Begini Pengaruh Positif setelah Persia dan Romawi Ditaklukkan Kaum Muslim
loading...
A
A
A
Muhammad Husain Haekal menyebut kemenangan Muslimin, di era Khalifah Umar bin Khattab , menghadapi dua singa raksasa - Persia dan Romawi - salah satunya memberi pengaruh yang positif di negeri-negeri yang dikalahkan itu.
Menurutnya, ketika itu maraknya intrik-intrik di dalam istana menjadi penyebab utama ketidakstabilan dan kekacauan serta buruknya pemerintahan di Persia, dan penindasan agama menjadi penyebab utama buruknya pemerintahan Romawi di Syam dan Mesir .
"Setelah pasukan Muslimin dapat mengalahkan Irak dan Persia, tak ada lagi intrik-intrik dalam istana itu," ujar Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Umar bin Khattab" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Dengan demikian setiap amir (emir) disibukkan oleh emiratnya (wilayahnya) masing-masing. Mereka berusaha memperbaiki kebijakannya agar tidak mendapat teguran dan kemarahan wakil-wakil Muslimin dan Amirulmukminin.
Pihak Irak dan Persia merasakan unggulnya pihak Muslimin dari mereka justru karena keadilan pemerintahannya. Dengan nalurinya mereka sadar bahwa kalau mereka tidak memperlihatkan itikad baik kepada pihak Muslimin, rasa hina karena kekalahan mereka itu tak akan ada akhirnya, malah di mata pihak pemenang nasib mereka akan lebih buruk lagi, dan hanya akan menjadi ejekan dan hinaan.
Oleh karena itu, kata Haekal, mereka mulai memperlihatkan peninggalan bangsa mereka yang terbaik, juga sifat-sifat terbaik bangsa dalam ilmu, kesenian dan kerajinan, yang mereka warisi dari nenek moyang. "Dalam hal ini semua mereka memang sudah cukup kaya dan berpengaruh, yang dalam kenyataan memang tak dapat dikejar oleh orang Arab," tutur Haekal.
Begitu juga yang dilakukan pihak Syam dan Mesir. Sesudah kedatangan Muslimin membebaskan negeri mereka, tak ada lagi penindasan agama, dan dengan demikian kebencian dan kemarahan mereka pun berangsur reda, yang sedianya timbul karena buruknya pemerintahan dan kekacauan yang selalu terjadi di antara sesama mereka.
Mereka juga mulai memperlihatkan sifat-sifat terbaik dalam perdagangan, pertanian, kerajinan, ilmu dan seni yang mereka warisi dari nenek moyang.
Kemampuan mereka yang asli yang diberikan alam kepada mereka mulai tampak, mereka pun makin aktif dan kreatif dengan menghasilkan berbagai produk dan karya yang terbaik.
Semua ini dilaksanakan seperti sedang berlomba untuk mencapai yang terbaik dan terhormat. Setiap golongan itu menggantungkan diri pada bakat masing-masing yang paling prima untuk mendapatkan penghargaan bangsa-bangsa yang sudah sama-sama tergabung dalam satu kesatuan Kedaulatan itu.
"Wajar sekali bahwa perlombaan yang berlangsung dalam bidang ini justru untuk keagungan bersama, yakni keagungan dan kehormatan Kedaulatan Islam di mata dunia," ujar Haekal.
Para pemimpin kaum Muslimin itu memuji kegiatan mereka yang begitu besar di seluruh kawasan Kedaulatan. Mereka melihatnya dengan perasaan senang, dengan mengharapkan agar kegiatan demikian itu lebih besar lagi.
Prinsip-prinsip egaliter: kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang sudah ditanamkan Islam, mendekatkan kedua unsur itu terus-menerus dalam kegiatan ini - lepas dari perbedaan-perbedaan ras, bahasa dan keyakinan mereka.
Masuknya sejumlah bangsa-bangsa yang di bawah panji Imperium Islam tumbuh ke dalam agama yang baru ini makin saling mempererat hubungan mereka, sehingga bangsa-bangsa itu hampir melebur ke dalam satu kesatuan yang harmonis, masing-masing berusaha untuk mencapai tujuan bersama, yakni demi kebesaran semua dan demi kebesaran setiap wilayahnya.
Menurutnya, ketika itu maraknya intrik-intrik di dalam istana menjadi penyebab utama ketidakstabilan dan kekacauan serta buruknya pemerintahan di Persia, dan penindasan agama menjadi penyebab utama buruknya pemerintahan Romawi di Syam dan Mesir .
"Setelah pasukan Muslimin dapat mengalahkan Irak dan Persia, tak ada lagi intrik-intrik dalam istana itu," ujar Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Umar bin Khattab" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Dengan demikian setiap amir (emir) disibukkan oleh emiratnya (wilayahnya) masing-masing. Mereka berusaha memperbaiki kebijakannya agar tidak mendapat teguran dan kemarahan wakil-wakil Muslimin dan Amirulmukminin.
Pihak Irak dan Persia merasakan unggulnya pihak Muslimin dari mereka justru karena keadilan pemerintahannya. Dengan nalurinya mereka sadar bahwa kalau mereka tidak memperlihatkan itikad baik kepada pihak Muslimin, rasa hina karena kekalahan mereka itu tak akan ada akhirnya, malah di mata pihak pemenang nasib mereka akan lebih buruk lagi, dan hanya akan menjadi ejekan dan hinaan.
Oleh karena itu, kata Haekal, mereka mulai memperlihatkan peninggalan bangsa mereka yang terbaik, juga sifat-sifat terbaik bangsa dalam ilmu, kesenian dan kerajinan, yang mereka warisi dari nenek moyang. "Dalam hal ini semua mereka memang sudah cukup kaya dan berpengaruh, yang dalam kenyataan memang tak dapat dikejar oleh orang Arab," tutur Haekal.
Begitu juga yang dilakukan pihak Syam dan Mesir. Sesudah kedatangan Muslimin membebaskan negeri mereka, tak ada lagi penindasan agama, dan dengan demikian kebencian dan kemarahan mereka pun berangsur reda, yang sedianya timbul karena buruknya pemerintahan dan kekacauan yang selalu terjadi di antara sesama mereka.
Mereka juga mulai memperlihatkan sifat-sifat terbaik dalam perdagangan, pertanian, kerajinan, ilmu dan seni yang mereka warisi dari nenek moyang.
Kemampuan mereka yang asli yang diberikan alam kepada mereka mulai tampak, mereka pun makin aktif dan kreatif dengan menghasilkan berbagai produk dan karya yang terbaik.
Semua ini dilaksanakan seperti sedang berlomba untuk mencapai yang terbaik dan terhormat. Setiap golongan itu menggantungkan diri pada bakat masing-masing yang paling prima untuk mendapatkan penghargaan bangsa-bangsa yang sudah sama-sama tergabung dalam satu kesatuan Kedaulatan itu.
"Wajar sekali bahwa perlombaan yang berlangsung dalam bidang ini justru untuk keagungan bersama, yakni keagungan dan kehormatan Kedaulatan Islam di mata dunia," ujar Haekal.
Para pemimpin kaum Muslimin itu memuji kegiatan mereka yang begitu besar di seluruh kawasan Kedaulatan. Mereka melihatnya dengan perasaan senang, dengan mengharapkan agar kegiatan demikian itu lebih besar lagi.
Prinsip-prinsip egaliter: kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang sudah ditanamkan Islam, mendekatkan kedua unsur itu terus-menerus dalam kegiatan ini - lepas dari perbedaan-perbedaan ras, bahasa dan keyakinan mereka.
Masuknya sejumlah bangsa-bangsa yang di bawah panji Imperium Islam tumbuh ke dalam agama yang baru ini makin saling mempererat hubungan mereka, sehingga bangsa-bangsa itu hampir melebur ke dalam satu kesatuan yang harmonis, masing-masing berusaha untuk mencapai tujuan bersama, yakni demi kebesaran semua dan demi kebesaran setiap wilayahnya.
(mhy)