Syaikh Al-Qardhawi: Hati-Hati Membelanjakan Uang Negara!
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan apabila kesederhanaan itu dituntut dalam pengeluaran seseorang terhadap dirinya, maka ia juga dituntut dalam anggaran belanja negara, mulai dari kepala negara kemudian orang di bawahnya.
"Bahkan sepatutnya bagi imam kaum Muslimin, baik Amir atau Rais mereka hendaknya menjadi uswah (teladan) bagi umat dalam hal kehati-hatian penggunaan uang negara dan memperkecil fenomena kemewahan dan foya-foya," ujar al-Qardhawi dalam kitabnya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Rasulullah SAW sebagai imam kaum muslimin adalah orang yang pertama kali merasakan lapar di saat umat menderita kelaparan dan yang terakhir kali merasakan kenyang di saat mereka dalam kemakmuran.
Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah kenyang sepanjang tiga hari berturut-turut. Kalau seandainya kami mau pasti kami kenyang, akan tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya (sendiri)" (HR Baihaqi)
Abu Hurairah ra berkata, "Rasulullah SAW keluar dari dunia (wafat) dan beliau belum pernah kenyang dari roti gandum" (HR Bukhari dan Tirmidzi)
Rasulullah menolak untuk mengambil alas tidur yang enak (empuk), dan bantal beliau terbuat dari kulit pohon. Beliau juga tidur di atas tikar sampai membekas di lambungnya, beliau wafat dengan mengenakan pakaian yang sudah lusuh dan sarung yang kasar.
Demikian juga Abu Bakar, Umar dan Ali ra, hingga Umar pernah berkata, "Saya dengan harta ini tidak lain kecuali seperti wali anak yatim, jika saya sudah cukup, maka saya berhati-hati, tetapi jika saya memerlukannya maka saya memakannya dengan ma'ruf (baik)."
Al-Qardhawi mengatakan kita tidak menginginkan bahwa pemimpin dan amir kita harus persis seperti mereka, tetapi kita ingin dari para pemimpin itu hendaknya bertakwa kepada Allah dalam menggunakan harta milik umum. Tidak memihak dengan harta itu kepada istri dan sanak kerabat serta orang-orang yang loyal kepadanya dari para penjilat.
Sesungguhnya kebanyakan dari raja-raja (para pemimpin) dan amir di negeri-negeri Islam mengira bahwa harta negara itu adalah milik mereka, sehingga mereka pergunakan semaunya. "Sedikit sekali dari kalangan mereka orang yang mau menghisab (menghitung) amal perbuatannya," ujar al-Qardhawi.
Sampai negara-negara yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga Parlemen dan lembaga pengawas pun tidak mampu untuk menyentuh (mengkritik) apa-apa yang berkaitan dengan kepala negara dan perangkat kekuasaannya.
Di sana ada lembaga-lembaga tertentu yang mempergunakan uang negara tanpa perhitungan dan tanpa persyaratan sehingga sepanjang waktu terus-menerus dipertanyakan oleh masyarakat seperti dinas penerangan, olahraga, lembaga-lembaga kemiliteran dan keamanan negara, serta lembaga-lembaga lain yang terkait erat dengan pelanggengan status quo penguasa.
Di saat yang sama terjadi pengiritan dan perampingan biaya yang berlebihan di dinas-dinas yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan pelayanan-pelayanan sosial masyarakat.
Al-Qardhawi mengatakan sesungguhnya hukum mengharuskan adanya keseimbangan dalam berbagai kepentingan. "Mendahulukan yang primer dari kepentingan sekunder, dan mendahulukan kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan pribadi, kelompok serta kepentingan fakir miskin dan orang-orang lemah atas kepentingan orang-orang besar yang kaya," ujarnya.
"Bahkan sepatutnya bagi imam kaum Muslimin, baik Amir atau Rais mereka hendaknya menjadi uswah (teladan) bagi umat dalam hal kehati-hatian penggunaan uang negara dan memperkecil fenomena kemewahan dan foya-foya," ujar al-Qardhawi dalam kitabnya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Rasulullah SAW sebagai imam kaum muslimin adalah orang yang pertama kali merasakan lapar di saat umat menderita kelaparan dan yang terakhir kali merasakan kenyang di saat mereka dalam kemakmuran.
Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah kenyang sepanjang tiga hari berturut-turut. Kalau seandainya kami mau pasti kami kenyang, akan tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya (sendiri)" (HR Baihaqi)
Abu Hurairah ra berkata, "Rasulullah SAW keluar dari dunia (wafat) dan beliau belum pernah kenyang dari roti gandum" (HR Bukhari dan Tirmidzi)
Rasulullah menolak untuk mengambil alas tidur yang enak (empuk), dan bantal beliau terbuat dari kulit pohon. Beliau juga tidur di atas tikar sampai membekas di lambungnya, beliau wafat dengan mengenakan pakaian yang sudah lusuh dan sarung yang kasar.
Demikian juga Abu Bakar, Umar dan Ali ra, hingga Umar pernah berkata, "Saya dengan harta ini tidak lain kecuali seperti wali anak yatim, jika saya sudah cukup, maka saya berhati-hati, tetapi jika saya memerlukannya maka saya memakannya dengan ma'ruf (baik)."
Al-Qardhawi mengatakan kita tidak menginginkan bahwa pemimpin dan amir kita harus persis seperti mereka, tetapi kita ingin dari para pemimpin itu hendaknya bertakwa kepada Allah dalam menggunakan harta milik umum. Tidak memihak dengan harta itu kepada istri dan sanak kerabat serta orang-orang yang loyal kepadanya dari para penjilat.
Sesungguhnya kebanyakan dari raja-raja (para pemimpin) dan amir di negeri-negeri Islam mengira bahwa harta negara itu adalah milik mereka, sehingga mereka pergunakan semaunya. "Sedikit sekali dari kalangan mereka orang yang mau menghisab (menghitung) amal perbuatannya," ujar al-Qardhawi.
Sampai negara-negara yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga Parlemen dan lembaga pengawas pun tidak mampu untuk menyentuh (mengkritik) apa-apa yang berkaitan dengan kepala negara dan perangkat kekuasaannya.
Di sana ada lembaga-lembaga tertentu yang mempergunakan uang negara tanpa perhitungan dan tanpa persyaratan sehingga sepanjang waktu terus-menerus dipertanyakan oleh masyarakat seperti dinas penerangan, olahraga, lembaga-lembaga kemiliteran dan keamanan negara, serta lembaga-lembaga lain yang terkait erat dengan pelanggengan status quo penguasa.
Di saat yang sama terjadi pengiritan dan perampingan biaya yang berlebihan di dinas-dinas yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan pelayanan-pelayanan sosial masyarakat.
Al-Qardhawi mengatakan sesungguhnya hukum mengharuskan adanya keseimbangan dalam berbagai kepentingan. "Mendahulukan yang primer dari kepentingan sekunder, dan mendahulukan kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan pribadi, kelompok serta kepentingan fakir miskin dan orang-orang lemah atas kepentingan orang-orang besar yang kaya," ujarnya.
(mhy)