Kisah Kesedihan Khalifah Umar atas Wafatnya Khalid bin Walid
loading...
A
A
A
Pahlawan Islam, Pedang Allah Khalid bin Walid wafat 4 tahun setelah dirinya dipecat dari segala jabatannya di ketentaraan oleh Khalifah Umar bin Khattab . Beliau tidak meninggalkan harta kekayaan selain kuda, pelayan dan senjatanya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) mengisahkan setelah mengetahui hal itu Umar merasa sedih sekali dengan mengatakan: “Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Sulaiman! Sungguh tidak seperti yang kami duga.”
Selanjutnya pada saat ia berpidato di depan orang banyak di Jabiah dengan mengatakan: “Saya meminta maaf kepada kalian karena saya telah memecat Khalid bin Walid. Saya memintanya menyimpan harta itu untuk kaum duafa Muhajirin, dia berikan kepada orang-orang kuat, berpangkat dan suka menuntut. Maka ketika itulah saya mengangkat Abu Ubaidah .”
Permintaan maaf Khalifah Umar ini, menurut Haekal, tidak bisa diterima sebagian kaum muslimin. Mereka tidak dapat ditenangkan dengan pengumuman itu dan mereka menganggap semua itu bukan alasan untuk memecat Khalid. Dalam hati sebagian besar mereka tetap menyimpan kemarahan besar atas pemecatan tersebut.
Ketika berpidato di Jabiah meminta maaf, Abu Amr bin Hisn bin al-Mugirah menantangnya dengan mengatakan: “Saya tidak memaafkanmu, Umar! Anda memecat seorang wakil yang dulu mendapat kepercayaan Rasulullah SAW, dan diserahi panji pimpinan yang diberikan sendiri oleh Rasulullah SAW, sedang Anda menyarungkan pedang yang telah dihunuskan oleh Allah. Anda telah memutuskan hubungan silaturahmi dan mendengki seorang saudara sepupu.”
Dalam hal ini Umar menjawab: “Anda masih kerabat dekat dan Anda masih muda. Anda marah karena dia sepupumu.”
Ya, Khalid masih hidup 4 tahun lagi sesudah pemecatannya, jauh dan medan perang yang selama itu menjadi kebanggaan dan kemuliaannya. Hatinya sedih melihat saudara-saudaranya dan orang-orang setanah tumpah darahnya menerobos Palestina ke Mesir, ke Irak dan ke Persia , sedang dia tinggal di rumah.
Pedangnya untuk mencapai kemenangan atau mati syahid, disarungkan dan tak dipakai lagi. Tak lagi tampak sebagai orang yang terkenal di hadapan para pahlawan, yang telah menggetarkan jantung musuh dan menebas leher-leher mereka.
Selama tahun-tahun itu mengapa tidak dibiarkan saja ia menikmati kejayaan dengan menegakkan panjinya, mengenakan mahkota perjuangannya?
Kesedihan Umar
Tidak! Tak ada artinya kejayaan bagi orang yang masih mampu membangun istananya dan mengangkat setinggi-tingginya! Dia memang mendambakan kejayaan yang dicapai orang yang kini membuatnya tak berdaya untuk mencapai tingkat yang lebih agung itu dari yang pernah dicapainya.
Khalid masih mampu mencapai semua tingkat kejayaan itu. Ia mampu membebaskan tanah Romawi berlipat ganda dari yang sudah dibebaskan yang lain. Ia akan mencapai ibu kota Kaisar, seperti dulu telah dilakukan oleh Sa’d bin Abi Waqqas dalam mencapai ibu kota Kisra. Tetapi Umar telah memaksanya harus menunggui rumah, pedangnya sudah dipatahkan, dasar perjuangannya sudah dihancurkan.
Alangkah panjangnya hari-hari itu, alangkah pedihnya! Hidupnya telah digerogoti oleh kepiluan hatinya dan dia mati setelah mengalami tahun-tahun yang sungguh berat itu, sementara ia berkata: “Saya ingin mati di medan perang - tempatku selama ini - tetapi takdir menentukan saya mati di atas ranjang.”
Dalam sebuah sumber yang cukup terkenal disebutkan bahwa menjelang kematiannya Khalid menangis sambil mengatakan: “Saya sudah melibatkan diri dalam pasukan-pasukan besar di tempat anu dan anu, sehingga tak satu titik pun di badanku ini yang tak terkena pukulan pedang, tak terlukai oleh tombak atau anak panah. Tetapi sekarang saya mati wajar di atas ranjang seperti seekor keledai liar. Para pengecut itu tidak bisa tidur!”
Dengan kematian Khalid itu kaum Muslimin dirundung kesedihan yang luar biasa, lebih-lebih Umar bin Khattab sendiri. Ada cerita bahwa dia mendengar ibunya meratapinya dengan mengatakan:
Engkau lebih baik dari sejuta bangsa
Tatkala wibawa para tokoh musuh remuk hancur di hadapanmu.
“Benar kau, memang begitu!” kata Umar. Ia sendiri melarang orang meratapi dan menangisi mayat. Ia pernah membubarkan perempuan-perempuan yang berkumpul di rumah Aisyah meratapi Abu Bakar. Tetapi ketika perempuan-perempuan Madinah berkumpul menangisi Khalid, sikapnya tidak tampak demikian, malah dia tidak menghalangi mereka menangis.
Ada yang bertanya kepadanya: "Anda tidak mendengar, tidak melarang mereka?"
Dia menjawab: "Biarlah perempuan-perempuan Quraisy menangisi Abu Sulaiman (Khalid) selama mereka tidak sampai menjerit-jerit dan membuat kegaduhan. Dalam hal seperti ini orang biasa menangis.”
Dalam pada itu Hisyam bin al-Bakhtari bersama jemaah Banu Makhzum datang menemui Umar bin Khattab. “Hisyam, coba bacakan sajakmu tentang Khalid,” kata Umar.
Hisyam membacakan sajaknya yang terbaik. Selesai membaca, Umar berkata: “Masih kurang pujianmu kepada Abu Sulaiman, Allah yarham. Dia menyukai segala yang agung, dan memang dia pantas untuk itu. Orang yang senang melihat musibah yang menimpanya akan dibenci Allah.”
Suatu hari ketika terjadi pembicaraan mengenai Khalid terkenang oleh Umar dengan mengatakan: Memang kena benar ia untuk menyumbat tenggorokan musuh. Keberuntungan sudah menjadi bawaannya.”
Ketika itu Ali bertanya: “Tetapi mengapa Anda pecat dia?”
Umar menjawab: “Saya menyesal atas tindakan saya itu.”
Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa ketika Khalid wafat Umar tidak berada di tempat, sedang menunaikan ibadah haji, dan dia bermaksud akan mengangkat Khalid sekembalinya dari haji. Tetapi sesudah kembali baru ia mengetahui bahwa Khalid sudah meninggal.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) mengisahkan setelah mengetahui hal itu Umar merasa sedih sekali dengan mengatakan: “Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Sulaiman! Sungguh tidak seperti yang kami duga.”
Selanjutnya pada saat ia berpidato di depan orang banyak di Jabiah dengan mengatakan: “Saya meminta maaf kepada kalian karena saya telah memecat Khalid bin Walid. Saya memintanya menyimpan harta itu untuk kaum duafa Muhajirin, dia berikan kepada orang-orang kuat, berpangkat dan suka menuntut. Maka ketika itulah saya mengangkat Abu Ubaidah .”
Permintaan maaf Khalifah Umar ini, menurut Haekal, tidak bisa diterima sebagian kaum muslimin. Mereka tidak dapat ditenangkan dengan pengumuman itu dan mereka menganggap semua itu bukan alasan untuk memecat Khalid. Dalam hati sebagian besar mereka tetap menyimpan kemarahan besar atas pemecatan tersebut.
Ketika berpidato di Jabiah meminta maaf, Abu Amr bin Hisn bin al-Mugirah menantangnya dengan mengatakan: “Saya tidak memaafkanmu, Umar! Anda memecat seorang wakil yang dulu mendapat kepercayaan Rasulullah SAW, dan diserahi panji pimpinan yang diberikan sendiri oleh Rasulullah SAW, sedang Anda menyarungkan pedang yang telah dihunuskan oleh Allah. Anda telah memutuskan hubungan silaturahmi dan mendengki seorang saudara sepupu.”
Dalam hal ini Umar menjawab: “Anda masih kerabat dekat dan Anda masih muda. Anda marah karena dia sepupumu.”
Ya, Khalid masih hidup 4 tahun lagi sesudah pemecatannya, jauh dan medan perang yang selama itu menjadi kebanggaan dan kemuliaannya. Hatinya sedih melihat saudara-saudaranya dan orang-orang setanah tumpah darahnya menerobos Palestina ke Mesir, ke Irak dan ke Persia , sedang dia tinggal di rumah.
Pedangnya untuk mencapai kemenangan atau mati syahid, disarungkan dan tak dipakai lagi. Tak lagi tampak sebagai orang yang terkenal di hadapan para pahlawan, yang telah menggetarkan jantung musuh dan menebas leher-leher mereka.
Selama tahun-tahun itu mengapa tidak dibiarkan saja ia menikmati kejayaan dengan menegakkan panjinya, mengenakan mahkota perjuangannya?
Kesedihan Umar
Tidak! Tak ada artinya kejayaan bagi orang yang masih mampu membangun istananya dan mengangkat setinggi-tingginya! Dia memang mendambakan kejayaan yang dicapai orang yang kini membuatnya tak berdaya untuk mencapai tingkat yang lebih agung itu dari yang pernah dicapainya.
Khalid masih mampu mencapai semua tingkat kejayaan itu. Ia mampu membebaskan tanah Romawi berlipat ganda dari yang sudah dibebaskan yang lain. Ia akan mencapai ibu kota Kaisar, seperti dulu telah dilakukan oleh Sa’d bin Abi Waqqas dalam mencapai ibu kota Kisra. Tetapi Umar telah memaksanya harus menunggui rumah, pedangnya sudah dipatahkan, dasar perjuangannya sudah dihancurkan.
Alangkah panjangnya hari-hari itu, alangkah pedihnya! Hidupnya telah digerogoti oleh kepiluan hatinya dan dia mati setelah mengalami tahun-tahun yang sungguh berat itu, sementara ia berkata: “Saya ingin mati di medan perang - tempatku selama ini - tetapi takdir menentukan saya mati di atas ranjang.”
Dalam sebuah sumber yang cukup terkenal disebutkan bahwa menjelang kematiannya Khalid menangis sambil mengatakan: “Saya sudah melibatkan diri dalam pasukan-pasukan besar di tempat anu dan anu, sehingga tak satu titik pun di badanku ini yang tak terkena pukulan pedang, tak terlukai oleh tombak atau anak panah. Tetapi sekarang saya mati wajar di atas ranjang seperti seekor keledai liar. Para pengecut itu tidak bisa tidur!”
Dengan kematian Khalid itu kaum Muslimin dirundung kesedihan yang luar biasa, lebih-lebih Umar bin Khattab sendiri. Ada cerita bahwa dia mendengar ibunya meratapinya dengan mengatakan:
Engkau lebih baik dari sejuta bangsa
Tatkala wibawa para tokoh musuh remuk hancur di hadapanmu.
“Benar kau, memang begitu!” kata Umar. Ia sendiri melarang orang meratapi dan menangisi mayat. Ia pernah membubarkan perempuan-perempuan yang berkumpul di rumah Aisyah meratapi Abu Bakar. Tetapi ketika perempuan-perempuan Madinah berkumpul menangisi Khalid, sikapnya tidak tampak demikian, malah dia tidak menghalangi mereka menangis.
Ada yang bertanya kepadanya: "Anda tidak mendengar, tidak melarang mereka?"
Dia menjawab: "Biarlah perempuan-perempuan Quraisy menangisi Abu Sulaiman (Khalid) selama mereka tidak sampai menjerit-jerit dan membuat kegaduhan. Dalam hal seperti ini orang biasa menangis.”
Dalam pada itu Hisyam bin al-Bakhtari bersama jemaah Banu Makhzum datang menemui Umar bin Khattab. “Hisyam, coba bacakan sajakmu tentang Khalid,” kata Umar.
Hisyam membacakan sajaknya yang terbaik. Selesai membaca, Umar berkata: “Masih kurang pujianmu kepada Abu Sulaiman, Allah yarham. Dia menyukai segala yang agung, dan memang dia pantas untuk itu. Orang yang senang melihat musibah yang menimpanya akan dibenci Allah.”
Suatu hari ketika terjadi pembicaraan mengenai Khalid terkenang oleh Umar dengan mengatakan: Memang kena benar ia untuk menyumbat tenggorokan musuh. Keberuntungan sudah menjadi bawaannya.”
Ketika itu Ali bertanya: “Tetapi mengapa Anda pecat dia?”
Umar menjawab: “Saya menyesal atas tindakan saya itu.”
Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa ketika Khalid wafat Umar tidak berada di tempat, sedang menunaikan ibadah haji, dan dia bermaksud akan mengangkat Khalid sekembalinya dari haji. Tetapi sesudah kembali baru ia mengetahui bahwa Khalid sudah meninggal.
(mhy)