Kisah Panglima Perang Romawi Muqauqis Mengancam Amr bin Ash

Selasa, 02 Juli 2024 - 05:15 WIB
loading...
Kisah Panglima Perang...
Panglima perang Romawi Muqauqis berkirim surat ancaman kepada Amr bin Ash sebagai salah satu taktiknya. Ilustrasi: Ist
A A A
Kisah panglima tertinggi militer Romawi Muqauqis mengancam Amr bin Ash diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).

Dikisahkan, pada saat pasukan muslim di bawah komando Amr bin Ash mengepung benteng Babilon, Komandan tertinggi militer Romawi, Muqauqis, ada di dalam benteng itu. Sedangkan pimpinan pasukan di benteng itu adalah seorang komandan Romawi yang oleh sejarawan-sejarawan Arab disebut "al-A'iraj," dan menurut dugaan Butler penamaan ini merupakan pelencengan dari nama "George."

Semua pimpinan pasukan dalam benteng itu orang-orang Romawi, hanya sebagian kecil orang Kopti; mungkin hanya untuk menjadi pelayan-pelayan mereka.



Pihak Romawi dalam benteng itu menembaki pasukan Arab dengan manjaniq, yang dibalas oleh pihak Arab dengan lemparan batu dan panah.

Pengepungan itu berlangsung selama satu bulan dengan semangat yang tidak berkurang serta tetap tabah dan sabar. Muqauqis dan kawan-kawannya melihat bahwa luapan air Sungai Nil sudah mulai turun karena sudah mulai memasuki bulan Oktober tahun 640 M.

Mereka mengadakan rapat diam-diam untuk merundingkan persoalan itu, dan Muqauqis juga memberikan pendapatnya, bahwa menurut hematnya, selama beberapa bulan ini bala bantuan itu tak akan kunjung datang untuk melepaskan mereka dari pengepungan.

Dalam pada itu pihak Arab akan makin memperketat dan hanya akan membuat mereka makin menderita. Betapa tak akan terjadi demikian, sebelum itu pasukan mereka di Farama, di Balbis, di Umm Dunain, Fayyum dan di Ain Syams sudah habis dihancurkan.

Kini mereka mengepungnya pula dalam keadaan mereka tidak mampu untuk dapat mengatasinya. Bukankah tidak lebih baik mereka menebus diri mereka dengan harta supaya orang-orang Arab itu pergi dan Mesir kembali ke tangan Raja Romawi?!



Setelah Muqauqis mengemukakan argumen­-argumennya dengan retorika yang begitu menarik semua mereka yang hadir ketika itu setuju. Tetapi mereka berpendapat lebih baik jika diadakan perundingan secara rahasia dengan pihak Arab tanpa harus diketahui oleh mereka yang mempertahankan benteng itu, dan supaya Muqauqis sendiri yang melakukan hal itu.

Setelah malam gelap Muqauqis dan kawan-kawannya keluar diam-diam dari benteng. Dengan naik kapal mereka pergi ke Jazirat ar-Raudah dan begitu sampai ia menulis surat kepada Amr bin Ash yang dibawa oleh seorang uskup benteng Babilon dan rombongannya, yang isinya:

"Kalian telah menjelajahi negeri kami dan berkeras hendak memerangi kami. Kalian sudah lama tinggal di tanah kami. Tetapi sebenarnya kalian sebuah kelompok kecil. Romawi sudah membayangi kalian dan mempunyai perlengkapan dan persenjataan yang cukup untuk menghadapi kalian. Dengan Sungai Nil yang mengepung kalian, sebenarnya dengan itu kalian sudah berada dalam tawanan kami. Maka sekarang utuslah orang-orang kalian kepada kami, karena ingin kami mendengar apa yang akan mereka katakan, dengan harapan kalau-kalau ada hal-hal yang dapat kalian terima dan kami terima dengan menyenangkan, serta menghentikan pertempuran sebelum kalian diserbu oleh pasukan Romawi.

Tak perlu kita banyak bicara dan tak akan kami pertimbangkan. Mungkin kalian akan menyesal jika keadaan ini bertentangan dengan tuntutan dan harapan kalian. Utuslah orang-orang dari staf kalian kepada kami. Kami akan menyampaikan kepada mereka apa yang seperlunya dapat kami terima dan dapat mereka terima."



Tentu Muqauqis menunggu para utusannya itu akan kembali hari itu juga dengan membawa balasan dari Amr bin Ash. Balasan itu akan memperjelas perundingan itu diterima atau ditolak. Kalau ditolak, mereka akan kembali ke posisi masing-masing dan pertempuran pun akan kembali seperti sediakala.

Kalau diterima, masing-masing pihak akan memilih juru rundingnya untuk mencapai perdamaian, jika mungkin. Tetapi para utusan Muqauqis itu tertahan selama dua hari penuh.

Dengan diliputi rasa khawatir akan hal itu ia berkata kepada stafnya: "Mungkin mereka menahan utusan-utusan kami atau membunuh mereka dan yang demikian ini dibolehkan dalam agama mereka!"

Akan tetapi, sebenarnya Amr menahan mereka untuk memperlihatkan keadaan Muslimin. Sesudah dua hari itu mereka kembali dengan membawa surat Amr kepada Muqauqis di tangan pemimpin mereka dengan menyebutkan:

"Hanya ada tiga masalah yang perlu diselesaikan antara kami dengan kalian: Kalian menerima Islam dan kalian akan menjadi saudara-­saudara kami; hak dan kewajiban kita sama. Atau kalian tolak dengan membayar jizyah dengan bersedia tunduk dan kalian di bawah kekuasaan kami. Atau kami akan menghadapi kalian dengan sabar dan terus bertempur sampai nanti Allah yang akan menentukan, dan Dialah Hakim Pemberi keputusan yang terbaik."

Muqauqis terkejut sekali setelah mendengar itu. Ini bukan jawaban orang yang mau berunding. Malah ini adalah jawaban pihak yang menang yang hendak menentukan kekuasaannya. Tetapi betapa sombong mereka itu atau betapa besar kepercayaan kepada diri sendiri.

Tak ada jalan untuk membujuk mereka dengan harta atau dengan cara lain. Ia menanyakan kepada para utusannya itu apa yang mereka saksikan.



Kepala utusan itu menjawab: "Kami lihat mereka orang-orang yang lebih mencintai mati daripada hidup; mereka lebih suka bersikap rendah hati daripada menyombongkan diri. Tak ada di antara mereka yang tampak mau memburu harta dunia. Duduk mereka hanya di tanah, makan di atas kendaraan, pemimpin mereka sama seperti yang lain. Mereka tidak mengenal atasan dan bawahan, tak ada tuan tak ada hamba. Bila waktu salat sudah tiba tak seorang pun ada yang ketinggalan. Mereka membasuh badan mereka dengan air dan begitu khusyuk mereka melaksanakan salat."

Mendengar uraian itu Muqauqis hanya menundukkan kepala. Setelah itu kepalanya diangkat dan berkata kepada stafnya: "Kalau mereka menghadapi gunung pun pasti dapat mereka singkirkan. Tidak akan ada orang yang mampu menghadapi mereka dalam perang. Kalau kita tidak mengambil kesempatan berdamai dengan mereka sekarang sementara mereka sedang terkepung dengan Sungai Nil ini, mereka tidak lagi akan menjawab kita selama bumi ini memungkinkan buat mereka menyiapkan diri keluar dari tempat mereka itu."

Apakah karena moral Muqauqis cenderung menjadi lemah maka ia mau mengulur-ulur jawaban serupa itu? Atau ia ingin membujuk pihak Arab dengan menawarkan kemurahan hati yang demikian untuk menggoda hati mereka lalu mereka bersedia meninggalkan tanah Mesir?

Muqauqis mengirim kembali utusannya kepada Muslimin dengan pesan: "Kirimkanlah utusan kalian kepada kami agar kami dapat berhubungan dengan mereka dan kami akan bertukar pikiran dengan harapan akan ada persesuaian antara kami dengan kalian."



Permintaan itu tidak ditolak oleh Amr. Ia mengirimkan sepuluh orang, di antaranya Ubadah bin as-Samit, sosok yang berperawakan tinggi besar dan hitam. Ia diperintahkan untuk berunding dengan pihak Muqauqis, dan jangan menerima apa pun yang ditawarkan kecuali satu dari tiga perkara itu.

Mereka datang menemui Muqauqis, dan ketika Ubadah hendak mengajaknya bicara dan Muqauqis melihatnya, ia berkata: "Jauhkan orang hitam ini dan majukan yang lain berbicara dengan saya."

Dengan itu barangkali ia ingin menjebak mereka agar berselisih. Tetapi jawaban mereka semua sama bahwa mereka hanya menyerahkan kepada pendapat dan apa yang akan dikatakan Ubadah.

Setelah itu Ubadah berkata dan mengingatkan pada perintah Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Muslimin agar menjauhi godaan dunia, mengharapkan kehidupan akhirat serta berjuang di jalan Allah dan mencintai mati syahid untuk itu.

Muqauqis kagum mendengar kata-katanya itu, dan kekagumannya itu diperlihatkan kepada teman-temannya. Lalu katanya kepada Ubadah:

"Semua pasukan Romawi sekarang sedang menuju ke tempat kami untuk memerangi kalian dalam jumlah yang tak terbilang banyaknya. Mereka sudah terkenal pemberani dan keras tanpa peduli akan berhadapan dan berperang dengan siapa pun. Kami tahu kalian tidak akan mampu menghadapi mereka karena kalian lemah dan jumlah kalian kecil.



Sudah satu bulan kalian tinggal di tengah-tengah kami dalam keadaan serba sulit. Kami kasihan kepada kalian karena keadaan kalian lemah dan jumlah yang kecil serta sedikitnya persediaan kalian. Maka demi kebaikan kalian dengan segala senang sekali kami akan memberikan kepada setiap orang di antara kalian dua dinar, bagi pemimpin kalian seratus dinar dan untuk khalifah kalian seribu dinar. Terimalah itu dan kembalilah ke negeri kalian sebelum kalian berhadapan dengan serangan yang tak akan mampu kalian menahannya."

Kata-kata itu berisi janji, bujukan dan ancaman sekaligus. Tiga puluh ribu dinar yang ditawarkan kepada Ubadah ini sebagai harga pengganti perang. Kalau ditolak, mereka diancam oleh bala bantuan Romawi seperti dikatakan oleh Muqauqis. Tetapi perintah Amr kepada Ubadah tegas sekali, dan Ubadah sendiri seorang pemberani yang tak pernah takut mati.

Oleh karena itu ia menjawab Muqauqis sambil mengejek banyaknya jumlah pasukan Romawi dengan menyebutkan firman Allah ini: "Betapa sering pasukan yang kecil dapat mengalahkan pasukan yang besar dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang yang tabah." (Qur'an, 2: 249).

Laki-laki Muslim setiap pagi dan petang berdoa kepada Allah agar ia diberi karunia dengan mati syahid. Di amping itu hidup mereka cukup dan mereka dalam keadaan sangat baik.

Pertimbangkanlah apa yang Anda inginkan dan jelaskan kepada kami. Tak ada perkara apa pun yang dapat kami terima dari Anda atau kami jawab selain satu dari yang tiga itu. Pilihlah mana yang lebih Anda sukai dan janganlah Anda berangan-angan. Itulah perintah yang saya terima dari pemimpin kami, dan begitu pula perintah Amirulmukinin. Sebelum itu, itulah pula amanat Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami."



Kemudian dijelaskannya bahwa jika mereka menerima Islam, pasukan Arab itu akan meninggalkan tempat itu. Kalau mereka menolak Islam dan menunaikan jizyah, Muslimin akan menjamin dan melindungi mereka dan akan membela mereka. Kalau Islam dan jizyah keduanya mereka tolak, maka yang keputusannya hanyalah perang.

Muqauqis sia-sia berusaha agar Ubadah mengenyampingkan ketiga perkara itu. Ia berpaling kepada stafnya ingin mengetahui pendapat mereka. Tetapi tawaran pihak Muslimin itu mereka tolak.

Ubadah dan sahabat-sahabatnya pun pergi tanpa mengubah sepatah kata pun apa yang sudah dikatakannya itu.

Muqauqis kembali menasihati stafnya akan perlunya mengadakan perdamaian dengan pihak Muslimin. Tetapi mereka berbalik menanyakan: "Bagian mana yang akan kita jawab untuk mereka?"

"Begini," kata Muqauqis, "saya tidak akan menyuruh kalian memeluk agama lain selain agama kalian. Kalau akan bertempur melawan mereka, saya tahu kalian tidak akan kuat dan tidak akan sabar dan tabah seperti mereka. Jadi harus yang ketiga."



Mereka berkata lagi: "Kita akan menjadi budak mereka untuk selama-lamanya!"

"Ya, menjadi budak yang berkuasa di negeri kita sendiri. Jiwa kita, harta kita dan anak keturunan kita aman, lebih baik daripada akhirnya kita mati atau menjadi budak yang diperjualbelikan di negeri ini, diperbudak selama-selamanya, kita, keluarga kita dan anak keturunan kita."

Mereka masih menjawab: "Buat kita lebih baik mati daripada begini!"

Lalu mereka kembali ke dalam benteng dan jembatan pun mereka putuskan dari jazirah dengan akibat perang pecah kembali antara mereka dengan pihak Muslimin.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1843 seconds (0.1#10.140)