian Islam (Islamic Studies).
Berikut selengkapnya tulisan William Montgomery Watt yang diterjemahkan Zaimudin dengan judul "Titik Temu Islam dan Kristen, Persepsi dan Salah Persepsi" (Gaya Media Pratama Jakarta, 1996)
Orang-orang seperti saya sendiri yang masuk ke golongan orientalis pada asalnya tidak dipandang sebagai bagian dari birokrasi, namun nyatanya ada hubungan yang kompleks antara para orientalis dalam pengertiannya yang luas (mereka yang tidak tertarik dengan Islam) dan mereka adalah golongan kolonialis dan perwira-perwira asing dari luar.
Selama abad sembilan belas sebagian terbesar orientalis tertarik untuk mempelajari bahasa-bahasa timur dan agama-agama besar periode klasik di timur. Sebagian kecil yang mempunyai daya tarik bagi para kolonialis.
Sebagaimana kaum orientalis yang menghimpun informasi yang lebih banyak tentang kultur-kultur yang mereka pelajari, para kolonialis bertujuan menyatakan bahwa sebagian kajian ini berguna dalam membantu memahami bangsa dan rakyat yang mereka kuasai.
Secara perlahan menteri-menteri urusan luar negeri mulai mempekerjakan ilmuwan- ilmuwan untuk meneliti topik-topik khusus yang menarik perhatian, namun sampai Perang Dunia Dua sebagian besar kaum orientalis akademik masih tetap jauh dari politik, sekalipun mereka mulai tertarik kepada Timur kontemporer.
Jadi pada tahun 1932 Sir Hamilton Gibb mengedit sebuah buku yang berjudul Whither Islam? yang berkenaan dengan gerakan gerakan baru-baru ini di Afrika Utara, Mesir, India dan Indonesia, dan pada tahun 1946 menyampaikan ceramah-ceramah ilmiahnya di Chicago tentang Modern Trends in Islaml.
Selama Perang Dunia II, negara-negara barat menjadi sadar akan perlunya pengetahuan bahasa dan kultur Asia dan Afrika yang dijadikan hal yang esensial. Maka setelah perang usai mereka berencana untuk melakukan ekspansi besar-besaran bagi pengkajian-pengkajian budaya dan bahasa tersebut.
Pembebasan kolonialisme dalam skala besar juga berarti bahwa hanya sebagian kecil administrator-administrator kolonial yang mempunyai ketrampilan linguistik. Bidang-bidang yang dipelajari para orientalis lebih tua diperluas sampai ke "area studi" untuk memperbandingkan ekonomi, politik kontemporer dan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain.
Dalam situasi akademik para orientalis yang berubah ini tetap dipertahankan kemerdekaannya, kecuali ketika terjadi perebutan untuk memperoleh dana, yang paling mungkin dijamin oleh proyek-proyek yang bertepatan dengan interes pemerintahan ataupun interes komersial.
Posisi terakhir yang rupanya terjadi bahwa studi-studi ketimuran ini secara umum tidak dapat dikesampingkan oleh negarawan yang menyusun kebijakan luar negeri, agar pemerintah seharusnya dapat mempunyai ahli-ahli sendiri di bidang masing-masing, namun masih ada saja beberapa orientalis akademik yang mengejar garis-garis riset profesional yang hanya sedikit relevansinya dengan politik kontemporer.
Orientalisme Modern
Perjuangan melawan para orientalis itu timbul pada suatu perspektif baru oleh Edward Said dalam bukunya tentang Orientalism. Dia terutama tertarik kepada "orientalisme modern" yang mulai ke arah akhir abad ke delapan belas.
Apakah ada persoalan orientalisme lebih tua yang dapat diperdebatkan, sejak Oxford English Dictionary menunjukkan bahwa kata "orientalist" pertama digunakan bagi seorang mahasiswa Ketimuran sekitar tahun 1780, walaupun "orientalism" tidak terjadi hingga tahun 1812; equivalen kata dalam bahasa Perancis telah sedikit diperlihatkan terdahulu.
Poin utama yang dibuat oleh Said adalah orientalisme modern telah memainkan peranan utama dalam menciptakan stereotype "Oriental" yang menjadi basis kebijakan kolonialis.
Oriental adalah orang yang tidak mengetahui apa yang paling baik bagi diri, yang tidak mampu menguasai diri, yang mudah tertipu, tidak suka akurasi dan tidak jujur, tidak dapat berpikir secara lokal atau memberikan fakta-fakta yang jelas, mudah tergelincir ke dalam intrik.
Hal ini barangkali dapat disimpulkan dalam kalimat: "Barat itu ... adalah rasional, maju, manusiawi, unggul, sementara Timur ... adalah menyimpang, terbelakang, rendah".
Harus diakui bahwa stereotype "Oriental" ini mempengaruhi aktivitas administrator kolonial; namun yang memperluas kaum orientalis itu bertanggung jawab bagi persoalan yang lain. Yang lebih memungkinkan bahwa persepsi "Oriental" ini merupakan sesuatu yang membentuk dirinya secara pelan-pelan pada kontak langsung dengan bangsa-bangsa di Asia, yakni, pertama dari para pelaut dan para pedagang, lalu para kolonialis.
Satu saat persepsi atau stereotype itu mendapat tempat secara umum pada pikiran bangsa Eropa yang terdidik, mahasiswa-mahasiswa Timur tidak dapat luput dari pengaruhnya, dan fakta-fakta baru apapun yang diketemukan akan disesuaikan dan cenderung dikonfirmasikan dengannya.
Sikap Superioritas Kolonialis
Memang Edward Said yang bukan karena maksud yang pertama itu sadar akan sikap superioritas di antara para kolonialis. Beberapa tahun terdahulu (saya pikir pertama pada tahun 1960) Wilfred Cantwell Smith telah menulis:
Pengamatan saya pada studi Ketimuran dan sedikit tentang Afrika lebih dari dua puluh tahun, bahwa kekurangan dan cacat mendasar peradaban Barat dalam peranannya di dunia sejarah adalah arogansi (kesombongan), dan sikap ini juga telah mempengaruhi sikap Gereja Kristen.
Edward Said berikhtiar menghubungkan stereotype Timur abad sembilan belas dengan persepsi-persepsi sebelumnya tentang dunia Islam. Ada beberapa perbedaan penting, namun masih ada satu persoalan sentral yang diabaikan.
Bagaimana persepsi bangsa Eropa terdahulu terhadap orang Islam sebagai seorang pejuang yang menyebar luaskan keimanannya dengan kekerasan dan pedang itu ditransformasikan ke dalam persepsi Ketimuran sebagai suatu perasaan kecut hati, kelemahan dan pribadi yang tidak berguna.
Akan benar-benar lebih baik untuk memperhatikan persepsi Ketimuran abad sembilan belas sebagai sesuatu yang baru yang memungkinkan setelah kekuatan-kekuatan bangsa Eropa berhenti memandang Kerajaan Ottoman sebagai ancaman militer yang berbahaya.
Edward Said menyusun tesisnya secara rinci, namun beberapa poin interpretasinya tentang motif orang-orang yang terlibat rupanya diragukan. Satu poin yang dia diskusikan dengan Edward William Lane dalam Manner and Customs of the Modern Egyptions, dimana Lane menjelaskan bagaimana dia menolak untuk mengawini wanita Mesir yang dibahas dalam pernyataan marriage de convenance (Perkawinan yang tepat).
Secara bahasa dia menafikkan dirinya sebagai orang yang tidak mau kawin pada masyarakat manusia. Jadi dia menjaga identitas otoritatif sebagai partisipan semu dan mendorong obyektivitas naratifnya. Bila kami tahu bahwa Lane adalah seorang non-muslim, maka kami tahu juga bahwa menurutnya untuk menjadi seorang Orientalis -- bukan seorang Oriental -- harus mengabaikan kelezatan sensual kehidupan domestik dirinya sendiri ... Hanya pada cara yang negatif saja dia dapat menyimpan otoritasnya sebagai pengamat dan peneliti yang tak kenal lelah.
Alasan ini tentu tidak meyakinkan karena ada alasan-alasan lain tidak mau mengawini wanita Mesir tersebut, namun yang lebih beralasan adalah karena ia ingin mengejar karirnya. Lebih dari itu, pada periode menetap ketiga di Mesir Lane benar-benar mengawini wanita Mesir, walaupun seorang budak yang dibebaskan berasal-usul Yunani; sebagai orang non-muslim dia tidak dapat mengawini wanita muslimah
Mohammedanism
Dua contoh askripsi motif-motif yang meragukan atau salah terhadap para penulis ini lebih lanjut didapatkan pada pernyataan buku Sir Hamilton Gibb yang berjudul Mohammedanism: An Historical Survey (1949).
Said menyebutkan "preferensi Gibb tentang kata Mohammedanism terhadap Islam" dan "ilmu Islam yang paling penting adalah hukum Islam (fiqh), yang menggantikan teologi".
Dinyatakan bahwa Gibb lebih memilih kata "Mohammedanisme" untuk "Islam" sama sekali tidak tepat. Semua bukti menunjukkan bahwa judul tersebut terpaksa diberikan oleh para penerbit, lantaran buku itu menggantikan buku terdahulu yang ditulis oleh D.S. Margoliouth yang berjudul Mohammedanism (1911).
Dalam beberapa halaman awalnya Gibb banyak menjelaskan tentang Mohammedan dan Mohammedanisme yang paling dipahami sebagai semacam apologi terhadap judul yang dibuatnya, sebab berbeda dengan pernyataan ini dia tidak pernah menggunakan istilah tersebut kecuali buku itu seluruhnya hanya untuk Islam dan umat Islam semata. Lebih dari itu, pada edisi berikutnya nama Mohammedan ini telah berubah menjadi Islam.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa Gibb telah salah dalam menyebut bahwa ilmu Islam yang paling penting adalah hukum (fiqh) dan bukannya teologi. Ini agaknya yang menunjukkan ketidaktahuan Said terhadap Islam, karena dia adalah seorang yang berasal dari latar belakang Kristen.
Sebenamya Gibb mengoreksi ide mahasiswa-mahasiswa dari Eropa terdahulu yang mempelajari Islam yang karena interes-interes agama telah memberikan tempat sentral kepada teologi. Secara umum yang kini diakui oleh para ilmuwan barat bahwa inti pendidikan Islam yang lebih tinggi adalah jurisprudensi (fiqh), sebagaimana telah dijelaskan di sini, sebagai contoh, bahwa di perguruan-perguruan atau madrasah abad pertengahan ada seorang profesor utama dan tugas yang paling penting orang ini adalah mengajarkan jurisprudensi (fiqh)
Poin lebih penting makin dikembangkan oleh halaman yang lain. Setelah menguraikan bahwa "sebagaimana buku ini mencoba menunjukkan, Islam secara mendasar digambarkan secara salah di Barat", dia melanjutkan penjelasannya:
Isu yang sesungguhnya baik yang dapat menjadi representasi yang benar terhadap sesuatu, sebagian maupun semua, sebab semua itu adalah gambaran-gambaran, yang pertama melekat pada bahasa dan kemudian melekat pada kebudayaan, pranata sosial dan ambiensi politik yang mewakili.
Penjelasan di atas agaknya dimaksudkan bahwa para orientalis telah salah memberi gambaran tentang Islam sebab pemyataan-pernyataan para orientalis ini dilekatkan pada latar belakang linguistik dan latar belakang kebudayaan mereka; dan ini jelas berlaku terhadap pokok persoalan ini.
Tetapi pertanyaan penting yang lebih meluas bagi penggambaran yang salah ini, disebabkan oleh pendirian pengamat dari luar Islam. Sebagian terbesar ilmuwan Barat tentang Islam di masa lampau secara pasti telah gagal mengapresiasi nilai-nilai agama Islam yang positif, meskipun dalam beberapa hal, yang mereka nyatakan itu benar.
Pengamat suatu agama dari dalam terpengaruh oleh faktor-faktor yang sama sebagai pengamat dari luar, sungguhpun dalam bentuk yang berbeda.
Pengamat dari dalam biasanya melekat pada satu aliran agama khusus tertentu dan oleh karenanya sulit untuk memperoleh hasil nilai imbang terhadap keseluruhan. Maka para penganut agama tertentu harus belajar dari yang diinformasikan sedemikian baiknya oleh pengamat dari luar yang harus mengatakan tentang suatu agama itu apa adanya. Sebagaimana penyair Skotlandia, Robert Burns, menggubah sebuah syair:
Wahai gumpalan kekuasaan yang dikaruniakan kepada kita
Untuk melihat diri kita sebagai yang sesungguhnya melihat kita.
Suatu saat penggambaran salah dari penyimpangan image benar-benar dibakukan pada pandangan umum dari suatu keseluruhan komunitas kultural, yang sulit sekali berubah. Generasi-generasi baru dari para ilmuwan diajarkan oleh orang-orang yang menerima persepsi lama dan ketika mereka sendiri mendapatkan fakta-fakta baru, masih tetap disesuaikan dengan persepsi lama tersebut. Hanya ketika ketidaksesuaian itu menjadi serius, maka para ilmuwan baru mulai memikirkan kembali kebenaran persepsi lama tersebut.
Gerakan Intelektual Baru
Dalam kasus Islam, yang pertama kali dicatat oleh para ilmuwan adalah ketidaksesuaian antara Islam sebagai yang mereka pahami dari tulisan-tulisan orang Islam yang sempat mereka baca dan konsep populer Islam, secara luas didasarkan pada ide-ide ganjil dan khayali.
Pada abad tujuh belas, sejalan dengan gerakan-gerakan intelektual baru di Eropa, kecenderungan bangkit kembali ke buku-buku Arab. Satu produk yang penting dari kebangkitan kembali ini adalah sebuah buku yang berjudul De religõone Mohammedica hasil pemikiran Hadrian Reland of Utrecht, yang terbit pada tahun 1705.
Dalam buku ini dia memberi pertimbangan yang didasarkan atas sumber-sumber umat Islam, dan mengecam dongeng- dongeng dan legenda-legenda yang belakangan muncul di Eropa.
Dia tidak mengecam titik-titik persepsi menyimpang abad pertengahan seperti dijelaskan terdahulu, malah walaupun buku itu ditempatkan pada Indeks Romawi sebab rupanya terlalu menguntungkan untuk Islam. Selain buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol, juga berpengaruh baik bagi pemikiran bangsa Eropa.
Keinginan untuk mendapatkan informasi tentang Islam yang lebih akurat nampak pula pada penerjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Latin oleh Ludovico Marracci, terbit di Padua tahun 1698. Terjemahan ini lebih akurat daripada terjemahan Robert Ketton, akan tetapi diikuti oleh penolakan beberapa hal secara rinci tentang ajarannya yang berbeda dengan keimanan Kristen.
Kontribusi penting lainnya terhadap pengetahuan Islam yang akurat adalah terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris oleh George Sale, terbit pada tahun 1734 disertai dengan wacana Kata Pengantar.
Terjemahan Sale ini dengan lantang diserang oleh umat Islam di tahun-tahun belakangan ini, namun secara menyeluruh tanpa dasar pembenaran. Sale memiliki petunjuk bahasa Arab yang bagus dan sudah menyelidiki komentar-komentar penting orang Islam, terutama komentar al-Baidawi.
Penerjemahannya terhadap Al-Qur'an ini bertujuan untuk mengikuti komentar-komentar tersebut. Para pembaca muslim modern barangkali ditolak oleh fakta bahwa dalam Kata Pengantar dan Pendahuluannya, Sale harus memperkenalkan penjelasan-penjelasan yang hampir kritis sebagai kesimpulan untuk membela diri dari reaksi-reaksi musuh. Maka pada tahun 1734 Kerajaan Ottoman masih menjadi obyek dari rasa takut.
Abad kesembilan belas nampak makin meningkatnya volume kegiatan keilmuan. Yang paling nampak adalah yang ditujukan bagi makin meningkatnya kuantitas informasi akurat tentang Islam yang tersedia di Eropa, dan berdasarkan atas prinsip yang kembali ke sumber-sumber Islam.
(mhy)