Mullah Nashruddin Membawa Sapi Tua ke Sebuah Lomba Pacuan Kuda

Sabtu, 22 Agustus 2020 - 10:19 WIB
loading...
Mullah Nashruddin Membawa Sapi Tua ke Sebuah Lomba Pacuan Kuda
Ilustrasi/Ist
A A A
DALAM Sufisme seseorang tidak bisa memulai "laku/kerja" pada suatu titik yang telah ditentukan. Guru (mursyid) harus dibiarkan membimbing masing-masing calon murid sufi dengan caranya sendiri. Suatu ketika, Mullah Nashruddin didatangi seorang pemuda yang menanyakan kepadanya, berapa lama harus dilewati sebelum ia menjadi seorang Sufi. ( )

Ia membawa pemuda tersebut ke desa. "Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin mengajakmu pergi mengunjungi seorang guru musik untuk mengetahui cara bermain seruling."

Di rumah musisi tersebut Nashruddin menanyakan bayarannya.

"Tiga keping perak untuk bulan pertama. Setelah itu, satu keping perak setiap bulan."

"Wah, banyak sekali!" kata Nashruddin, "aku akan kembali sebulan lagi."



Idries Shah dalam The Sufi menjelaskan indera keenam yang dicapai seorang Sufi, yang oleh para teoritikus dianggap sebagai suatu indera yang mampu mengetahui secara utuh terhadap seluruh pengetahuan ketuhanan, sebenarnya tidaklah demikian.

Sebagaimana indera-indera lainnya, indera keenam mempunyai keterbatasan. Fungsinya bukan untuk mengantarkan insan kamil mencapai keutuhan kebijaksanaan (hikmah), tetapi untuk memungkinkannya memenuhi suatu misi persepsi yang lebih besar dan kehidupan yang lebih utuh. Ia tidak lagi mengalami rasa ketidakpastian dan ketimpangan yang biasa dialami oleh orang kebanyakan. Cerita tentang anak-anak laki-laki dan pohon disajikan untuk menyampaikan makna ini:

Beberapa anak laki-laki ingin mengambil terompah Nashruddin. Ketika ia lewat, anak-anak tersebut mengerumuninya dan berkata, "Mullah, tidak seorang pun bisa memanjat pohon ini."



"Tentu mereka bisa," ucap Nashruddin. "Aku akan memperlihatkan kepada kalian bagaimana caranya, sehingga kalian bisa mencontohnya."

Ia hampir saja meninggalkan terompahnya di bawah, tetapi sesuatu mengingatkannya, dan ia pun menyelipkan terompah tersebut di sabuknya sebelum memulai memanjatnya.

Anak-anak itu pun kecewa, "Untuk apa terompahnya dibawa?" salah satu dari mereka berseru kepadanya.

"Sebab pohon ini belum pernah dipanjat, bagaimana aku tahu bahwa di atas sana tidak ada jalan?" jawab Nashruddin enteng.

Ketika seorang Sufi menggunakan intuisinya, ia tidak bisa menjelaskan tindakannya secara nalar. ( )

Indera keenam juga memberikan kepada pemilik barakah cara-cara yang secara jelas untuk menciptakan hal-hal tertentu bisa terjadi. Kemampuan ini sampai ke Sufi melalui cara-cara di luar penalaran formal.

"Allah akan memberikan gantinya," ucap Nashruddin kepada seorang laki-laki yang baru dirampok.

"Aku tidak melihat bagaimana hal itu bisa terjadi?" ucap orang tersebut.

Tiba-tiba Nashruddin membawanya ke dalam masjid, dan menyatakan kepadanya untuk berdiri di sudut. Kemudian Mullah mulai meratap dan menangis, mengadu kepada Allah untuk mengembalikan dua puluh keping perak milik orang tersebut. Ia membuat keributan sedemikian rupa sehingga jamaah yang ada di masjid itu mengumpulkan sumbangan dan menyerahkannya kepada laki-laki tersebut.



"Anda mungkin tidak memahami cara yang berjalan dan berlaku di dunia ini," ucap Nashruddin, "tetapi mungkin Anda akan memahami apa yang telah terjadi di rumah Allah ini."

Berpartisipasi dalam cara kerja realitas sangat berbeda dari perluasan intelektual dari fakta yang diamati. Untuk membuktikan hal ini, suatu ketika Nashruddin membawa sapi tua ke sebuah lomba pacuan kuda. Lomba ini menerima semua peserta dengan berbagai hewan yang berbeda.

Setiap orang tertawa, sebab sama-sama diketahui bahwa seekor sapi tua tidak bisa berlari cepat. ( )

"Omong kosong!" ucap Nashruddin, "secara pasti ia akan berlari dengan cepat, jika ia diberi kesempatan. Mungkin ketika ia masih berupa lembu muda, kalian melihatnya bisa berlari cepat. Sekarang, meskipun ia tidak berlatih, tidak punya kesempatan untuk berlari, ia telah tumbuh secara utuh. Mengapa ia tidak bisa berlari lebih cepat lagi?"

Cerita tersebut juga menyerang kepercayaan bahwa hanya karena sesuatu -- atau seseorang -- itu tua, maka secara pasti lebih baik dari sesuatu yang muda. Sufisme sebagai suatu aktivitas, sadar dan hidup tidak terikat dengan masa lalu atau tradisi yang kaku. Setiap Sufi yang hidup pada hari ini mewakili setiap Sufi yang telah hidup di masa lalu, atau yang akan datang kemudian. Jumlah atau tingkatan barakah yang sama tetap ada, dan tradisi kuno tidak menambah nilai, yang tetap konstan. ( )

Kedalaman lebih jauh dari cerita ini menunjukkan bahwa murid (anak lembu) mungkin berkembang menjadi seseorang dengan fungsi yang secara jelas berbeda (lembu tua) dari apa yang diduga seseorang. Jarum jam tidak bisa diputar batik. Mereka yang bersandar pada teori spekulatif (filsafat) tidak akan bisa bersandar pada Sufisme.

Tidak adanya suatu fakultas intuitif pada manusia secara umum mengakibatkan suatu situasi yang hampir tanpa harapan, dan banyak cerita Nashruddin menekankan kenyataan ini. (Baca juga: Mullah Nashruddin, Keledai, dan Kualitas Magis Berkah )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2627 seconds (0.1#10.140)