Kisah Utsman bin Affan Melanjutkan Politik Pembebasan Umar bin Khattab
loading...
A
A
A
Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga yang berkuasa pada tahun 644 sampai 656 dan merupakan Khulafaur Rasyidin dengan masa kekuasaan terlama. Sama seperti dua pendahulunya, Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab , Utsman termasuk salah satu sahabat utama Nabi Muhammad SAW .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan begitu Utsman dilantik sebagai khalifah, ia berjanji kepada seluruh daerah akan meneruskan kebijakan pendahulunya.
"Dia tetap mengukuhkan semua pejabat di kawasan mereka itu, tak seorang pun ada yang dipecat atau dipindahkan ke tempat lain dari daerah mereka saat Umar bin Khattab mati syahid," tulis Haekal.
Dibiarkannya Nafi' bin Abdul-Haris al-Khuza'i untuk Makkah, Sufyan bin Abdullah as-Saqafi untuk Ta'if, Ya'Ia bin Mun-yah untuk San'a, Utsman bin Abi al-As as-Saqafi untuk Bahrain dan sekitarnya, Mugirah bin Syu'bah untuk Kufah, Abu Musa al-Asy'ari untuk Basrah, Mu'awiyah bin Abi Sufyan untuk Damsyik, Umair bin Sa'd untuk Hims, Amr bin al-As untuk Mesir dan Abdullah bin Abi Rabi'ah untuk Janad.
Hanya saja, sebuah sumber menyebutkan bahwa Utsman memecat Mugirah bin Syu'bah begitu ia dibaiat, dan menggantikannya dengan Sa'd bin Abi Waqqas .
Sumber lain menyebutkan bahwa Umar bin Khattab berpesan kepada khalifah yang sesudahnya supaya pejabat-pejabat itu dibiarkan selama setahun.
Oleh karena itu, Utsman membiarkan Mugirah itu selama setahun, kemudian menggantikannya dengan Sa'd bin Abi Waqqas. "Sumber ini lebih cermat daripada yang pertama dan lebih cocok dengan bawaan dan politik Usman pada permulaan pemerintahannya," tutur Haekal.
Utsman berjanji kepada Abdur-Rahman bin Auf menjelang pelantikannya, bahwa dia akan bekerja atas dasar Kitabullah dan Sunah Rasulullah serta meneladani kedua Khalifah sebelumnya.
Haekal mengatakan tidak mudah bagi Utsman dan bagi siapa pun dalam situasi yang begitu gawat ketika Umar terbunuh, untuk mengambil langkah lain daripada harus menunggu dan mengikuti situasi serta apa yang mungkin terjadi terhadap dirinya.
Perselisihan orang-orang Arab yang tinggal di Basrah dan Kufah masih berkepanjangan. Dari kedua kota itu masing-masing mau cepat-cepat mendukung pejabat Khalifah di kota itu, sehingga dalam mengangkat pejabat-pejabatnya Umar sering mengatakan: "Cobalah kemukakan suatu cara yang dapat saya gunakan untuk memperbaiki masyarakat dalam menggantikan seorang pejabat."
Ketika itu Yazdigird raja Persia masih tinggal di Fergana, ibu kota Turki di Samarkand sedang menunggu-nunggu kesempatan untuk kembali ke negerinya dan memerangi Muslimin.
Romawi pun yang keadaannya sudah agak tenang di ibu kota Konstantinopel, juga sedang menunggu kesempatan untuk mengadakan balas dendam dan serangan baru ke Syam dan Mesir.
Di samping semua itu belum hilang dari ingatan bahwa pasukan Muslimin di berbagai daerah di kawasan Persia, di Barqah (Cyrenaica) dan di selatan Mesir selalu siap siaga untuk menghadapi musuh dalam perang reguler atau yang semacam perang urat saraf.
Utsman sendiri tidak akan lalai mengenai hal ini. Sebagian besar perhatiannya harus ditujukan ke sana. Soalnya, peristiwa-peristiwa itu tidak mengharuskan Umar dengan politik pembebasannya di perbatasan-perbatasan yang sudah berada dalam perjanjian perdamaian dengan musuh-musuhnya itu - Persia dan Romawi - untuk menghormatinya.
Menurut Haekal, terpaksa kondisi itu memaksa Utsman meneruskan politik itu, yang sampai pada waktu Umar bin Khattab terbunuh, pasukannya masih bertahan di ujung perbatasan-perbatasan Persia dan Mesir.
Khalifah tidak seharusnya akan merombak itu, kalau tidak, seluruh Kedaulatan akan terancam runtuh. Berjaga-jaga terhadap keadaan demikian merupakan beban yang luar biasa beratnya yang harus dihadapi oleh Khalifah ketiga, begitu ia dibaiat.
Pihak Persia dan Romawi tahu keadaan pihak Arab yang akan membuat beban itu terasa makin berat.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan begitu Utsman dilantik sebagai khalifah, ia berjanji kepada seluruh daerah akan meneruskan kebijakan pendahulunya.
"Dia tetap mengukuhkan semua pejabat di kawasan mereka itu, tak seorang pun ada yang dipecat atau dipindahkan ke tempat lain dari daerah mereka saat Umar bin Khattab mati syahid," tulis Haekal.
Dibiarkannya Nafi' bin Abdul-Haris al-Khuza'i untuk Makkah, Sufyan bin Abdullah as-Saqafi untuk Ta'if, Ya'Ia bin Mun-yah untuk San'a, Utsman bin Abi al-As as-Saqafi untuk Bahrain dan sekitarnya, Mugirah bin Syu'bah untuk Kufah, Abu Musa al-Asy'ari untuk Basrah, Mu'awiyah bin Abi Sufyan untuk Damsyik, Umair bin Sa'd untuk Hims, Amr bin al-As untuk Mesir dan Abdullah bin Abi Rabi'ah untuk Janad.
Hanya saja, sebuah sumber menyebutkan bahwa Utsman memecat Mugirah bin Syu'bah begitu ia dibaiat, dan menggantikannya dengan Sa'd bin Abi Waqqas .
Sumber lain menyebutkan bahwa Umar bin Khattab berpesan kepada khalifah yang sesudahnya supaya pejabat-pejabat itu dibiarkan selama setahun.
Oleh karena itu, Utsman membiarkan Mugirah itu selama setahun, kemudian menggantikannya dengan Sa'd bin Abi Waqqas. "Sumber ini lebih cermat daripada yang pertama dan lebih cocok dengan bawaan dan politik Usman pada permulaan pemerintahannya," tutur Haekal.
Utsman berjanji kepada Abdur-Rahman bin Auf menjelang pelantikannya, bahwa dia akan bekerja atas dasar Kitabullah dan Sunah Rasulullah serta meneladani kedua Khalifah sebelumnya.
Haekal mengatakan tidak mudah bagi Utsman dan bagi siapa pun dalam situasi yang begitu gawat ketika Umar terbunuh, untuk mengambil langkah lain daripada harus menunggu dan mengikuti situasi serta apa yang mungkin terjadi terhadap dirinya.
Perselisihan orang-orang Arab yang tinggal di Basrah dan Kufah masih berkepanjangan. Dari kedua kota itu masing-masing mau cepat-cepat mendukung pejabat Khalifah di kota itu, sehingga dalam mengangkat pejabat-pejabatnya Umar sering mengatakan: "Cobalah kemukakan suatu cara yang dapat saya gunakan untuk memperbaiki masyarakat dalam menggantikan seorang pejabat."
Ketika itu Yazdigird raja Persia masih tinggal di Fergana, ibu kota Turki di Samarkand sedang menunggu-nunggu kesempatan untuk kembali ke negerinya dan memerangi Muslimin.
Romawi pun yang keadaannya sudah agak tenang di ibu kota Konstantinopel, juga sedang menunggu kesempatan untuk mengadakan balas dendam dan serangan baru ke Syam dan Mesir.
Di samping semua itu belum hilang dari ingatan bahwa pasukan Muslimin di berbagai daerah di kawasan Persia, di Barqah (Cyrenaica) dan di selatan Mesir selalu siap siaga untuk menghadapi musuh dalam perang reguler atau yang semacam perang urat saraf.
Utsman sendiri tidak akan lalai mengenai hal ini. Sebagian besar perhatiannya harus ditujukan ke sana. Soalnya, peristiwa-peristiwa itu tidak mengharuskan Umar dengan politik pembebasannya di perbatasan-perbatasan yang sudah berada dalam perjanjian perdamaian dengan musuh-musuhnya itu - Persia dan Romawi - untuk menghormatinya.
Menurut Haekal, terpaksa kondisi itu memaksa Utsman meneruskan politik itu, yang sampai pada waktu Umar bin Khattab terbunuh, pasukannya masih bertahan di ujung perbatasan-perbatasan Persia dan Mesir.
Khalifah tidak seharusnya akan merombak itu, kalau tidak, seluruh Kedaulatan akan terancam runtuh. Berjaga-jaga terhadap keadaan demikian merupakan beban yang luar biasa beratnya yang harus dihadapi oleh Khalifah ketiga, begitu ia dibaiat.
Pihak Persia dan Romawi tahu keadaan pihak Arab yang akan membuat beban itu terasa makin berat.