Beberapa Aspek Hukum Berkaitan dengan Puasa: Bagi Orang yang Sedang Musafir

Rabu, 13 Maret 2024 - 05:15 WIB
loading...
Beberapa Aspek Hukum Berkaitan dengan Puasa: Bagi Orang yang Sedang Musafir
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Ilustrasi: Ist
A A A
Muhammad Quraish Shihab menyebut tentang beberapa aspek hukum berkaitan dengan puasa , salah satunya adalah ayat dalam Al-Quran yang berbunyi: "Aw'ala safarin" yang artinya atau dalam perjalanan.

Menurut Quraish, ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir . "Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".

Secara umum, katanya, dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).



Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan.

Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar salat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.

Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak salat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya?

"Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak salatnya," ujar Quraish.



Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah SWT?

Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan Imam Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama.

Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."

Quraish mengataan memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah.

Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1406 seconds (0.1#10.140)