Islam Indonesia akan Jadi Panutan Dunia di Masa Depan
loading...
A
A
A
Islam Indonesia akan menjadi panutan dunia di masa depan menurut KH. Cholil Nafis , Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI). KH Cholil Nafis yakin ke depannya Indonesia akan menjadi kiblat di tingkat global, banyak negara yang akan banyak belajar dari Indonesia.
Interaksi yang dinamis antaragama ada di Indonesia memang patut menjadi contoh. Seperti apa Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melihat potensi besar dakwah di negara ini? Simak wawancara Koran SINDO dengan KH. Cholil Nafis di kantornya beberapa waktu lalu.
Bagaimana Kiai melihat dakwah di Indonesia secara umum?
Di Indonesia banyak tipe sesuai zaman, pernah hadir dakwah dengan narasi cerdas dan tetap menghibur seperti yang dibawakan KH. Zainuddin MZ. Masa sebelumnya malah da'i dikatakan hebat jika melawan rezim, zamannya dai Syukron Mahmun.
Saat Indonesia dilanda krisis, masyarakat mencari sosok yang dapat melembutkan hati ada Aa Gym. Suasana masyarakatnya membutuhkan adem ayem. Setelah krisis lama Indonesia kembali butuh hiburan namun masih yang mencerahkan. Booming artis yang berdakwah sepeti Uje, beliau ceramah sambil menghibur dengan nyanyian.
Terjadi pergeseran pemikiran juga pada masyarakat Indonesia, ustad itu bukan pekerjaan sampingan lagi. Muncul ustaz yang juga berbisnis seperti Yusuf Mansyur. Ustaz di Indonesia tampak populer juga kaya dengan banyak massa hingga menguasai media. Sampai akhirnya dilirik politik untuk menaikkan elektabilitas.
Ketika dunia dakwah di Tanah Air sudah seperti ini, masyrakat mulai jenuh ingin mengaji kembali. Muncul ustaz yang bukan 'berwajah entertaint' tetapi punya nilai keilmuan muncul Abdul Somad, Adi Hidayat, Khalid Basalamah dan lainnya. Perbedaan mereka tidak mewakili organisasi masyarakat (ormas) manapun bahkan cenderung melawan ormas. Di sini ada perlawanan ormas karena mereka lembaga mapan dihantam oleh perorangan.
Tidak heran jika Ustaz Abdul Somad sempat ditolak cermah di sejumlah tempat, itulah sentimen ormas. Mereka membawa diri mereka pribadi dan juga aliran, jika dulu politik aliran sekarang menjadi ustaz aliran.
Tetapi kini ormas menguat kembali, kelebihan ormas yakni pada aliran yang matang secara agama dan bernegara, sangat menjaga NKRI. Tugas MUI memayungi mereka, karena kami paham, kelompok non ormas potensial hingga 40% atau mereka yang berafiliasi ke ormas 60 % adalah massa di tengah juga.
Seperti apa tugas MUI meyatukan para pendakwah in?
Apa yang dibangun oleh ormas kami persilakan tetapi di luar ormas atau mereka yang di tengah kami wadahi dengan pola pembinaan dakwah yang kami lakukan dengan nama standarisasi. Bukan sertifikasi, jika sertifikasi mereka memiliki efek profesionalisme yang berkaitan dengan bayaran. Sebab, tidak semua profesinya penceramah. Maka bukan sertifikasi, karena nanti ada akibat konsekuensi anggaran dia tidak bisa ceramah kecuali ada sertifikatnya seperti halal. Maka menggunakan standardisasi, artinya standar keagamaan, standar nasionalisme dan standar metodologi.
Untuk para dai yang di luar ormas, apakah sudah berjalan menjangkau mereka karena mereka di luar kendali ormas? Apakah ada sistem di MUI agar mereka mau mengikuti apa yang direncakan MUI ini?
Para dai di luar ormas memang justru memang lebih banyak karena akhir-akhir lahir beberapa hal yang terjadi kepada ustaz-ustaz ini baik penghadangan dan lainnya. Sehingga mereka khawatir bagian dari stigma buruk. Sebelum mereka ceramah, sudah lebih dahulu diserang di media sosial.
Mereka tidak mau seperti itu maka dia akhirnya mau dibina oleh MUI. Untuk berafiliasi dengan sebuah ormas membutuhkan waktu lama, memang ini harapan kami mereka yang belum terekrut. Kami sudah percaya jika mereka sudah bergabung dengan ormas, kami tinggal berkoordinasi dengan pimpinannya.
Tetapi seperti mualaf yang tidak berafiliasi dengan ormas perlu kami sadarkan mengenai keagamaan, bagaimana nasionalisme. Sebab, terkadang ada kegoncangan batin karena baru menjadi Islam yang juga terkadang menjadi militan. Semangat para mualaf sangat berapi-api tetapi tidak cukup ilmu dan pengalaman. Seorang mualaf boleh bercerita mengenai hidayah yang datang padanya tetapi belum waktunya dia mengajarkan soal ajaran Islam.
Bagaimana pendapat Anda soal politik identitas yang membawa agama di dalamnya?
Identitas politik dihilangkan itu mustahil, tidak masuk akal. Kita ini dibangun dengan semangat jihad membela NKRI masing-masing agama sebagai spirit untuk meraih kemerdekaan. Komunikasi publik itu perlu clear karena bahasa simbolis. tidak bisa dijelaskan perlu clear. Ke depannya, politik identitas ada tetapi kecil.
Bagaimana Anda melihat Islam di Indonesia ke depan? Optimistiskah Islam akan semakin memberi peran penting dalam kehidupan suatu negara?
Interaksi yang dinamis antaragama ada di Indonesia memang patut menjadi contoh. Seperti apa Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melihat potensi besar dakwah di negara ini? Simak wawancara Koran SINDO dengan KH. Cholil Nafis di kantornya beberapa waktu lalu.
Bagaimana Kiai melihat dakwah di Indonesia secara umum?
Di Indonesia banyak tipe sesuai zaman, pernah hadir dakwah dengan narasi cerdas dan tetap menghibur seperti yang dibawakan KH. Zainuddin MZ. Masa sebelumnya malah da'i dikatakan hebat jika melawan rezim, zamannya dai Syukron Mahmun.
Saat Indonesia dilanda krisis, masyarakat mencari sosok yang dapat melembutkan hati ada Aa Gym. Suasana masyarakatnya membutuhkan adem ayem. Setelah krisis lama Indonesia kembali butuh hiburan namun masih yang mencerahkan. Booming artis yang berdakwah sepeti Uje, beliau ceramah sambil menghibur dengan nyanyian.
Terjadi pergeseran pemikiran juga pada masyarakat Indonesia, ustad itu bukan pekerjaan sampingan lagi. Muncul ustaz yang juga berbisnis seperti Yusuf Mansyur. Ustaz di Indonesia tampak populer juga kaya dengan banyak massa hingga menguasai media. Sampai akhirnya dilirik politik untuk menaikkan elektabilitas.
Ketika dunia dakwah di Tanah Air sudah seperti ini, masyrakat mulai jenuh ingin mengaji kembali. Muncul ustaz yang bukan 'berwajah entertaint' tetapi punya nilai keilmuan muncul Abdul Somad, Adi Hidayat, Khalid Basalamah dan lainnya. Perbedaan mereka tidak mewakili organisasi masyarakat (ormas) manapun bahkan cenderung melawan ormas. Di sini ada perlawanan ormas karena mereka lembaga mapan dihantam oleh perorangan.
Tidak heran jika Ustaz Abdul Somad sempat ditolak cermah di sejumlah tempat, itulah sentimen ormas. Mereka membawa diri mereka pribadi dan juga aliran, jika dulu politik aliran sekarang menjadi ustaz aliran.
Tetapi kini ormas menguat kembali, kelebihan ormas yakni pada aliran yang matang secara agama dan bernegara, sangat menjaga NKRI. Tugas MUI memayungi mereka, karena kami paham, kelompok non ormas potensial hingga 40% atau mereka yang berafiliasi ke ormas 60 % adalah massa di tengah juga.
Seperti apa tugas MUI meyatukan para pendakwah in?
Apa yang dibangun oleh ormas kami persilakan tetapi di luar ormas atau mereka yang di tengah kami wadahi dengan pola pembinaan dakwah yang kami lakukan dengan nama standarisasi. Bukan sertifikasi, jika sertifikasi mereka memiliki efek profesionalisme yang berkaitan dengan bayaran. Sebab, tidak semua profesinya penceramah. Maka bukan sertifikasi, karena nanti ada akibat konsekuensi anggaran dia tidak bisa ceramah kecuali ada sertifikatnya seperti halal. Maka menggunakan standardisasi, artinya standar keagamaan, standar nasionalisme dan standar metodologi.
Untuk para dai yang di luar ormas, apakah sudah berjalan menjangkau mereka karena mereka di luar kendali ormas? Apakah ada sistem di MUI agar mereka mau mengikuti apa yang direncakan MUI ini?
Para dai di luar ormas memang justru memang lebih banyak karena akhir-akhir lahir beberapa hal yang terjadi kepada ustaz-ustaz ini baik penghadangan dan lainnya. Sehingga mereka khawatir bagian dari stigma buruk. Sebelum mereka ceramah, sudah lebih dahulu diserang di media sosial.
Mereka tidak mau seperti itu maka dia akhirnya mau dibina oleh MUI. Untuk berafiliasi dengan sebuah ormas membutuhkan waktu lama, memang ini harapan kami mereka yang belum terekrut. Kami sudah percaya jika mereka sudah bergabung dengan ormas, kami tinggal berkoordinasi dengan pimpinannya.
Tetapi seperti mualaf yang tidak berafiliasi dengan ormas perlu kami sadarkan mengenai keagamaan, bagaimana nasionalisme. Sebab, terkadang ada kegoncangan batin karena baru menjadi Islam yang juga terkadang menjadi militan. Semangat para mualaf sangat berapi-api tetapi tidak cukup ilmu dan pengalaman. Seorang mualaf boleh bercerita mengenai hidayah yang datang padanya tetapi belum waktunya dia mengajarkan soal ajaran Islam.
Bagaimana pendapat Anda soal politik identitas yang membawa agama di dalamnya?
Identitas politik dihilangkan itu mustahil, tidak masuk akal. Kita ini dibangun dengan semangat jihad membela NKRI masing-masing agama sebagai spirit untuk meraih kemerdekaan. Komunikasi publik itu perlu clear karena bahasa simbolis. tidak bisa dijelaskan perlu clear. Ke depannya, politik identitas ada tetapi kecil.
Bagaimana Anda melihat Islam di Indonesia ke depan? Optimistiskah Islam akan semakin memberi peran penting dalam kehidupan suatu negara?