Takaful Bidang Materi dan Moral Menurut Syaikh Al-Qardhawi

Selasa, 09 Mei 2023 - 05:15 WIB
loading...
Takaful Bidang Materi dan Moral Menurut Syaikh Al-Qardhawi
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi (Foto/Ilustrasi : Reuters)
A A A
Di antara bentuk ta'awun, taraahum dan tanaashur adalah takaful (saling menanggung) di antara anggota masyarakat Islam. Baik takaful di bidang materi dan moral, ekonomi dan politik, militer dan sipil, sosiai dan budaya.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997) menjelaskan takaful itu dimulai dengan yang mempunyai hubungan kerabat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya, sebagaimana hal itu dijelaskan secara rinci dalam aturan nafkah menurut syariat Islam .

"Maka keluarga yang kaya memberikan infaq kepada keluarga yang miskin sesuai dengan syarat-syarat dan hukum-hukum yang dijelaskan di dalam fiqh Islam," ujarnya.



Allah SWT berfirman:

"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." ( QS Al Anfal : 75)

Menurut al-Qardhawi, kemudian lingkup takaful ini menjadi melebar ke tetangga dan penghuni kampung, sesuai dengan hak tetangga yang telah ditekankan oleh Islam. Di dalam hadis disebutkan: "Bukanlah termasuk orang beriman orang yang semalaman ia kenyang, sedang tetangga di sebelahnya kelaparan." (HR Thabrani)

Dalam hadis lainnya disebutkan: "Siapa saja penduduk di sekitar rumah jika ada di antara mereka yang kelaparan maka tanggungan Allah dan Rasul-Nya akan terlepas dari mereka." (HR Ahmad)

Al-Qardhawi mengatakan, kemudian wilayah takaful itu menjadi semakin lebar dan meluas sampai satu desa atau lebih luas dari itu, yaitu melalui zakat yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar diambil dari orang-orang kaya setiap daerah untuk diberikan kepada fakir miskin daerah tersebut. Dengan demikian maka bisa dilakukan sesuai dengan pembagian wilayah.



Berbeda dengan yang dilakukan oleh peradaban masa lalu sebelum Islam di mana pajak itu diambil dari para petani dan pengusaha daerah atau perkampungan yang cukup jauh untuk dibagi di kota-kota besar, terutama ibukota tempat tinggalnya seorang raja atau imbratur (imperium). Kemudian semakin bertambah luas wilayah takaful itu sampai merata seluruh masyarakat.

Sejak munculnya fajar dakwah Islam di Makkah, ketika umat Islam masih sedikit jumlahnya dan mereka tertindas, tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, Al Qur'an sudah menyeru dengan kuat untuk bertakaful (saling menanggung). "Yaitu dengan menjadikan anggota masyarakat seperti satu keluarga, yaitu orang yang kaya menanggung orang yang fakir," ujar al-Qardhawi.

Al Qur'an tidak memandang demikian itu sebagai sunah agama yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki derajat iman dan ihsan yang tinggi, sedangkan selain mereka tidak dituntut, melainkan Al Qur'an menjadikan hal itu suatu permasalahan yang asasi dari pilar-pilar agama. Tidak akan memperoleh rida Allah siapa yang tidak melakukannya dan tidak akan selamat dari adzab-Nya orang yang meninggalkannya.

Bacalah firman Allah SWT dalam Surat Makkiyah berikut ini:

"Maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang orang yang beriman dan saling berpesan untuk berkasih sayang ...." ( QS Al Balad : 11-17)

"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin." ( QS Al Muddatstsir : 34-44)



Al-Qardhawi menjelaskan tempat tinggal mereka di neraka, karena mereka telah menyia-nyiakan hak Allah dan hak-hak hamba-Nya, yaitu dengan menelantarkan shalat dan tidak memberi makan orang miskin.

Memberi makan orang miskin adalah suatu gambaran tentang kepentingan dan kebutuhan mereka secara keseluruhan. Tidak berarti bahwa kita memberi makan orang miskin sementara dia kita biarkan terkatung-katung tanpa tempat tinggal atau telanjang tanpa pakaian atau sakit tanpa ada yang mengobati.

Al Qur'an tidak hanya cukup mewajibkan memberi makan orang miskin, tetapi lebih dari itu Al Qur'an mewajibkan menyeru untuk memberi makan orang miskin dan menghimbau untuk memperhatikannya dan menganggap bahwa mengabaikan hal itu termasuk tanda kesombongan dan dusta terhadap agama lain, Allah SWT berfirman:
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3796 seconds (0.1#10.140)