Penjelasan tentang Suara Perempuan Termasuk Aurat atau Bukan
loading...
A
A
A
Apakah suara perempuan termasuk aurat atau bukan, berikut penjelasan para ulama. Sebagai makhluk sosial, kaum perempuan tentu tak lepas dari muamalah atau interaksi dengan laki-laki dalam kesehariannya.
Tentang suara perempuan apakah termasuk aurat atau bukan, pengajar Rumah Fiqih Indonesia, Ustazah Aini Aryani Lc menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Namun, jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa suara wanita bukanlah aurat.
Hadis yang berbunyi "shautul mar'ah auroh" (suara wanita adalah aurat) bukanlah Hadis shahih. Sebagian berpendapat hadits ini dhaif (lemah) dan sebagian mengatakannya Hadits maudu' (palsu).
Mengutip laman rumahfiqih, Ustazah Aini menceritakan Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha ketika meriwayatkan Hadist tidak menuliskannya dalam bentuk tulisan. Namun menyampaikannya langsung secara lisan kepada para sahabat Rasulullah SAW.
Sebagaimana diketahui, Sayyidah Aisyah adalah seorang perempuan ahli syariah yang banyak meriwayatkan Hadits. Beliau termasuk dalam 4 perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits, setelah Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum.
Bahkan, Rasulullah SAW sendiri meluangkan satu hari khusus untuk mengajarkan secara langsung ilmu-ilmu agama Islam kepada para wanita muslimah saat itu, tanpa perantara istri-istri beliau. Beliau langsung berdialog secara lisan dengan para sahabiyah yang ingin belajar.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Raudhatut-Thalibin menyatakan bahwa pada dasarnya suara wanita bukanlah aurat. Akan tetapi hal ini bisa berubah hukumnya ketika dalam keadaan ditakutkan adanya fitnah (sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyuan dalam beribadah).
Ibrahim al-Marwidzi sependapat dengan Imam An-Nawawi dalam hal ini. Beliau menambahkan bahwa wanita hendaknya tidak melantangkan suaranya ketika berbicara. Sebagaiman disebutkan dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
Artinya: "Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Surat Al-Ahzab ayat 32)
Yang dimaksud dengan tunduk dalam berbicara disini ialah berbicara dengan sikap yang dapat menimbulkan keberanian orang untuk bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit ialah: orang yang mempunyai niat berbuat tidak senonoh dengan wanita, seperti zina.
Jadi, sah-sah saja berbicara secara langsung dengan lawan jenis sejauh tidak membawa dampak negatif. Silakan saja seorang wanita menyampaikan pendapatnya pada laki-laki.
"Tapi, yang penting digarisbawahi, hendaknya tidak membuat-buat suara kita ketika berbicara, atau mendesah-desahkannya. Yang demikian untuk menghindari adanya fitnah dan madharat atau efek negatif lainnya," terang Ustazah Aini.
Wallahu A'lam
Tentang suara perempuan apakah termasuk aurat atau bukan, pengajar Rumah Fiqih Indonesia, Ustazah Aini Aryani Lc menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Namun, jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa suara wanita bukanlah aurat.
Hadis yang berbunyi "shautul mar'ah auroh" (suara wanita adalah aurat) bukanlah Hadis shahih. Sebagian berpendapat hadits ini dhaif (lemah) dan sebagian mengatakannya Hadits maudu' (palsu).
Mengutip laman rumahfiqih, Ustazah Aini menceritakan Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha ketika meriwayatkan Hadist tidak menuliskannya dalam bentuk tulisan. Namun menyampaikannya langsung secara lisan kepada para sahabat Rasulullah SAW.
Sebagaimana diketahui, Sayyidah Aisyah adalah seorang perempuan ahli syariah yang banyak meriwayatkan Hadits. Beliau termasuk dalam 4 perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits, setelah Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum.
Bahkan, Rasulullah SAW sendiri meluangkan satu hari khusus untuk mengajarkan secara langsung ilmu-ilmu agama Islam kepada para wanita muslimah saat itu, tanpa perantara istri-istri beliau. Beliau langsung berdialog secara lisan dengan para sahabiyah yang ingin belajar.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Raudhatut-Thalibin menyatakan bahwa pada dasarnya suara wanita bukanlah aurat. Akan tetapi hal ini bisa berubah hukumnya ketika dalam keadaan ditakutkan adanya fitnah (sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyuan dalam beribadah).
Ibrahim al-Marwidzi sependapat dengan Imam An-Nawawi dalam hal ini. Beliau menambahkan bahwa wanita hendaknya tidak melantangkan suaranya ketika berbicara. Sebagaiman disebutkan dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
يٰنِسَآءَ النَّبِىِّ لَسۡتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ اِنِ اتَّقَيۡتُنَّ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِالۡقَوۡلِ فَيَـطۡمَعَ الَّذِىۡ فِىۡ قَلۡبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلۡنَ قَوۡلًا مَّعۡرُوۡفًا
Artinya: "Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Surat Al-Ahzab ayat 32)
Yang dimaksud dengan tunduk dalam berbicara disini ialah berbicara dengan sikap yang dapat menimbulkan keberanian orang untuk bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit ialah: orang yang mempunyai niat berbuat tidak senonoh dengan wanita, seperti zina.
Jadi, sah-sah saja berbicara secara langsung dengan lawan jenis sejauh tidak membawa dampak negatif. Silakan saja seorang wanita menyampaikan pendapatnya pada laki-laki.
"Tapi, yang penting digarisbawahi, hendaknya tidak membuat-buat suara kita ketika berbicara, atau mendesah-desahkannya. Yang demikian untuk menghindari adanya fitnah dan madharat atau efek negatif lainnya," terang Ustazah Aini.
Wallahu A'lam
(rhs)