Penyebab Kesalahpahaman dalam Pemakaian Istilah Ana al-Haqq

Minggu, 09 Agustus 2020 - 09:48 WIB
loading...
Penyebab Kesalahpahaman dalam Pemakaian Istilah Ana al-Haqq
Ilustrasi Alhallaj. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
DIRI adalah suatu serapan personalitas manusia, yang digunakan untuk menangkap kesan-kesan dan mempergunakan kesan-kesan untuk pemuasan (jiwa), namun juga berarti kualitas individu yang batiniah dan hakiki. ( )

Menurut kapasitas ini, menurut Idries Shah dalam The Sufis yang diterjemahkan M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. menjadi Mahkota Sufi : Menembus Dunia Ekstra Dimensi, nama formanya berbeda sesuai dengan fungsinya. Manakala esensi itu menjalankan secara benar reorganisasi kehidupan emosional dan mencegah kebingungan, maka itulah yang dikenal sebagai "Diri yang Tentram" [an-Nafs al-Muthma'innah].



Dalam penerapan kesadaran, ketika ia sedang menyadari laki-laki atau perempuan sebagai materi yang berbeda, maka kesadaran itu disebut "Diri yang Cenderung". Namun dalam hal ini, ada persoalan yang sangat pelik karena, untuk tujuan penjelasan dan pengajaran, "Diri yang Hakiki" itu harus dinamai.

Kendati demikian, pembedaan cara kerjanya sesuai dengan penampilan dapat memberikan kesan bahwa ada sejumlah hal yang berbeda atau bahkan ada tingkat perkembangan yang berbeda. Adalah absah merepresentasikan proses itu sebagai tahap-tahap yang secara sadar disusun, tetapi paling jauh hanya sebagai perbedaan ilustratif Kesadaran Sufi yang diterapkan secara benar akan melihat berbagai tahap transmutasi hakikat itu dengan cara yang istimewa dan khas, yang secara memadai, tidak disalin dengan terminologi yang lazim.

Manakala hakikat itu diterapkan secara normal bagi orang yang terbelakang (secara mental), maka ia mengarahkan potensialitasnya pada mekanisme yang (hanya) memperturutkan kepuasan-kepuasan bersahaja, dan kesadaran ini dikenal sebagai "Diri yang Terpimpin".( )

Imam Al-Ghazali . menandaskan, "Keadaan-keadaan khusus itu mudah dipahami dan mengesankan bahwa setiap hal juga mudah dipahami. Akan tetapi ada situasi-situasi yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang meniliknya dengan suatu cara tertentu (yang istimewa). Ketidaktahuan pada (mekanisme) ini menimbulkan kesalahan-kesalahan umum yang menganggap segala hal sebagai sesuatu yang seragam."



Idries Shah, mengatakan seperti pada guru Sufi yang lain, al-Ghazali menyadari bahwa ia harus mengulang argumennya dengan cara-cara yang berbeda sebagaimana dituntut dalam teksnya. Hal ini hanya sebagian saja, karena metode Sufi mungkin membutuhkan pijakan yang sama untuk dibahas melalui sejumlah gagasan-gagasan lainnya, dan karena, seperti seringkali disaksikan dalam diskusi kelompok, orang mungkin (hanya) berlagak dalam mengungkapkan suatu gagasan penting yang belum dipahaminya.



Gagasan sebenarnya harus diolah sebagai kekuatan dinamis dalam pikiran murid. Bagaimana juga, karena ia terkondisi dan terlatih, murid akan menerima sebuah gagasan sebagai suatu yang terbiasa.

Hasil kegiatan ini akan tampak apabila ia merespon secara sadar ketika stimulus gagasan tertentu diterapkan kepadanya. Pengkondisian mana pun, ketika telah terjadi, harus dihentikan sebelum dampak pengalaman sang sufi dapat mewujudkan diri.



Kesalahpahaman dalam pemakaian istilah "Anak Tuhan" (yang disifatkan kepada Yesus) dan "Ana al-Haqq" (yang diungkapkan sang sufi al-Hallaj) sebenarnya disebabkan oleh persoalan tersebut. Upaya mengungkapkan keadaan-keadaan itu melalui bahasa tidaklah memadai, karena ungkapan tersebut menimbulkan kesalahpahaman.

Dalam Ihya' al-Ghazali menyatakan bahwa individu mengalami tahap-tahap perkembangan batin yang analog dengan manusia yang tumbuh dewasa.

Perkembangan bertahap ini menyebabkan penggunaan cara-cara yang berbeda dalam pengalamannya. Karena itu, seorang sufi tidak membutuhkan pengalaman fisik tertentu, sebab perkembangannya telah menyulih suatu kemampuan menjadi lebih logis, pengalaman yang lebih bermutu.



"Sebagai contoh, setiap tingkat kehidupan ditandai dengan suatu kesenangan yang baru. Anak-anak senang bermain dan tidak mempunyai konsepsi tentang perkawinan yang menyenangkan itu, yang akan mereka alami suatu saat. Selanjutnya orang dewasa, pada waktu mudanya, tidak akan mempunyai kemampuan (merasakan) kesenangan (memiliki) kekayaan dan kemasyhuran yang dialami kelompok usia setengah baya. Kemudian yang terakhir ini, mungkin menganggap kegembiraan terdahulu tidak lebih nyata daripada saat sekarang. Individu pada perkembangannya, tentu, akan menyadari ketaksempurnaan, ketidakpekaan atau kebiasaan sporadis masa remaja yang menyenangkan itu dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan apresiasi mereka yang baru."

Alternasi (pemakaian) berbagai kiasan itu, yang mencegahnya terkristalisasi menjadi semata-mata pengubahan mekanisme, merupakan prosedur umum dalam pokok pengajaran madzhab-madzhab Sufi.

Di dalam karya-karyanya, al-Ghazali kerapkali menyulih pengajarannya dengan pengertian lahir apabila mempunyai makna batin yang sama.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4991 seconds (0.1#10.140)