Makna Menjadikan Allah sebagai Wakil Menurut Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil.
Ketika menjadikan Allah SWT sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Menurut Quraish, perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. Perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah."
Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah : "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman."
Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun harus percaya bahwa: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan (kesalahan) dirimu sendiri". ( QS An-Nisa' [4] : 79).
Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.
Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah: "Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat." ( QS Al-Fatihah [1] : 7).
Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada Allah.
Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim as: "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." ( QS Asy-Syu'ara' [26] : 80).
Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".
Sekali lagi, kata Quraish bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa as bersama seorang hamba pilihan Allah (Khidir as).
Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap "Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82), karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu.
Ketika Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81).
Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak dengan yang lebih baik.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil.
Ketika menjadikan Allah SWT sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Menurut Quraish, perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. Perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah."
Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah : "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman."
Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun harus percaya bahwa: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan (kesalahan) dirimu sendiri". ( QS An-Nisa' [4] : 79).
Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.
Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah: "Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat." ( QS Al-Fatihah [1] : 7).
Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada Allah.
Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim as: "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." ( QS Asy-Syu'ara' [26] : 80).
Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".
Sekali lagi, kata Quraish bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa as bersama seorang hamba pilihan Allah (Khidir as).
Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap "Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82), karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu.
Ketika Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81).
Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak dengan yang lebih baik.
(mhy)