Lebih Percaya Mana? Mullah Nashruddin, Apa Keledai?
loading...
A
A
A
SUATU hari Nashruddin memasuki sebuah warung teh dan berseru, "Bulan lebih berguna dari matahari!"
Seseorang bertanya, "Mengapa bisa demikian?"
"Sebab di malam hari kita lebih membutuhkan cahaya."
Penaklukan cahaya nafsu amarah yang merupakan tujuan dari perjuangan sufi tidak dicapai semata-mata melalui pengendalian terhadap keinginan (syahwat) seseorang.
Idries Shah dalam The Sufi menjelaskan cara ini dipandang sebagai penjinakan terhadap kesadaran liar yang meyakini bahwa ia bisa mengambil apa yang ia butuhkan dari segala sesuatu (termasuk mistisisme) dan membelokkannya bagi penggunaannya sendiri.
Kecenderungan untuk memanfaatkan bahan-bahan dari sumber apa pun bagi keuntungan pribadi sangatlah bisa dipahami dalam dunia yang "utuh" secara parsial dari kehidupan biasa, tetapi tidak bisa dibawa ke dalam dunia yang lebih besar dari pemenuhan sejati.
Dalam cerita tentang burung yang mencuri, Nashruddin (dikisahkan) membawa sepotong hati dan resep untuk (kue) pie hati. Tiba-tiba seekor burung pemangsa meluncur turun dan mencomot (daging) hati tersebut dari tangannya. Ketika burung tersebut terbang menjauh, Nashruddin mengejarnya sambil berteriak, "Burung bodoh! Engkau mungkin mengambil hati tersebut, tetapi apa yang akan kau lakukan tanpa resepnya?"
Tentu saja dari sudut pandang burung itu, hati tersebut cukup memadai bagi keperluannya. Hasilnya mungkin seekor burung yang kenyang, tetapi ia hanya memperoleh apa yang ia pikirkan dan inginkan, bukan apa yang seharusnya bisa didapat.
Karena Sufi tidak selalu dipahami oleh orang lain, mereka akan berusaha membuatnya menyesuaikan diri dengan gagasan mereka tentang apa yang dipandang benar.
Dalam cerita Nashruddin tentang burung yang lain (yang juga muncul pada karya agung puitik Rumi, Matsnawi), Nashruddin menemukan seekor elang raja bertengger di jeruji jendela rumahnya. Ia tidak pernah melihat seekor "merpati" yang aneh seperti ini. Setelah memotong lurus paruhnya dan memangkas cakar-cakarnya, ia melepaskannya seraya berkata, "Sekarang kau lebih tampak seperti burung. Seseorang telah mengabaikan dirimu."
Pembagian kehidupan secara artifisial, pemikiran dan tindakan, tidak memiliki tempat dalam sufisme. Nashruddin menanamkan pandangan ini sebagai prasyarat untuk memahami kehidupan sebagai keseluruhan. "Gula yang larut dalam susu akan menyebar ke seluruh susu tersebut."
Nashruddin tengah berjalan melewati jalan berdebu dengan seorang sahabat. Ketika menyadari bahwa mereka sangat kehausan, mereka berhenti di sebuah warung teh dan menemukan bahwa mereka hanya memiliki uang untuk segelas susu. Sahabatnya berkata, "Minumlah bagianmu yang separo terlebih dulu, aku memiliki sejumlah gula yang akan aku tambahkan ke dalam bagianku!"
"Sobat, tambahkan gula itu sekarang juga, dan kita akan menikmatinya berdua," ucap Nashruddin.
"Jangan! Gulanya tidak cukup untuk memaniskan segelas susu."
Nashruddin pergi ke dapur dan kembali dengan membawa butiran garam. "Kabar baik, sobat -- aku akan memperoleh separo bagianku dengan memberi garam -- dan ini cukup untuk satu gelas penuh."
Meskipun -- dalam praktik, namun bahkan dunia artifisial yang telah kita ciptakan untuk diri sendiri -- kita terbiasa beranggapan bahwa "hal-hal yang pertama pasti akan muncul pertama", dan bahwa segala sesuatu pasti berurutan dari A sampai Z, anggapan ini tidak berlaku mutlak pada dunia metafisis yang memiliki orientasi berbeda.
Seorang murid (Sufi), pada saat yang bersamaan, akan mempelajari berbagai hal yang berbeda, pada tingkat persepsi dan potensialitasnya tersendiri. Ini merupakan perbedaan lainnya antara Sufisme dan sistem-sistem yang bergantung pada anggapan bahwa hanya satu hal yang bisa dipelajari pada satu keadaan.
Seorang guru Sufi (darwis) mengulas hubungan multi bentuk dari Nashruddin dengan seorang murid (Sufi). Cerita tersebut, katanya, serupa dengan sebuah delima. Buah ini memiliki keindahan, gizi dan sari yang tersembunyi -- bijinya.
Seseorang mungkin tertarik secara emosional dengan bentuk luarnya, tertawa mendengar sebuah lelucon, atau melihat keindahan lahiriah tersebut. Tetapi hal ini hanya jika delima tersebut diberikan kepada Anda. Semua hal yang terserap adalah bentuk dan warnanya, mungkin aromanya, bentuk lahir dan teksturnya. ( )
"Anda bisa memakan buah delima dan merasakannya, merasakan kebahagiaan yang jauh lebih dari sarinya. Delima tersebut memberikan gizi kepada Anda, dan menjadi bagian diri Anda. Anda bisa membuang biji-kerasnya -- atau memecahkannya dan menemukan suatu inti yang lezat di dalamnya. Inilah kedalaman yang tersembunyi itu. Ia memiliki warna, ukuran, bentuk, sari, rasa dan fungsinya tersendiri. Anda bisa mengumpulkan biji-bijiannya dan menjadikannya sebagai minyak bakar. Meskipun biji arang tersebut tidak lagi berguna, bagian yang bisa dimakan telah menjadi bagian dari Anda." ( )
Begitu seorang murid mencapai tingkat pandangan tertentu terhadap kerja-kerja sejati dari wujud (eksistensi), maka ia akan berhenti bertanya terhadap hal-hal yang sebelumnya tampak sebagai hal-hal yang sangat relevan dengan keseluruhan gambaran tersebut. Selain itu, ia bisa melihat bahwa sebuah keadaan bisa diubah oleh peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak memiliki relevansi dengannya. Cerita tentang selimut menjelaskan hal ini: ( )
Nashruddin dan istrinya pada suatu malam terbangun karena mendengar dua orang bertikai di bawah jendela rumahnya. Istrinya menyuruh Nashruddin ke luar untuk melihat apa sesungguhnya yang terjadi. Ia menutupi bahunya dengan selimut dan kemudian turun. Begitu mendekati ke dua orang tersebut, salah seorang dari mereka merampas selimut tersebut, kemudian mereka lari. ( )
"Sayang, apa yang menyebabkan pertikaian itu?" tanya istrinya ketika Nashruddin masuk rumah.
"Tentang selimutku. Begitu mereka mendapatkan selimutku, mereka segera pergi."
Seorang tetangga pergi ke Nashruddin untuk meminjam keledainya. "Keledaiku tidak ada, karena sedang dipinjam," kata Nashruddin.
Padahal pada saat itu keledai tersebut terdengar meringkik dari dalam kandangnya.
"Tetapi aku bisa mendengar ringkikan keledai itu, di sana."
"Siapa yang Anda percaya?" tanya Nashruddin, "aku atau keledai?" (Baca juga: Mullah Nashruddin, Keledai, dan Kualitas Magis Berkah )
Seseorang bertanya, "Mengapa bisa demikian?"
"Sebab di malam hari kita lebih membutuhkan cahaya."
Penaklukan cahaya nafsu amarah yang merupakan tujuan dari perjuangan sufi tidak dicapai semata-mata melalui pengendalian terhadap keinginan (syahwat) seseorang.
Idries Shah dalam The Sufi menjelaskan cara ini dipandang sebagai penjinakan terhadap kesadaran liar yang meyakini bahwa ia bisa mengambil apa yang ia butuhkan dari segala sesuatu (termasuk mistisisme) dan membelokkannya bagi penggunaannya sendiri.
Kecenderungan untuk memanfaatkan bahan-bahan dari sumber apa pun bagi keuntungan pribadi sangatlah bisa dipahami dalam dunia yang "utuh" secara parsial dari kehidupan biasa, tetapi tidak bisa dibawa ke dalam dunia yang lebih besar dari pemenuhan sejati.
Dalam cerita tentang burung yang mencuri, Nashruddin (dikisahkan) membawa sepotong hati dan resep untuk (kue) pie hati. Tiba-tiba seekor burung pemangsa meluncur turun dan mencomot (daging) hati tersebut dari tangannya. Ketika burung tersebut terbang menjauh, Nashruddin mengejarnya sambil berteriak, "Burung bodoh! Engkau mungkin mengambil hati tersebut, tetapi apa yang akan kau lakukan tanpa resepnya?"
Tentu saja dari sudut pandang burung itu, hati tersebut cukup memadai bagi keperluannya. Hasilnya mungkin seekor burung yang kenyang, tetapi ia hanya memperoleh apa yang ia pikirkan dan inginkan, bukan apa yang seharusnya bisa didapat.
Karena Sufi tidak selalu dipahami oleh orang lain, mereka akan berusaha membuatnya menyesuaikan diri dengan gagasan mereka tentang apa yang dipandang benar.
Dalam cerita Nashruddin tentang burung yang lain (yang juga muncul pada karya agung puitik Rumi, Matsnawi), Nashruddin menemukan seekor elang raja bertengger di jeruji jendela rumahnya. Ia tidak pernah melihat seekor "merpati" yang aneh seperti ini. Setelah memotong lurus paruhnya dan memangkas cakar-cakarnya, ia melepaskannya seraya berkata, "Sekarang kau lebih tampak seperti burung. Seseorang telah mengabaikan dirimu."
Pembagian kehidupan secara artifisial, pemikiran dan tindakan, tidak memiliki tempat dalam sufisme. Nashruddin menanamkan pandangan ini sebagai prasyarat untuk memahami kehidupan sebagai keseluruhan. "Gula yang larut dalam susu akan menyebar ke seluruh susu tersebut."
Nashruddin tengah berjalan melewati jalan berdebu dengan seorang sahabat. Ketika menyadari bahwa mereka sangat kehausan, mereka berhenti di sebuah warung teh dan menemukan bahwa mereka hanya memiliki uang untuk segelas susu. Sahabatnya berkata, "Minumlah bagianmu yang separo terlebih dulu, aku memiliki sejumlah gula yang akan aku tambahkan ke dalam bagianku!"
"Sobat, tambahkan gula itu sekarang juga, dan kita akan menikmatinya berdua," ucap Nashruddin.
"Jangan! Gulanya tidak cukup untuk memaniskan segelas susu."
Nashruddin pergi ke dapur dan kembali dengan membawa butiran garam. "Kabar baik, sobat -- aku akan memperoleh separo bagianku dengan memberi garam -- dan ini cukup untuk satu gelas penuh."
Meskipun -- dalam praktik, namun bahkan dunia artifisial yang telah kita ciptakan untuk diri sendiri -- kita terbiasa beranggapan bahwa "hal-hal yang pertama pasti akan muncul pertama", dan bahwa segala sesuatu pasti berurutan dari A sampai Z, anggapan ini tidak berlaku mutlak pada dunia metafisis yang memiliki orientasi berbeda.
Seorang murid (Sufi), pada saat yang bersamaan, akan mempelajari berbagai hal yang berbeda, pada tingkat persepsi dan potensialitasnya tersendiri. Ini merupakan perbedaan lainnya antara Sufisme dan sistem-sistem yang bergantung pada anggapan bahwa hanya satu hal yang bisa dipelajari pada satu keadaan.
Seorang guru Sufi (darwis) mengulas hubungan multi bentuk dari Nashruddin dengan seorang murid (Sufi). Cerita tersebut, katanya, serupa dengan sebuah delima. Buah ini memiliki keindahan, gizi dan sari yang tersembunyi -- bijinya.
Seseorang mungkin tertarik secara emosional dengan bentuk luarnya, tertawa mendengar sebuah lelucon, atau melihat keindahan lahiriah tersebut. Tetapi hal ini hanya jika delima tersebut diberikan kepada Anda. Semua hal yang terserap adalah bentuk dan warnanya, mungkin aromanya, bentuk lahir dan teksturnya. ( )
"Anda bisa memakan buah delima dan merasakannya, merasakan kebahagiaan yang jauh lebih dari sarinya. Delima tersebut memberikan gizi kepada Anda, dan menjadi bagian diri Anda. Anda bisa membuang biji-kerasnya -- atau memecahkannya dan menemukan suatu inti yang lezat di dalamnya. Inilah kedalaman yang tersembunyi itu. Ia memiliki warna, ukuran, bentuk, sari, rasa dan fungsinya tersendiri. Anda bisa mengumpulkan biji-bijiannya dan menjadikannya sebagai minyak bakar. Meskipun biji arang tersebut tidak lagi berguna, bagian yang bisa dimakan telah menjadi bagian dari Anda." ( )
Begitu seorang murid mencapai tingkat pandangan tertentu terhadap kerja-kerja sejati dari wujud (eksistensi), maka ia akan berhenti bertanya terhadap hal-hal yang sebelumnya tampak sebagai hal-hal yang sangat relevan dengan keseluruhan gambaran tersebut. Selain itu, ia bisa melihat bahwa sebuah keadaan bisa diubah oleh peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak memiliki relevansi dengannya. Cerita tentang selimut menjelaskan hal ini: ( )
Nashruddin dan istrinya pada suatu malam terbangun karena mendengar dua orang bertikai di bawah jendela rumahnya. Istrinya menyuruh Nashruddin ke luar untuk melihat apa sesungguhnya yang terjadi. Ia menutupi bahunya dengan selimut dan kemudian turun. Begitu mendekati ke dua orang tersebut, salah seorang dari mereka merampas selimut tersebut, kemudian mereka lari. ( )
"Sayang, apa yang menyebabkan pertikaian itu?" tanya istrinya ketika Nashruddin masuk rumah.
"Tentang selimutku. Begitu mereka mendapatkan selimutku, mereka segera pergi."
Seorang tetangga pergi ke Nashruddin untuk meminjam keledainya. "Keledaiku tidak ada, karena sedang dipinjam," kata Nashruddin.
Padahal pada saat itu keledai tersebut terdengar meringkik dari dalam kandangnya.
"Tetapi aku bisa mendengar ringkikan keledai itu, di sana."
"Siapa yang Anda percaya?" tanya Nashruddin, "aku atau keledai?" (Baca juga: Mullah Nashruddin, Keledai, dan Kualitas Magis Berkah )
(mhy)