Makna Menjadikan Allah sebagai Wakil Menurut Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73) ayat 9:
rabbul-masyriqi wal-maghribi lâ ilâha illâ huwa fattakhidz-hu wakîlâ
"(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung)."
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) menjelaskan kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakala-yakilu" yang berarti mewakilkan.
Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.
Quraish mengatakan makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh.
Pertama sekali harus diingat bahwa keyakinan tentang Keesaan Allah antara lain berarti bahwa perbuatan-Nya esa, sehingga tidak dapat disamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama.
Sebagai contoh, Allah Maha Pengasih (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim).
Kedua sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu akan berakibat gugurnya makna keesaan.
Allah SWT, yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Benar bahwa wakil diharapkan dan dituntut untuk memenuhi kehendak yang mewakilkan. Namun, karena dalam perwakilan manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja orang yang mewakilkan tidak menyetujui atau membatalkan tindakan sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia merasa--berdasarkan pengetahuan dan keinginannya-- tindakan sang wakil merugikan.
Jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia telah menyadari keterbatasan dirinya, dan menyadari pula Kemahamutlakan Allah SWT.
Oleh karena itu, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan.
"Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui" ( QS Al-Baqarah : 216).
"Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." ( QS Al-Ahzab [33] : 36).
Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil.
Ketika menjadikan Allah SWT sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Menurut Quraish, perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. Perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah."
Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah : "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman."
Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun harus percaya bahwa: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan (kesalahan) dirimu sendiri". ( QS An-Nisa' [4] : 79).
Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.
Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah: "Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat." ( QS Al-Fatihah [1] : 7).
Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada Allah.
Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim as: "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." ( QS Asy-Syu'ara' [26] : 80).
Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".
Sekali lagi, kata Quraish bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa as bersama seorang hamba pilihan Allah (Khidir as).
Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap "Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82), karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu.
Ketika Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81).
Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak dengan yang lebih baik.
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا
rabbul-masyriqi wal-maghribi lâ ilâha illâ huwa fattakhidz-hu wakîlâ
"(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung)."
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) menjelaskan kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakala-yakilu" yang berarti mewakilkan.
Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.
Quraish mengatakan makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh.
Pertama sekali harus diingat bahwa keyakinan tentang Keesaan Allah antara lain berarti bahwa perbuatan-Nya esa, sehingga tidak dapat disamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama.
Sebagai contoh, Allah Maha Pengasih (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim).
Kedua sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu akan berakibat gugurnya makna keesaan.
Allah SWT, yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Baca Juga
Benar bahwa wakil diharapkan dan dituntut untuk memenuhi kehendak yang mewakilkan. Namun, karena dalam perwakilan manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja orang yang mewakilkan tidak menyetujui atau membatalkan tindakan sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia merasa--berdasarkan pengetahuan dan keinginannya-- tindakan sang wakil merugikan.
Jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia telah menyadari keterbatasan dirinya, dan menyadari pula Kemahamutlakan Allah SWT.
Oleh karena itu, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan.
"Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui" ( QS Al-Baqarah : 216).
"Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." ( QS Al-Ahzab [33] : 36).
Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil.
Ketika menjadikan Allah SWT sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Menurut Quraish, perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. Perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah."
Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah : "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman."
Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun harus percaya bahwa: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan (kesalahan) dirimu sendiri". ( QS An-Nisa' [4] : 79).
Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.
Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah: "Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat." ( QS Al-Fatihah [1] : 7).
Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada Allah.
Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim as: "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." ( QS Asy-Syu'ara' [26] : 80).
Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".
Sekali lagi, kata Quraish bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa as bersama seorang hamba pilihan Allah (Khidir as).
Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap "Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82), karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu.
Ketika Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81).
Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak dengan yang lebih baik.
(mhy)