Kasus Khalid bin Walid, Cara Pandang Umar dan Abu Bakar
loading...
A
A
A
BEGITU menjabat sebagai khalifah, langkah pertama yang dilakukan Umar bin Khattab adalah memecat Khalid bin Walid sebagai panglima perang Islam. Banyak pihak berpendapat langkah itu diambil Umar untuk menyelamatkan tauhid umat Islam yang kala itu sangat mengelu-elukan Khalid. (Baca Juga: :Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid demi Selamatkan Tauhid Umat )
Pandangan lain adalah karena Umar memang tidak memiliki kecocokan dengan Khalid. Ada yang menduga Umar masih memendam rasa sakit hati tentang masa lalu Khalid, saat perang Uhud di mana petempur berjuluk pedang Allah ini berada di pihak kafir Quraisy.
Di masa Khalifah Abu Bakar , Umar sudah mengusulkan agar Khalid diberhentikan karena dianggap melakukan sejumlah pelanggaran. Hanya saja, Abu Bakar memandang permintaan Umar itu berlebihan.
Kasus yang sangat mendorong Umar mengusulkan pemecatan bahkan menghukum Khalid bin Walid adalah kasus Malik bin Nuwairah. Kasusnya begini. Di awal-awal pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Khalid bin al-Walid bertugas memimpin pasukan yang memerangi kaum murtad. Kala itu, Khalid bin Walid sudah berhasil menumpas pembangkangan Banu Asad. Selanjutnya ia pindah dari perkampungan mereka ke Butah menumpas kaum pembangkang Banu Tamim.
Pemimpin Banu Tamim, Malik bin Nuwairah, terbunuh. Dianggap melanggar karena pada saat itu, Khalid kemudian mengawini istri Malik. Hal ini menyalahi adat kebiasaan orang Arab yang harus menghindari perempuan selama dalam perang.
Baca Juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Paling Terdepan Membela Rasulullah SAW
Konon, pembunuhan Malik bin Nuwairah itu juga dilakukan setelah Malik menyatakan keislamannya. Abu Qatadah al-Ansari menduga itu suatu muslihat Khalid untuk dapat mengawini Laila yang cantik. Disebutkan bahwa konon Khalid memang sudah mencintai Laila sejak masa jahiliah dulu.
Muhammad Husain Haekal dalam " Umar bin Khattab " menceritakan Abu Qatadah dan Mutammam bin Nuwairah saudara Malik segera pergi ke Madinah dan menemui Khalifah Abu Bakar dengan melaporkan segala yang dilihatnya itu. Ternyata Abu Bakar hanya membayar diat (tebusan) atas kematian Malik, dan menulis surat agar tawanan dikembalikan. Abu Bakar tidak percaya tuduhan bahwa Khalid membunuh Malik karena ingin mengambil istrinya.
Tak puas dengan keputusan Abu Bakar, Abu Qatadah membicarakan soal ini dengan Umar bin Khattab. Al-Faruq mendukung pendapat Abu Qatadah. Keduanya mengecam Khalid. Selanjutnya Umar menemui Khalifah Abu Bakar dan berkata dengan nada marah. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya," katanya.
Ketika Umar terus mendesak, Abu Bakar menjawab: "Ah, Umar. Dia sudah membuat pertimbangan tetapi meleset. Janganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid."
Menurut Haekal, Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tiada henti-hentinya ia menuntut agar Khalid dipecat.
Melihat desakan yang demikian, Khalifah kesal juga. "Umar," katanya kemudian, "saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan terhadap orang-orang kafir!"
Jawaban tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakar tak akan memecat Khalid. Rupanya, jawaban Abu Bakar ini tidak membuat Umar surut. Umar tetap marah besar terhadap Khalid dan mengecamnya sampai begitu keras.
Dikumpulkannya Mutammam, Abu Qatadah dan beberapa orang lagi. Dimintanya Mutammam membacakan syairnya yang meratapi Malik. la memperlihatkan simpatinya kepada Mutammam dan pada syair yang dibacanya itu.
Menurut Haekal, bagaimana Umar akan merasa senang dan diam begitu saja melihat orang membunuh seorang Muslim lalu mengawini istrinya, padahal ia harus dirajam! "Biar orang ini Saifullah sekalipun. Biar dia paman Umar dari pihak ibu dan sepupu ibunya. Biar dia sudah berjasa menumpas kaum pembangkang!" tuturnya.
Soalnya, masalah ini berhubungan dengan disiplin masyarakat serta ketertibannya. Disiplin akan berada dalam bahaya bilamana sudah mulai ada perbedaan dalam memperlakukan manusia. Yang seorang dibiarkan melakukan pelanggaran, yang lain dijatuhi hukuman. Ia tetap tidak puas sebelum Khalifah Abu Bakar memanggil Khalid ke Madinah, dan Umar pun yakin Khalifah akhirnya akan menyetujui pendapatnya dan memecat jenderal jenius itu.
Pandangan lain adalah karena Umar memang tidak memiliki kecocokan dengan Khalid. Ada yang menduga Umar masih memendam rasa sakit hati tentang masa lalu Khalid, saat perang Uhud di mana petempur berjuluk pedang Allah ini berada di pihak kafir Quraisy.
Di masa Khalifah Abu Bakar , Umar sudah mengusulkan agar Khalid diberhentikan karena dianggap melakukan sejumlah pelanggaran. Hanya saja, Abu Bakar memandang permintaan Umar itu berlebihan.
Kasus yang sangat mendorong Umar mengusulkan pemecatan bahkan menghukum Khalid bin Walid adalah kasus Malik bin Nuwairah. Kasusnya begini. Di awal-awal pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Khalid bin al-Walid bertugas memimpin pasukan yang memerangi kaum murtad. Kala itu, Khalid bin Walid sudah berhasil menumpas pembangkangan Banu Asad. Selanjutnya ia pindah dari perkampungan mereka ke Butah menumpas kaum pembangkang Banu Tamim.
Pemimpin Banu Tamim, Malik bin Nuwairah, terbunuh. Dianggap melanggar karena pada saat itu, Khalid kemudian mengawini istri Malik. Hal ini menyalahi adat kebiasaan orang Arab yang harus menghindari perempuan selama dalam perang.
Baca Juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Paling Terdepan Membela Rasulullah SAW
Konon, pembunuhan Malik bin Nuwairah itu juga dilakukan setelah Malik menyatakan keislamannya. Abu Qatadah al-Ansari menduga itu suatu muslihat Khalid untuk dapat mengawini Laila yang cantik. Disebutkan bahwa konon Khalid memang sudah mencintai Laila sejak masa jahiliah dulu.
Muhammad Husain Haekal dalam " Umar bin Khattab " menceritakan Abu Qatadah dan Mutammam bin Nuwairah saudara Malik segera pergi ke Madinah dan menemui Khalifah Abu Bakar dengan melaporkan segala yang dilihatnya itu. Ternyata Abu Bakar hanya membayar diat (tebusan) atas kematian Malik, dan menulis surat agar tawanan dikembalikan. Abu Bakar tidak percaya tuduhan bahwa Khalid membunuh Malik karena ingin mengambil istrinya.
Tak puas dengan keputusan Abu Bakar, Abu Qatadah membicarakan soal ini dengan Umar bin Khattab. Al-Faruq mendukung pendapat Abu Qatadah. Keduanya mengecam Khalid. Selanjutnya Umar menemui Khalifah Abu Bakar dan berkata dengan nada marah. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya," katanya.
Ketika Umar terus mendesak, Abu Bakar menjawab: "Ah, Umar. Dia sudah membuat pertimbangan tetapi meleset. Janganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid."
Menurut Haekal, Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tiada henti-hentinya ia menuntut agar Khalid dipecat.
Melihat desakan yang demikian, Khalifah kesal juga. "Umar," katanya kemudian, "saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan terhadap orang-orang kafir!"
Jawaban tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakar tak akan memecat Khalid. Rupanya, jawaban Abu Bakar ini tidak membuat Umar surut. Umar tetap marah besar terhadap Khalid dan mengecamnya sampai begitu keras.
Dikumpulkannya Mutammam, Abu Qatadah dan beberapa orang lagi. Dimintanya Mutammam membacakan syairnya yang meratapi Malik. la memperlihatkan simpatinya kepada Mutammam dan pada syair yang dibacanya itu.
Menurut Haekal, bagaimana Umar akan merasa senang dan diam begitu saja melihat orang membunuh seorang Muslim lalu mengawini istrinya, padahal ia harus dirajam! "Biar orang ini Saifullah sekalipun. Biar dia paman Umar dari pihak ibu dan sepupu ibunya. Biar dia sudah berjasa menumpas kaum pembangkang!" tuturnya.
Soalnya, masalah ini berhubungan dengan disiplin masyarakat serta ketertibannya. Disiplin akan berada dalam bahaya bilamana sudah mulai ada perbedaan dalam memperlakukan manusia. Yang seorang dibiarkan melakukan pelanggaran, yang lain dijatuhi hukuman. Ia tetap tidak puas sebelum Khalifah Abu Bakar memanggil Khalid ke Madinah, dan Umar pun yakin Khalifah akhirnya akan menyetujui pendapatnya dan memecat jenderal jenius itu.