Kisah Muhammadiyah Menghadapi 3 Front: Modernisme, Tradisionalisme dan Jawaisme
loading...
A
A
A
Mengenai model jawaban terhadap tradisionalisme, KH Ahmad Dahlan menggunakan tabligh (penyampaian) dengan mengunjungi murid-muridnya, lebih daripada menunggu mereka datang.
Padahal waktu itu “guru mencari murid” adalah aib sosial-budaya. KH Ahmad Dahlan yang menjadi Ketua Hoofd-Bestuur Muhammadiyah, beberapa tahun kemudian bermukim di Makkah, relatif cukup umur (lahir 1868), khatib Mesjid Besar Kesultanan, anggota pengadilan agama Kesultanan, penasehat agama CSI, dan sebenarnya sudah berhak menjadi guru yang didatangi murid.
Akan tetapi tidak, ia memilih mengunjungi para muridnya. Penampilannya tidak lebih dari guru mengaji masa kini. Surat kabar yag terbit di Solo, Bromartani, pada 2 Zulkaidah (?) 1915 memberitakan bahwa ia mengajar anak-anak perempuan di Solo, kemudian 8 September 1915 dia dikabarkan mengantar murid-murid berekreasi di Sri Wedari.”
Saat itu, “Tabligh yang sekarang tampak sebagai perbuatan biasa, pada waktu itu adalah perbuatan yang luar biasa.
Setidaknya tabligh mempunyai dua implikasi, yaitu perlawanan tak langsung terhadap idolatri (pemujaan tokoh) ulama dan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama (agama dibuat misterius). Seperti diketahui pada waktu itu kedudukan ulama dalam masyarakat sangat tinggi. Mereka adalah mediator antara manusia dan Tuhan, elite agama dalam masyarakat, dan guru yang menyampaikan agama. ...maka kedudukan sebagai mediator itulah yang terancam oleh kegiatan tabligh.
Tabligh menjadikan penyampai agama sebagai orang sehari-hari yang tidak keramat. Kegiatan menyiarkan agama telah dibuat kemanungsan, kekeramatan ulama badhar (batal) oleh tabligh. Monopoli ulama atas agama, yang dimungkinkan oleh budaya lisan, dihilangkan oleh tabligh.”
Selanjutnya tabligh juga merupakan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama, yaitu pengaburan agama, agama dianggap misterius, tinggi, dan adiluhung yang hanya patut diajarkan oleh orang-orang terpilih (tuanku, guru, kiai, tuan guru).
Dengan tabligh agama yang semula misterius menjadi agama yang sederhana, terbuka, dan accesible bagi setiap orang.
Agama yang semula bersifat esoteris-mistis milik kaum virtuosi (spsialis) menjadi agama etis rasional milik orang awam.”
Menghadapi Jawaisme KH Ahmad Dahlan menggunakan metode positive action (...mengedepankan amar makruf) dan tidak secara frontal menyerangnya (nahi munkar).
Dalam Suwara Muhammadiyah Tahun 1, Nomor 2, 1915 dalam artikel tentang macam-macam salat sunnah, ia menyebutkan bahwa keberuntungan (begjo, rahayu) itu semata-mata karena kehendak Tuhan, dan salat sunah adalah salah satu jalan meraihnya.
Itu berarti bahwa keberuntungan tidak disebabkan oleh pesugihan (jimat kaya), minta-minta di kuburan keramat, dan memelihara tuyul.
Itu berarti pula sebuah demitologisasi, karena mitos-mitos ditolak. Rupanya ia sadar betul bahwa cita-cita kemajuan yang waktu itu sedang populer akan mendapat tempat, sehingga tahayul diberantas selanjutnya dengan sendirinya hilang.
Perhatian utama Muhammadiyah di awal kebangunannya terletak pada usaha terkait pemberdayaan dan pemihakan kaum fakir-miskin dari kaum pinggiran atau mustadl’afin, si Ma’un.
Hampir seluruh kegiatannya dalam bidang pendidikan, tabligh, kesehatan dan kepustakaan terfokus pada pemberdayaan dan pemihakan terhadap kaum fakir-miskin atau si Ma’un tersebut.
Baru dalam perkembangannya di kemudian hari, usaha tersebut tampak kurang lagi menjadi perhatian utama, berbeda dari fokus gerakan ini pada periode generasi pendirinya, yaitu pada masa Kiai Ahmad Dahlan.
Kegiatan dan fokus gerakan Muhammadiyah di awal kebangunannya tersebut di atas adalah respons terhadap kenyataan objektif kehidupan umat pemeluk Islam dan warga negeri Hindia Timur saat itu.
Padahal waktu itu “guru mencari murid” adalah aib sosial-budaya. KH Ahmad Dahlan yang menjadi Ketua Hoofd-Bestuur Muhammadiyah, beberapa tahun kemudian bermukim di Makkah, relatif cukup umur (lahir 1868), khatib Mesjid Besar Kesultanan, anggota pengadilan agama Kesultanan, penasehat agama CSI, dan sebenarnya sudah berhak menjadi guru yang didatangi murid.
Akan tetapi tidak, ia memilih mengunjungi para muridnya. Penampilannya tidak lebih dari guru mengaji masa kini. Surat kabar yag terbit di Solo, Bromartani, pada 2 Zulkaidah (?) 1915 memberitakan bahwa ia mengajar anak-anak perempuan di Solo, kemudian 8 September 1915 dia dikabarkan mengantar murid-murid berekreasi di Sri Wedari.”
Saat itu, “Tabligh yang sekarang tampak sebagai perbuatan biasa, pada waktu itu adalah perbuatan yang luar biasa.
Setidaknya tabligh mempunyai dua implikasi, yaitu perlawanan tak langsung terhadap idolatri (pemujaan tokoh) ulama dan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama (agama dibuat misterius). Seperti diketahui pada waktu itu kedudukan ulama dalam masyarakat sangat tinggi. Mereka adalah mediator antara manusia dan Tuhan, elite agama dalam masyarakat, dan guru yang menyampaikan agama. ...maka kedudukan sebagai mediator itulah yang terancam oleh kegiatan tabligh.
Tabligh menjadikan penyampai agama sebagai orang sehari-hari yang tidak keramat. Kegiatan menyiarkan agama telah dibuat kemanungsan, kekeramatan ulama badhar (batal) oleh tabligh. Monopoli ulama atas agama, yang dimungkinkan oleh budaya lisan, dihilangkan oleh tabligh.”
Selanjutnya tabligh juga merupakan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama, yaitu pengaburan agama, agama dianggap misterius, tinggi, dan adiluhung yang hanya patut diajarkan oleh orang-orang terpilih (tuanku, guru, kiai, tuan guru).
Dengan tabligh agama yang semula misterius menjadi agama yang sederhana, terbuka, dan accesible bagi setiap orang.
Agama yang semula bersifat esoteris-mistis milik kaum virtuosi (spsialis) menjadi agama etis rasional milik orang awam.”
Menghadapi Jawaisme KH Ahmad Dahlan menggunakan metode positive action (...mengedepankan amar makruf) dan tidak secara frontal menyerangnya (nahi munkar).
Dalam Suwara Muhammadiyah Tahun 1, Nomor 2, 1915 dalam artikel tentang macam-macam salat sunnah, ia menyebutkan bahwa keberuntungan (begjo, rahayu) itu semata-mata karena kehendak Tuhan, dan salat sunah adalah salah satu jalan meraihnya.
Itu berarti bahwa keberuntungan tidak disebabkan oleh pesugihan (jimat kaya), minta-minta di kuburan keramat, dan memelihara tuyul.
Itu berarti pula sebuah demitologisasi, karena mitos-mitos ditolak. Rupanya ia sadar betul bahwa cita-cita kemajuan yang waktu itu sedang populer akan mendapat tempat, sehingga tahayul diberantas selanjutnya dengan sendirinya hilang.
Perhatian utama Muhammadiyah di awal kebangunannya terletak pada usaha terkait pemberdayaan dan pemihakan kaum fakir-miskin dari kaum pinggiran atau mustadl’afin, si Ma’un.
Hampir seluruh kegiatannya dalam bidang pendidikan, tabligh, kesehatan dan kepustakaan terfokus pada pemberdayaan dan pemihakan terhadap kaum fakir-miskin atau si Ma’un tersebut.
Baru dalam perkembangannya di kemudian hari, usaha tersebut tampak kurang lagi menjadi perhatian utama, berbeda dari fokus gerakan ini pada periode generasi pendirinya, yaitu pada masa Kiai Ahmad Dahlan.
Kegiatan dan fokus gerakan Muhammadiyah di awal kebangunannya tersebut di atas adalah respons terhadap kenyataan objektif kehidupan umat pemeluk Islam dan warga negeri Hindia Timur saat itu.