Islam Sangat Keras Mengharamkan Riba dan Ihtikar, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan Islam mengharamkan cara-cara riba dalam mengembangkan harta. Selain itu, ihtikar atau menimbun di saat orang membutuhkan juga sangat dilarang.
Di dalam riba itu seseorang berusaha memenuhi kebutuhan orang yang ingin meminjam harta, tetapi di saat yang sama ia mengharuskan kepada orang yang meminjam itu untuk memberi tambahan yang nanti akan diambilnya, tanpa ada imbalan darinya berupa kerja dan tidak pula saling memikirkan.
"Di sini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin," ujar ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press). .
Menurutnya, pelaku riba bagaikan segumpal darah yang menyerap darah orang-orang yang bekerja keras. Sedangkan ia tidak bekerja apa-apa, tetapi ia tetap memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. "Dengan demikian semakin lebar jurang pemisah di bidang sosial ekonomi antara kelompok-kelompok yang ada, dan api permusuhan pun semakin berkobar," ujarnya.
Oleh karena itu Islam sangat keras dalam mengharamkan riba dan memasukkannya di antara dosa besar yang merusak, serta mengancam orang yang berbuat demikian dengan ancaman yang sangat berat. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." ( QS Al Baqarah : 278-279)
Rasulullah SAW melaknati orang yang memakan riba, yang diberi makan, sekretarisnya dan kedua saksinya.
Sedangkan soal ihtikar atau menimbun di saat orang membutuhkan dijelaskan dalam hadis:
"Tidak ada yang menimbun (barang ketika dibutuhkan) kecuali orang yang berdosa." (HR Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
"Barangsiapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka ia telah terlepas dari Allah dan Allah pun terlepas dari padanya." (HR Ahmad)
Menurut Al-Qardhawi, ancaman itu datang karena orang yang menyimpan itu ingin membangun dirinya di atas penderitaan orang lain dan dia tidak peduli apakah manusia kelaparan atau telanjang, yang penting dia mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Semakin masyarakat memerlukan barang itu semakin dia menyembunyikannya, dan semakin senang dengan naiknya harga barang tersebut, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda:
"Seburuk-buruk hamba (Allah) adalah yang menimbun, apabila mendengar harga barang menurun ia merasa susah, dan apabila ia mendengar harga barang naik ia merasa gembira." (Disebutkan oleh Razin di dalam Jami'nya)
Al-Qardhawi menjelaskan, para fuqaha' berselisih mengenai batas menyimpan barang yang diharamkan, apakah hanya makanan pokok atau segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat. Yang benar adalah pendapat yang dikatakan oleh Imam Abu Yusuf. "yaitu segala sesuatu yang berbahaya bagi manusia bila disimpan maka itu ihtikar (menimbun)"
Di dalam riba itu seseorang berusaha memenuhi kebutuhan orang yang ingin meminjam harta, tetapi di saat yang sama ia mengharuskan kepada orang yang meminjam itu untuk memberi tambahan yang nanti akan diambilnya, tanpa ada imbalan darinya berupa kerja dan tidak pula saling memikirkan.
"Di sini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin," ujar ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press). .
Menurutnya, pelaku riba bagaikan segumpal darah yang menyerap darah orang-orang yang bekerja keras. Sedangkan ia tidak bekerja apa-apa, tetapi ia tetap memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. "Dengan demikian semakin lebar jurang pemisah di bidang sosial ekonomi antara kelompok-kelompok yang ada, dan api permusuhan pun semakin berkobar," ujarnya.
Oleh karena itu Islam sangat keras dalam mengharamkan riba dan memasukkannya di antara dosa besar yang merusak, serta mengancam orang yang berbuat demikian dengan ancaman yang sangat berat. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." ( QS Al Baqarah : 278-279)
Rasulullah SAW melaknati orang yang memakan riba, yang diberi makan, sekretarisnya dan kedua saksinya.
Sedangkan soal ihtikar atau menimbun di saat orang membutuhkan dijelaskan dalam hadis:
"Tidak ada yang menimbun (barang ketika dibutuhkan) kecuali orang yang berdosa." (HR Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
"Barangsiapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka ia telah terlepas dari Allah dan Allah pun terlepas dari padanya." (HR Ahmad)
Menurut Al-Qardhawi, ancaman itu datang karena orang yang menyimpan itu ingin membangun dirinya di atas penderitaan orang lain dan dia tidak peduli apakah manusia kelaparan atau telanjang, yang penting dia mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Semakin masyarakat memerlukan barang itu semakin dia menyembunyikannya, dan semakin senang dengan naiknya harga barang tersebut, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda:
"Seburuk-buruk hamba (Allah) adalah yang menimbun, apabila mendengar harga barang menurun ia merasa susah, dan apabila ia mendengar harga barang naik ia merasa gembira." (Disebutkan oleh Razin di dalam Jami'nya)
Al-Qardhawi menjelaskan, para fuqaha' berselisih mengenai batas menyimpan barang yang diharamkan, apakah hanya makanan pokok atau segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat. Yang benar adalah pendapat yang dikatakan oleh Imam Abu Yusuf. "yaitu segala sesuatu yang berbahaya bagi manusia bila disimpan maka itu ihtikar (menimbun)"
(mhy)