Puisi Erotis yang Dibaca Pada Pertemuan Para Sufi Menurut Imam Al-Ghazali
loading...
A
A
A
Imam al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" (Ashraf Publication, Lahore, Mei 1979) menjelaskan perihal puisi erotis yang dibaca pada pertemuan-pertemuan para sufi yang banyak orang keberatan terhadap cara demikian itu.
Al-Ghazali mengatakan mesti kita ingat bahwa jika dalam puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan dari atau persekutuan dengan yang dicintai, maka para sufi - yang amat cinta pada Allah - menggunakan ungkapan semacam itu untuk menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia.
Demikian pula, "jalan-jalan buntuk yang gelap" dipakai untuk menjelaskan kegelapan kekafiran; "kecerahan wajah" untuk cahaya keimanan ; dan "mabuk" sebagai ekstase (kegairanan) sang sufi. Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi berikut ini:
Mungkin sudah kuatur anggur
beribu takaran
Tapi, sampai 'kau habis mereguknya
tiada kegembiraan kaurasakan
"Dengan itu penulisnya bermaksud untuk mengatakan bahwa kenikmatan agama yang sejati tak akan bisa diraih lewat perintah resmi, tapi dengan rasa tertarik dan keinginan," ujar Al-Gahazali.
"Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis tentang cinta, keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia sendiri memiliki sifat-sifat ini, semuanya itu tak bermanfaat baginya," lanjutnya.
Jadi, orang-orang yang mencari-cari kesalahan para sufi, kata Al-Ghazali lagi, karena sufi-sufi tersebut sangat terpengaruh - bahkan sampai mencapai ekstase - oleh bait-bait seperti itu, hanyalah orang-orang dangkal dan tak toleran. "Onta sekalipun kadang-kadang terpengaruh oleh lagu-lagu Arab yang dinyanyikan penunggangnya sehingga ia akan berlari kencang, memikul beban berat, sampai akhirnya tersungkur kelelahan," ujarnya.
Meskipun demikian, orang-orang yang mendengar syair pada sufi berada dalam bahaya dikutuk, jika ia menerapkan syair-syair yang didengarnya itu untuk Allah. Misalnya, ketika ia dengar syair seperti "Engkau berubah dari kecenderungan-semulamu", ia tak boleh menerapkannya untuk Allah - yang tak boleh berubah - melainkan untuk dirinya dan ragam suasana hatinya sendiri.
Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar, tetapi bagi kita kadang-kadang cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan Dia.
Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga diri mereka hilang dalam Allah. Demikian halnya dengan Syaikh Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam keadaan ekstase dan menerobos ke dalam ladang yang penuh dengan batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari sampai kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu.
Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama besar dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama kali melihat bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia telah tersatukan dengan cermin itu, atau bahwa warna-warni merah-putih yang dipantulkan oleh cermin adalah sifat-sifat bawaan cermin itu.
Menurut al-Ghazali, keadaan-keadaan ekstase yang dialami para sufi beragam, sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan sebagainya. "Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas, dicapai seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an, tetapi juga syair yang merangsang," katanya.
Sementara orang keberatan terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga al-Qur'an, pada kesempatan-kesempatan seperti itu. Tapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat al-Qur'an dimaksudkan untuk membangkitkan emosi - seperti misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mesti menunggu empat bulan sebelum boleh menikah lagi dengan orang lain.
"Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu," kata al-Ghazali.
Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat al-Qur'an, dalam kesempatan-kesempatan seperti ini adalah bahwa orang-orang telah sedemikian akrab dengan al-Qur'an, banyak di antaranya bahkan telah menghafalnya, sehingga pengaruh pembacaannya telah sedemikian ditumpulkan oleh perulangan yang berkali-kali.
Seseorang tidak bisa selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan syair.
Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badul mendengarkan al-Qur'an untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya, Abu Bakar berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati kami telah mengeras," berarti bahwa al-Qur'an telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya.
Dengan alasan yang sama, Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya. "Karena," katanya, "saya khawatir, jika kalian menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian."
Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik - seperti seruling dan genderang - secara tak berbobot dan sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam. Keagungan al-Qur'an tak pantas, meskipun sementara, dikaitkan dengan hal-hal seperti ini.
Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi SAW memasuki rumah Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang gadis-penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya untuk menghormati beliau. Beliau dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk diperlakukan demikian.
Akan timbul pula bahaya jika ayat-ayat al-Qur'an dipergunakan secara khusus, sehingga pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan hal ini terlarang.
Di pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan oleh penulisnya.
Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian. Jika hal ini adalah hasil dari suatu keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut "ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka.
Dalam setiap hal, orang yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-benar berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaan-perasannya.
Diriwayatkan bahwa seorang murid Syaikh Juaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase.
Junaid berkata kepadanya: "Jika kaulakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal bersamaku lagi."
Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya sedemikian kuat terbangkitkan sehingga, setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.
Kesimpulannya, kata al-Ghazali, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya.
Orang-orang yang ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat, menundukkan kepala - sebagaimana dalam shalat - dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah.
Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika ada seseorang di antara mereka yang bangkit dalam keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti bangkit pula bersamanya, dan jika ada sorban seseorang yang tanggal, maka orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.
Menurut Al-Ghazali, meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para sahabat, mesti kita ingat bahwa tidak semua hal itu terlarang, melainkan hanya yang secara langsung bertentangan dengan syariat. Misalnya, salat Tarawih.
Salat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar. Nabi SAW bersabda: "Hiduplah dengan setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan wataknya."
Oleh karena itu, kita dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal tertentu demi menyenangkan orang, jika sikap tidak-berkompromi akan menyakitkan hati mereka. Memang benar bahwa para sahabat tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi SAW masuk, karena mereka tidak menyukai praktik ini; tetapi di daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa tidak senang, lebih baik berkompromi dengannya.
Orang-orang Arab punya kebiasaan sendiri, orang-orang Persia pun demikian, dan Allah tahu mana yang paling baik.
Al-Ghazali mengatakan mesti kita ingat bahwa jika dalam puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan dari atau persekutuan dengan yang dicintai, maka para sufi - yang amat cinta pada Allah - menggunakan ungkapan semacam itu untuk menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia.
Demikian pula, "jalan-jalan buntuk yang gelap" dipakai untuk menjelaskan kegelapan kekafiran; "kecerahan wajah" untuk cahaya keimanan ; dan "mabuk" sebagai ekstase (kegairanan) sang sufi. Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi berikut ini:
Baca Juga
Mungkin sudah kuatur anggur
beribu takaran
Tapi, sampai 'kau habis mereguknya
tiada kegembiraan kaurasakan
"Dengan itu penulisnya bermaksud untuk mengatakan bahwa kenikmatan agama yang sejati tak akan bisa diraih lewat perintah resmi, tapi dengan rasa tertarik dan keinginan," ujar Al-Gahazali.
"Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis tentang cinta, keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia sendiri memiliki sifat-sifat ini, semuanya itu tak bermanfaat baginya," lanjutnya.
Jadi, orang-orang yang mencari-cari kesalahan para sufi, kata Al-Ghazali lagi, karena sufi-sufi tersebut sangat terpengaruh - bahkan sampai mencapai ekstase - oleh bait-bait seperti itu, hanyalah orang-orang dangkal dan tak toleran. "Onta sekalipun kadang-kadang terpengaruh oleh lagu-lagu Arab yang dinyanyikan penunggangnya sehingga ia akan berlari kencang, memikul beban berat, sampai akhirnya tersungkur kelelahan," ujarnya.
Meskipun demikian, orang-orang yang mendengar syair pada sufi berada dalam bahaya dikutuk, jika ia menerapkan syair-syair yang didengarnya itu untuk Allah. Misalnya, ketika ia dengar syair seperti "Engkau berubah dari kecenderungan-semulamu", ia tak boleh menerapkannya untuk Allah - yang tak boleh berubah - melainkan untuk dirinya dan ragam suasana hatinya sendiri.
Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar, tetapi bagi kita kadang-kadang cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan Dia.
Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga diri mereka hilang dalam Allah. Demikian halnya dengan Syaikh Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam keadaan ekstase dan menerobos ke dalam ladang yang penuh dengan batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari sampai kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu.
Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama besar dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama kali melihat bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia telah tersatukan dengan cermin itu, atau bahwa warna-warni merah-putih yang dipantulkan oleh cermin adalah sifat-sifat bawaan cermin itu.
Menurut al-Ghazali, keadaan-keadaan ekstase yang dialami para sufi beragam, sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan sebagainya. "Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas, dicapai seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an, tetapi juga syair yang merangsang," katanya.
Sementara orang keberatan terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga al-Qur'an, pada kesempatan-kesempatan seperti itu. Tapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat al-Qur'an dimaksudkan untuk membangkitkan emosi - seperti misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mesti menunggu empat bulan sebelum boleh menikah lagi dengan orang lain.
"Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu," kata al-Ghazali.
Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat al-Qur'an, dalam kesempatan-kesempatan seperti ini adalah bahwa orang-orang telah sedemikian akrab dengan al-Qur'an, banyak di antaranya bahkan telah menghafalnya, sehingga pengaruh pembacaannya telah sedemikian ditumpulkan oleh perulangan yang berkali-kali.
Seseorang tidak bisa selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan syair.
Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badul mendengarkan al-Qur'an untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya, Abu Bakar berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati kami telah mengeras," berarti bahwa al-Qur'an telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya.
Dengan alasan yang sama, Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya. "Karena," katanya, "saya khawatir, jika kalian menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian."
Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik - seperti seruling dan genderang - secara tak berbobot dan sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam. Keagungan al-Qur'an tak pantas, meskipun sementara, dikaitkan dengan hal-hal seperti ini.
Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi SAW memasuki rumah Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang gadis-penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya untuk menghormati beliau. Beliau dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk diperlakukan demikian.
Akan timbul pula bahaya jika ayat-ayat al-Qur'an dipergunakan secara khusus, sehingga pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan hal ini terlarang.
Di pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan oleh penulisnya.
Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian. Jika hal ini adalah hasil dari suatu keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut "ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka.
Dalam setiap hal, orang yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-benar berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaan-perasannya.
Diriwayatkan bahwa seorang murid Syaikh Juaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase.
Junaid berkata kepadanya: "Jika kaulakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal bersamaku lagi."
Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya sedemikian kuat terbangkitkan sehingga, setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.
Kesimpulannya, kata al-Ghazali, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya.
Orang-orang yang ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat, menundukkan kepala - sebagaimana dalam shalat - dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah.
Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika ada seseorang di antara mereka yang bangkit dalam keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti bangkit pula bersamanya, dan jika ada sorban seseorang yang tanggal, maka orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.
Menurut Al-Ghazali, meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para sahabat, mesti kita ingat bahwa tidak semua hal itu terlarang, melainkan hanya yang secara langsung bertentangan dengan syariat. Misalnya, salat Tarawih.
Salat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar. Nabi SAW bersabda: "Hiduplah dengan setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan wataknya."
Oleh karena itu, kita dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal tertentu demi menyenangkan orang, jika sikap tidak-berkompromi akan menyakitkan hati mereka. Memang benar bahwa para sahabat tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi SAW masuk, karena mereka tidak menyukai praktik ini; tetapi di daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa tidak senang, lebih baik berkompromi dengannya.
Orang-orang Arab punya kebiasaan sendiri, orang-orang Persia pun demikian, dan Allah tahu mana yang paling baik.
(mhy)