Kisah Zaid bin Amr, Sepupu Umar bin Khattab yang Berakidah Tauhid sebelum Masa Kenabian
loading...
A
A
A
Suatu ketika Umar bin Khattab tengah bercakap-cakap dengan koleganya di Pasar Ukaz. Kala itu, belum masa kenabian. Muhammad belum diutus menjadi nabi dan rasul . Samar-samar dilihatnya seorang penunggang kuda sedang memacu kudanya cepat-cepat.
Umar berteriak: "Demi Lat dan Uzza, sungguh kagum aku melihat kepandaiannya menunggang kuda itu!"
Seorang rekannya yang duduk di dekatnya, tersenyum. "Semoga Uzza mengampuni sepupumu Zaid bin Amr yang berkata dalam syairnya:
Tak ada Uzza maupun kedua putrinya yang kupercayai
Tak ada berhala-berhala Bani Tasm yang kuikuti
Adakah satu Tuhan yang kuanut ataukah seribu tuhan
Apabila masalahnya sudah terpilah-pilah?"
Mendengar itu wajah Umar berubah jadi masam, merengut. "Celaka dia!" katanya. "Dia sudah ingkar. Uzza tidak akan mengampuninya!”
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Umar bin Khattab" menjelaskan Zaid bin Amr adalah saudara sepupu Umar Bin Khattab atau keponakan Khattab, ayah Umar. Nasab beliau adalah Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay.
Sedangkan Khattab bin Nufail pamannya dan sekaligus saudaranya dari pihak ibu, sebab perkawinan Nufail dengan Jaida' yang kemudian melahirkan Khattab.
Setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida'. Pernikahan demikian biasa dilakukan di zaman jahiliah.
Dari perkawinan Amr dengan Jaida' ini lahirlah Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan. Usia keduanya berdekatan.
Zaid bin ‘Amr hidup di zaman sebelum kenabian Muhammad. Tapi telah meninggalkan penyembahan berhala dan hanya memakan sesuatu yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Ia pengikut ajaran Nabi Ibrahim.
Sesudah Zaid meninggalkan penyembahan berhala dan tidak mau memakan makanan kurban untuk berhala itu, kepada masyarakatnya ia berkata: "Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan hasil bumi, menciptakan unta supaya kamu urus, lalu kamu sembelih untuk yang selain Allah? Selain aku, aku tidak tahu di muka bumi ini adakah orang yang berpegang pada agama Ibrahim?!"
Kemudian ia membacakan syair yang mengajak orang membuang cara peribadatan demikian itu.
Dalam hal ini banyak syair yang dikutip oleh penulis al-Agani (Abul-Faraj al-Asfahani) dihubungkan kepada Zaid bin Amr. Juga oleh Ibn Hisyam dalam as-Sirah dan yang lain. Dua bait sajaknya di antara sekian banyak sajaknya itu, yakni:
Kuserahkan diriku ke tempat awan menyerahkan dirinya
Yang membawa air sejuk dan lezat
Kuserahkan diriku ke tempat bumi menyerahkan diri
Yang membawa batu-batuan yang berat-berat
Diratakan dan ditancapkan gunung-gunung di alasnya
Asma’ binti Abu Bakar pernah berkata, “Aku melihat Zaid bin Amr menyandarkan punggungnya di Kakbah dan berkata, ‘wahai kaum Quraisy, demi jiwa Zaid yang berada di genggaman-Nya, tidak ada seorang pun di antara kalian yang sesuai dengan agama Ibrahim selain aku.’
Kemudian ia berdoa, ‘Ya Allah, seandainya aku mengetahui cara beribadah yang paling Engkau cintai niscaya aku akan menyembah-Mu dengannya, akan tetapi aku tidak mengetahuinya.’ Kemudian ia bersujud di atas kendaraannya.”
Pada riwayat lain ditambahkan bahwa Zaid salat menghadap kakbah dan berkata, “Tuhanku adalah Tuhan Ibrahim, agamaku adalah agama Ibrahim.”
Di saat bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang doyan membunuh bayi perempuan, Zaid bin Amr merupakan seorang yang membiarkan bayi perempuannya tetap hidup. Dan apabila ada orang yang ingin membunuh bayi perempuannya, maka ia berkata kepadanya:
“Janganlah engkau bunuh ia, berikan saja kepadaku, aku akan mengasuhnya.” Dan apabila anak perempuan tersebut telah dewasa, maka ia berkata kepada orangtuanya, “Kalau engkau mau, ambillah ia. Dan apabila engkau mau, biarkan dia.”
Dikisahkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa sekelompok kaum Quraisy yang terdiri dari Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Utsman bin Khuwairits, dan Abdullah bin Jahsy menemui kaum Quraisy di saat perayaan penyembahan berhala.
Setelah semuanya berkumpul, keempat orang tersebut menyendiri dan berkata, “Salinglah percaya dan hendaknya satu sama lain saling menyembunyikan rahasia.”
Salah seorang di antara mereka berkata, “Sungguh kalian benar-benar telah mengetahui, demi Allah tidaklah kaum kalian itu mendapatkan sesuatu apapun. Mereka telah menyalahi agama Ibrahim dan menyeleweng darinya. Tidak mungkin berhala itu disembah, padahal ia tidak bisa memberikan bahaya ataupun manfaat. Maka carilah agama yang paling benar menurut kalian!”
Maka segeralah mereka keluar dari Makkah, berpencar di penjuru bumi, mendalami agama Yahudi dan Nasrani serta seluruh agama lainnya untuk mencari agama Ibrahim yang lurus.
Adapun Waraqah bin Naufal, ia masuk agama Nasrani dan mendalaminya, meneliti kitab-kitab mereka, sehingga ia mendapatkan pengetahuan yang luas dari Ahlul Kitab.
Dan tidaklah dari keempat orang tersebut yang paling baik keadaannya selain Zaid bin Amr. Ia meninggalkan penyembahan berhala dan seluruh agama baik itu Yahudi, Nasrani maupun agama-agama lainnya dan hanya beragama sesuai agama Ibrahim.
Ia mengesakan Allah dan mencampakkan selain-Nya. Dan ia tidak memakan hewan-hewan sembelihan kaumnya. Ia menampakkan secara terang-terangan kepada kaumnya atas keengganannya untuk mengikuti apa yang mereka lakukan.
Karena keyakinannya itu, Khattab memusuhi Zaid. Didorong pula oleh masyarakat Quraisy yang akhirnya mengeluarkannya dari Makkah dan tidak diperbolehkan memasuki Makkah lagi.
Lantaran sering mendapat siksaan dari Khattab, Zaid keluar dari Makkah. Khattab menugaskan beberapa pemuda Quraisy untuk menjaganya dan tidak membiarkannya kembali ke Makkah. Zaid bin Amr tidak pernah masuk ke Makkah kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi.
Dari Ibn Ishaq, Zaid bin Amr telah berketetapan untuk keluar dari Makkah, mengembara untuk mencari Agama Ibrahim. Istrinya, Shafiyyah, setiap kali melihat Zaid bangkit dan ingin keluar, ia akan menyeru kepada Khattab untuk memberitahunya. Maka keluarlah Zaid menuju Syam, mencari agama Ibrahim.
Begitulah seterusnya hingga ia mendatangi Mosul dan Jazirah Arab seluruhnya. Kemudian ia kembali ke Syam dan menetap di sana. Hingga datanglah seorang Rahib dari Negeri Balqa. Seluruh ilmu yang berkenaan dengan Nasrani terkumpul padanya.
Sang Rahib berkata pada Zaid, “Sesungguhnya engkau bertanya tentang agama yang engkau tidak akan mendapati seorangpun dapat membawamu kepadanya pada saat ini. Telah meninggal orang yang mengetahuinya, akan tetapi engkau dinaungi zaman munculnya seorang nabi, dan inilah zamannya.”
Diriwayatkan dari ‘Amir bin Rabi’ah, berkata, “Aku mendengar Zaid bin Amr berkata, ‘Aku menunggu seorang nabi dari keturunan Ismail, tepatnya dari Bani Muthalib. Dan aku merasa aku tidak akan dapat bertemu dengannya. Aku beriman dan mempercayainya dan aku bersaksi bahwa ia adalah seorang nabi. Bila umurmu panjang dan engkau dapat berjumpa dengannya, maka sampaikan salamku kepadanya, dan aku akan memberitahumu tentang sifat-sifatnya, sehingga tidak meragukan bagimu.’ Aku pun menyilakannya.
Zaid menjelaskan bahwa, ‘ia orang yang tidak tinggi tidak pula pendek, rambutnya tidak lebat tidak pula tipis, warna merah tidak pernah terpisah dari matanya, tanda kenabian terletak antara kedua pundaknya, namanya adalah Ahmad, negeri ini (Makkah) adalah tempat kelahirannya dan tempat ia diutus menjadi nabi, kemudian kaumnya mengusirnya dan menentang agama yang ia bawa, hingga ia berhijrah menuju Yatsrib (sekarang Madinah) dan berkembanglah agamanya.
Maka berhati-hatilah engkau, jangan sampai engkau terpedaya hingga tak mengikuti ajarannya. Sesungguhnya aku telah mengelilingi seluruh negeri untuk mencari agama Ibrahim, dan setiap orang yang aku tanyai dari kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi berkata bahwa agama itu ada di belakangku. Dan mereka mengemukakan sifat-sifatnya sebagaimana yang aku jelaskan kepadamu. Dan mereka juga berkata tidak ada lagi nabi selainnya.’”
‘Amir bin Rabi’ah berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memberitahu Rasulullah tentang perkataan Zaid bin Amr dan menyampaikan salam darinya, maka Rasulullah menjawab salam tersebut dan mendoakan semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepadanya.”
Dari Aisyah meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Aku masuk surga dan melihat dua tenda besar milik Zaid bin Amr.”
Keadaan Zaid disebutkan dalam sebuah hadits yang juga menyebutkan tempat kembali Waraqah bin Naufal, Khadijah binti Khuwailid, dan Abu Thalib.
Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Waraqah bin Naufal. Maka beliau bersabda, “Sungguh aku telah melihatnya. Aku melihatnya mengenakan pakaian putih; dia berada di antara dua bagian dalam surga dan dia memakai kain sutra tipis.”
Beliau ditanya tentang Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Maka beliau bersabda, “Dia dibangkitkan pada hari kiamat sebagai umat seorang diri.”
Beliau ditanya tentang Abu Thalib . Maka beliau bersabda, “Aku mengeluarkannya dari kesengsaraan Jahannam menuju bagian yang lebih ringan darinya.”
Beliau ditanya tentang Khadijah , sebab dia meninggal sebelum turun ayat tentang hukum-hukum dan kewajiban dalam Alquran dan dijadikan sumber keputusan. Maka beliau bersabda, “Aku melihatnya berada di sungai di surga, di sebuah rumah yang terbuat dari benang emas dan perak. Tak ada hiruk-pikuk di sana, tidak pula keletihan.” (Hadits hasan; lihat Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah, 1:94)
Sebuah syair menjadi curahan jiwa Zaid bin ‘Amr bin Nufail:
Apakah Rabb yang Esa ataukah seribu tuhan
Yang ‘kan kusembah ketika engkau membagi-bagi jatah?
Kutinggalkan Lata dan ‘Uzza seluruhnya
Demikianlah yang dilakukan si orang yang amat sabar
Maka bukanlah ‘Uzza yang kusembah, tidak juga kedua putrinya
Tak pula dua berhala Bani ‘Amr yang ‘kan kuziarahi
Bukan pula Ghanam yang ‘kan kusembah padahal dia adalah rabb kita saat ini,
Karena akalku masih waras
Aku heran
Pada malam-malam terdapat perkara yang mengagumkan
Begitu pula siang hari,
Orang yang berakal pasti tahu
Bahwa sungguh Allah benar-benar membinasakan banyak orang
Itulah nasib manusia fajir
Dan tersisalah golongan lain, yaitu para pelaku kebajikan
Anak kecil tumbuh sehat
Seseorang yang pingsan dan sadar kembali,
Suatu hari ia menjelaskan kepada kita
Sebagaimana tingginya ranting pohon yang subur
Akan tetapi aku menyembah Ar-Rahman Rabb-ku
Agar Rabb-ku yang Maha Pengampun berkenan mengampuni dosaku
Maka takwa kepada Allah Rabb kalian,
Jagalah ketakwaan itu
Bilamana kalian menjaganya, kalian tak ‘kan binasa
Engkau melihat orang-orang yang berbuat kebajikan
Negeri mereka adalah taman-taman surga
Dan bagi orang-orang kafir tungku api yang menyala
Serta kehinaan hidup,
Adapun bila mereka mati,
Mereka berjumpa dengan sesuatu yang menyempitkan dada.
(Lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, 1:162.
Umar berteriak: "Demi Lat dan Uzza, sungguh kagum aku melihat kepandaiannya menunggang kuda itu!"
Seorang rekannya yang duduk di dekatnya, tersenyum. "Semoga Uzza mengampuni sepupumu Zaid bin Amr yang berkata dalam syairnya:
Tak ada Uzza maupun kedua putrinya yang kupercayai
Tak ada berhala-berhala Bani Tasm yang kuikuti
Adakah satu Tuhan yang kuanut ataukah seribu tuhan
Apabila masalahnya sudah terpilah-pilah?"
Mendengar itu wajah Umar berubah jadi masam, merengut. "Celaka dia!" katanya. "Dia sudah ingkar. Uzza tidak akan mengampuninya!”
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Umar bin Khattab" menjelaskan Zaid bin Amr adalah saudara sepupu Umar Bin Khattab atau keponakan Khattab, ayah Umar. Nasab beliau adalah Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay.
Sedangkan Khattab bin Nufail pamannya dan sekaligus saudaranya dari pihak ibu, sebab perkawinan Nufail dengan Jaida' yang kemudian melahirkan Khattab.
Setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida'. Pernikahan demikian biasa dilakukan di zaman jahiliah.
Dari perkawinan Amr dengan Jaida' ini lahirlah Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan. Usia keduanya berdekatan.
Zaid bin ‘Amr hidup di zaman sebelum kenabian Muhammad. Tapi telah meninggalkan penyembahan berhala dan hanya memakan sesuatu yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Ia pengikut ajaran Nabi Ibrahim.
Sesudah Zaid meninggalkan penyembahan berhala dan tidak mau memakan makanan kurban untuk berhala itu, kepada masyarakatnya ia berkata: "Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan hasil bumi, menciptakan unta supaya kamu urus, lalu kamu sembelih untuk yang selain Allah? Selain aku, aku tidak tahu di muka bumi ini adakah orang yang berpegang pada agama Ibrahim?!"
Kemudian ia membacakan syair yang mengajak orang membuang cara peribadatan demikian itu.
Dalam hal ini banyak syair yang dikutip oleh penulis al-Agani (Abul-Faraj al-Asfahani) dihubungkan kepada Zaid bin Amr. Juga oleh Ibn Hisyam dalam as-Sirah dan yang lain. Dua bait sajaknya di antara sekian banyak sajaknya itu, yakni:
Kuserahkan diriku ke tempat awan menyerahkan dirinya
Yang membawa air sejuk dan lezat
Kuserahkan diriku ke tempat bumi menyerahkan diri
Yang membawa batu-batuan yang berat-berat
Diratakan dan ditancapkan gunung-gunung di alasnya
Asma’ binti Abu Bakar pernah berkata, “Aku melihat Zaid bin Amr menyandarkan punggungnya di Kakbah dan berkata, ‘wahai kaum Quraisy, demi jiwa Zaid yang berada di genggaman-Nya, tidak ada seorang pun di antara kalian yang sesuai dengan agama Ibrahim selain aku.’
Kemudian ia berdoa, ‘Ya Allah, seandainya aku mengetahui cara beribadah yang paling Engkau cintai niscaya aku akan menyembah-Mu dengannya, akan tetapi aku tidak mengetahuinya.’ Kemudian ia bersujud di atas kendaraannya.”
Pada riwayat lain ditambahkan bahwa Zaid salat menghadap kakbah dan berkata, “Tuhanku adalah Tuhan Ibrahim, agamaku adalah agama Ibrahim.”
Di saat bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang doyan membunuh bayi perempuan, Zaid bin Amr merupakan seorang yang membiarkan bayi perempuannya tetap hidup. Dan apabila ada orang yang ingin membunuh bayi perempuannya, maka ia berkata kepadanya:
“Janganlah engkau bunuh ia, berikan saja kepadaku, aku akan mengasuhnya.” Dan apabila anak perempuan tersebut telah dewasa, maka ia berkata kepada orangtuanya, “Kalau engkau mau, ambillah ia. Dan apabila engkau mau, biarkan dia.”
Dikisahkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa sekelompok kaum Quraisy yang terdiri dari Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Utsman bin Khuwairits, dan Abdullah bin Jahsy menemui kaum Quraisy di saat perayaan penyembahan berhala.
Setelah semuanya berkumpul, keempat orang tersebut menyendiri dan berkata, “Salinglah percaya dan hendaknya satu sama lain saling menyembunyikan rahasia.”
Salah seorang di antara mereka berkata, “Sungguh kalian benar-benar telah mengetahui, demi Allah tidaklah kaum kalian itu mendapatkan sesuatu apapun. Mereka telah menyalahi agama Ibrahim dan menyeleweng darinya. Tidak mungkin berhala itu disembah, padahal ia tidak bisa memberikan bahaya ataupun manfaat. Maka carilah agama yang paling benar menurut kalian!”
Maka segeralah mereka keluar dari Makkah, berpencar di penjuru bumi, mendalami agama Yahudi dan Nasrani serta seluruh agama lainnya untuk mencari agama Ibrahim yang lurus.
Adapun Waraqah bin Naufal, ia masuk agama Nasrani dan mendalaminya, meneliti kitab-kitab mereka, sehingga ia mendapatkan pengetahuan yang luas dari Ahlul Kitab.
Dan tidaklah dari keempat orang tersebut yang paling baik keadaannya selain Zaid bin Amr. Ia meninggalkan penyembahan berhala dan seluruh agama baik itu Yahudi, Nasrani maupun agama-agama lainnya dan hanya beragama sesuai agama Ibrahim.
Ia mengesakan Allah dan mencampakkan selain-Nya. Dan ia tidak memakan hewan-hewan sembelihan kaumnya. Ia menampakkan secara terang-terangan kepada kaumnya atas keengganannya untuk mengikuti apa yang mereka lakukan.
Karena keyakinannya itu, Khattab memusuhi Zaid. Didorong pula oleh masyarakat Quraisy yang akhirnya mengeluarkannya dari Makkah dan tidak diperbolehkan memasuki Makkah lagi.
Lantaran sering mendapat siksaan dari Khattab, Zaid keluar dari Makkah. Khattab menugaskan beberapa pemuda Quraisy untuk menjaganya dan tidak membiarkannya kembali ke Makkah. Zaid bin Amr tidak pernah masuk ke Makkah kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi.
Dari Ibn Ishaq, Zaid bin Amr telah berketetapan untuk keluar dari Makkah, mengembara untuk mencari Agama Ibrahim. Istrinya, Shafiyyah, setiap kali melihat Zaid bangkit dan ingin keluar, ia akan menyeru kepada Khattab untuk memberitahunya. Maka keluarlah Zaid menuju Syam, mencari agama Ibrahim.
Begitulah seterusnya hingga ia mendatangi Mosul dan Jazirah Arab seluruhnya. Kemudian ia kembali ke Syam dan menetap di sana. Hingga datanglah seorang Rahib dari Negeri Balqa. Seluruh ilmu yang berkenaan dengan Nasrani terkumpul padanya.
Sang Rahib berkata pada Zaid, “Sesungguhnya engkau bertanya tentang agama yang engkau tidak akan mendapati seorangpun dapat membawamu kepadanya pada saat ini. Telah meninggal orang yang mengetahuinya, akan tetapi engkau dinaungi zaman munculnya seorang nabi, dan inilah zamannya.”
Diriwayatkan dari ‘Amir bin Rabi’ah, berkata, “Aku mendengar Zaid bin Amr berkata, ‘Aku menunggu seorang nabi dari keturunan Ismail, tepatnya dari Bani Muthalib. Dan aku merasa aku tidak akan dapat bertemu dengannya. Aku beriman dan mempercayainya dan aku bersaksi bahwa ia adalah seorang nabi. Bila umurmu panjang dan engkau dapat berjumpa dengannya, maka sampaikan salamku kepadanya, dan aku akan memberitahumu tentang sifat-sifatnya, sehingga tidak meragukan bagimu.’ Aku pun menyilakannya.
Zaid menjelaskan bahwa, ‘ia orang yang tidak tinggi tidak pula pendek, rambutnya tidak lebat tidak pula tipis, warna merah tidak pernah terpisah dari matanya, tanda kenabian terletak antara kedua pundaknya, namanya adalah Ahmad, negeri ini (Makkah) adalah tempat kelahirannya dan tempat ia diutus menjadi nabi, kemudian kaumnya mengusirnya dan menentang agama yang ia bawa, hingga ia berhijrah menuju Yatsrib (sekarang Madinah) dan berkembanglah agamanya.
Maka berhati-hatilah engkau, jangan sampai engkau terpedaya hingga tak mengikuti ajarannya. Sesungguhnya aku telah mengelilingi seluruh negeri untuk mencari agama Ibrahim, dan setiap orang yang aku tanyai dari kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi berkata bahwa agama itu ada di belakangku. Dan mereka mengemukakan sifat-sifatnya sebagaimana yang aku jelaskan kepadamu. Dan mereka juga berkata tidak ada lagi nabi selainnya.’”
‘Amir bin Rabi’ah berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memberitahu Rasulullah tentang perkataan Zaid bin Amr dan menyampaikan salam darinya, maka Rasulullah menjawab salam tersebut dan mendoakan semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepadanya.”
Dari Aisyah meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Aku masuk surga dan melihat dua tenda besar milik Zaid bin Amr.”
Keadaan Zaid disebutkan dalam sebuah hadits yang juga menyebutkan tempat kembali Waraqah bin Naufal, Khadijah binti Khuwailid, dan Abu Thalib.
Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Waraqah bin Naufal. Maka beliau bersabda, “Sungguh aku telah melihatnya. Aku melihatnya mengenakan pakaian putih; dia berada di antara dua bagian dalam surga dan dia memakai kain sutra tipis.”
Beliau ditanya tentang Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Maka beliau bersabda, “Dia dibangkitkan pada hari kiamat sebagai umat seorang diri.”
Beliau ditanya tentang Abu Thalib . Maka beliau bersabda, “Aku mengeluarkannya dari kesengsaraan Jahannam menuju bagian yang lebih ringan darinya.”
Beliau ditanya tentang Khadijah , sebab dia meninggal sebelum turun ayat tentang hukum-hukum dan kewajiban dalam Alquran dan dijadikan sumber keputusan. Maka beliau bersabda, “Aku melihatnya berada di sungai di surga, di sebuah rumah yang terbuat dari benang emas dan perak. Tak ada hiruk-pikuk di sana, tidak pula keletihan.” (Hadits hasan; lihat Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah, 1:94)
Sebuah syair menjadi curahan jiwa Zaid bin ‘Amr bin Nufail:
Apakah Rabb yang Esa ataukah seribu tuhan
Yang ‘kan kusembah ketika engkau membagi-bagi jatah?
Kutinggalkan Lata dan ‘Uzza seluruhnya
Demikianlah yang dilakukan si orang yang amat sabar
Maka bukanlah ‘Uzza yang kusembah, tidak juga kedua putrinya
Tak pula dua berhala Bani ‘Amr yang ‘kan kuziarahi
Bukan pula Ghanam yang ‘kan kusembah padahal dia adalah rabb kita saat ini,
Karena akalku masih waras
Aku heran
Pada malam-malam terdapat perkara yang mengagumkan
Begitu pula siang hari,
Orang yang berakal pasti tahu
Bahwa sungguh Allah benar-benar membinasakan banyak orang
Itulah nasib manusia fajir
Dan tersisalah golongan lain, yaitu para pelaku kebajikan
Anak kecil tumbuh sehat
Seseorang yang pingsan dan sadar kembali,
Suatu hari ia menjelaskan kepada kita
Sebagaimana tingginya ranting pohon yang subur
Akan tetapi aku menyembah Ar-Rahman Rabb-ku
Agar Rabb-ku yang Maha Pengampun berkenan mengampuni dosaku
Maka takwa kepada Allah Rabb kalian,
Jagalah ketakwaan itu
Bilamana kalian menjaganya, kalian tak ‘kan binasa
Engkau melihat orang-orang yang berbuat kebajikan
Negeri mereka adalah taman-taman surga
Dan bagi orang-orang kafir tungku api yang menyala
Serta kehinaan hidup,
Adapun bila mereka mati,
Mereka berjumpa dengan sesuatu yang menyempitkan dada.
(Lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, 1:162.
(mhy)