Syaikh Al-Utsaimin: Menetapkan Hukum Kafir Hanya Menjadi Hak Allah Ta'ala
loading...
A
A
A
Tepatkah penetapan hukum kafir kepada seorang pribadi tertentu dikarenakan syarat-syarat yang menuntut kekafirannya ada, sedangkan penghalangnya tidak ada?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya berjudul "Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid" mengatakan sebab, jahil --tidak mengerti, bodoh-- terhadap perkara yang bersifat mengkafirkan terjadi karena dua macam sebab:
Pertama, dari nonmuslim atau tidak beragama sama sekali, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ada agama yang menyelisihi agama yang selama ini dianutnya. Maka orang semacam ini, berlaku hukum secara dhahir di dunia (yakni kafir).
Adapun di akhirat , urusannya terserah kepada Allah SWT. Tetapi yang kuat, ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah. Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. "Tetapi kita mengetahui, bahwa seseorang tidak akan masuk neraka kecuali disebabkan oleh suatu dosa," ujar Al-Utsaimin. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun”. ( QS Al-Kahfi/18 :49).
Menurutnya, bisa dikatakan, hukumnya berlangsung secara dhahir baginya di dunia, yakni hukum kafir. Sebab ia tidak beragama Islam. Jadi tak mungkin ia dihukumi sebagai Islam.
Kemudian, mengapa kita katakan bahwa pendapat yang kuat, ia akan diuji di akhirat? Sebab, kata Al-Utsaimin, banyak atsar yang menerangkan tentang itu yang dibawakan oleh Imam Ibnu Al Qayyim dalam kitabnya Thariq Al Hijratain ketika beliau membahas mazhab ke-8 tentang bagaimana kedudukan anak-anaknya orang musyrik. Di bawah pembahasan tentang peringkat para mukallaf yang keempatbelas.
Kedua, dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia hidup dengan melakukan perkara yang bersifat mengkafirkan. Namun tidak terlintas dalam benaknya, bahwa tindakannya menyimpang dari Islam, dan tidak pula ada seseorang yang mengingatkannya. Maka, berlakulah hukum Islam secara dhahir baginya. Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah Ta’ala. "Itu dibuktikan dengan Al Qur’an, Sunah serta perkataan para ulama,” ujarnya.
Selanjutnya Syaikh Al-Utsaimin memaparkan dalil-dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, Sunnah dan perkataan Ulama, mulai dari Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah sampai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Seterusnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Jadi, pada asalnya orang yang menisbatkan diri sebagai Islam, tetap dalam keadaan Islam-nya, sampai terbukti secara jelas, bahwa Islam telah lenyap dari dirinya berdasarkan tuntutan dalil syar’i. Tidak boleh secara gegabah menyatakannya sebagai kafir. Sebab, di sana terdapat dua risiko berat yang harus dihadapi:
Pertama, membuat kebohongan atas nama Allah dalam kaitannya dengan penetapan hukum. Dan membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir dalam kaitannya dengan pembuatan julukan kafir terhadapnya.
Tentang bohong atas nama Allah, itu jelas, sebab ia menghukumi kafir terhadap seseorang yang tidak dikafirkan oleh Allah Ta’ala. Jadi, seperti orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Sebab menetapkan hukum kafir atau tidak, hanya menjadi hak Allah Ta’ala saja, seperti juga hak menetapkan hukum haram atau halal.
Tentang membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir, karena telah memberikan sifat kepada seorang muslim dengan sifat sebaliknya. Ia katakana, kafir. Padahal orang tersebut terlepas dari kekafiran.
Kedua, pantaslah jika penyebutan (anggapan) kafir itu membalik (kembali) kepada dirinya. Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda.
“Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat lain: jika benar tuduhannya…, kalau tidak, (maka) akan membalik kepada dirinya” (HR Muslim)
Itulah risiko besar kedua. Yakni kembalinya tuduhan itu kepada penuduh, jika saudaranya terbebas dari kekafiran. Ini merupakan risiko besar yang benar-benar dikhawatirkan akan mengenai orang seperti itu. Sebab pada umumnya, orang yang terburu-buru menyebut muslim sebagai kafir, kagum terhadap kegiatan amal dirinya dan meremehkan orang lain.
Dengan demikian, bergabunglah dalam dirinya rasa kagum terhadap amal dirinya yang justeru dapat menghanguskannya, dengan kesombongan yang akan mengakibatkan datangnya azab Allah Azza wa Jalla di neraka.
Hal ini sebagaimana telah diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
“Allah Azza wa Jalla berfirman,”Kesombongan adalah selendangKu dan keagungan adalah kainKu. Maka, barangsiapa yang ingin mengambil salah satunya dariKu, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka”.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya berjudul "Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid" mengatakan sebab, jahil --tidak mengerti, bodoh-- terhadap perkara yang bersifat mengkafirkan terjadi karena dua macam sebab:
Pertama, dari nonmuslim atau tidak beragama sama sekali, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ada agama yang menyelisihi agama yang selama ini dianutnya. Maka orang semacam ini, berlaku hukum secara dhahir di dunia (yakni kafir).
Adapun di akhirat , urusannya terserah kepada Allah SWT. Tetapi yang kuat, ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah. Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. "Tetapi kita mengetahui, bahwa seseorang tidak akan masuk neraka kecuali disebabkan oleh suatu dosa," ujar Al-Utsaimin. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَلاَيَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun”. ( QS Al-Kahfi/18 :49).
Menurutnya, bisa dikatakan, hukumnya berlangsung secara dhahir baginya di dunia, yakni hukum kafir. Sebab ia tidak beragama Islam. Jadi tak mungkin ia dihukumi sebagai Islam.
Kemudian, mengapa kita katakan bahwa pendapat yang kuat, ia akan diuji di akhirat? Sebab, kata Al-Utsaimin, banyak atsar yang menerangkan tentang itu yang dibawakan oleh Imam Ibnu Al Qayyim dalam kitabnya Thariq Al Hijratain ketika beliau membahas mazhab ke-8 tentang bagaimana kedudukan anak-anaknya orang musyrik. Di bawah pembahasan tentang peringkat para mukallaf yang keempatbelas.
Kedua, dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia hidup dengan melakukan perkara yang bersifat mengkafirkan. Namun tidak terlintas dalam benaknya, bahwa tindakannya menyimpang dari Islam, dan tidak pula ada seseorang yang mengingatkannya. Maka, berlakulah hukum Islam secara dhahir baginya. Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah Ta’ala. "Itu dibuktikan dengan Al Qur’an, Sunah serta perkataan para ulama,” ujarnya.
Selanjutnya Syaikh Al-Utsaimin memaparkan dalil-dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, Sunnah dan perkataan Ulama, mulai dari Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah sampai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Seterusnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Jadi, pada asalnya orang yang menisbatkan diri sebagai Islam, tetap dalam keadaan Islam-nya, sampai terbukti secara jelas, bahwa Islam telah lenyap dari dirinya berdasarkan tuntutan dalil syar’i. Tidak boleh secara gegabah menyatakannya sebagai kafir. Sebab, di sana terdapat dua risiko berat yang harus dihadapi:
Pertama, membuat kebohongan atas nama Allah dalam kaitannya dengan penetapan hukum. Dan membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir dalam kaitannya dengan pembuatan julukan kafir terhadapnya.
Tentang bohong atas nama Allah, itu jelas, sebab ia menghukumi kafir terhadap seseorang yang tidak dikafirkan oleh Allah Ta’ala. Jadi, seperti orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Sebab menetapkan hukum kafir atau tidak, hanya menjadi hak Allah Ta’ala saja, seperti juga hak menetapkan hukum haram atau halal.
Tentang membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir, karena telah memberikan sifat kepada seorang muslim dengan sifat sebaliknya. Ia katakana, kafir. Padahal orang tersebut terlepas dari kekafiran.
Kedua, pantaslah jika penyebutan (anggapan) kafir itu membalik (kembali) kepada dirinya. Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda.
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا –وفي رواية-: إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat lain: jika benar tuduhannya…, kalau tidak, (maka) akan membalik kepada dirinya” (HR Muslim)
Itulah risiko besar kedua. Yakni kembalinya tuduhan itu kepada penuduh, jika saudaranya terbebas dari kekafiran. Ini merupakan risiko besar yang benar-benar dikhawatirkan akan mengenai orang seperti itu. Sebab pada umumnya, orang yang terburu-buru menyebut muslim sebagai kafir, kagum terhadap kegiatan amal dirinya dan meremehkan orang lain.
Dengan demikian, bergabunglah dalam dirinya rasa kagum terhadap amal dirinya yang justeru dapat menghanguskannya, dengan kesombongan yang akan mengakibatkan datangnya azab Allah Azza wa Jalla di neraka.
Hal ini sebagaimana telah diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلََّ : الكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
“Allah Azza wa Jalla berfirman,”Kesombongan adalah selendangKu dan keagungan adalah kainKu. Maka, barangsiapa yang ingin mengambil salah satunya dariKu, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka”.
(mhy)