Kisah Tabi'in Ar-Rabi bin Khutsaim dan Nasihatnya yang Menyentuh Hati
loading...
A
A
A
"Bagaimana bisa pulih kesehatannya?" tanya Mundzir heran.
"Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya," ujar Ar-Rabi, sembari menatap kedua tamunya. "Waspadalah kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Allah Subhanahu wa Taala, segeralah datangkan obatnya!" lanjutnya.
"Apa obatnya?" tanya Mundzir lagi.
"Dengan taubat nasuha," ujar Ar-Rabi, lalu menangis hingga basah jenggotnya.
"Mengapa Anda menangis wahai Syaikh?" tanya Mundzir bernada heran.
"Bagaimana aku tidak menangis? Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para sahabat Nabi) di mana kedudukan kami dibanding mereka seakan sebagai pencuri," tutur Ar-Rabi.
Ketika mereka asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah seorang putra Ar-Rabi. Setelah memberi salam dia berkata: "Wahai ayah, ibu membuatkan roti yang manis dan lezat agar ayah mau memakannya, berkenankah ayah jika aku bawakan kemari?"
"Bawalah kemari," jawab beliau.
Pada saat putranya keluar, terdengar orang meminta-minta mengetuk pintu. "Suruhlah dia masuk," ujar Syaikh kepada Hilal dan Mundzir.
Pengemis itu ternyata lelaki tua yang berpakaian compang-camping. Air liurnya belepotan ke sana ke mari, terlihat dari wajahnya bahwa dia tidak begitu waras.
Hilal dan Mundzir memperhatikan lelaki itu hingga kemudian masuklah putra Syaikh Rabi membawa roti di tangannya. Ayahnya langsung mengisyaratkan agar roti tersebut diberikan kepada orang yang meminta-minta tersebut.
Roti itu diletakkan di tangan pengemis tersebut. Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang dimakannya. Dia melahapnya hingga habis tanpa sisa.
"Semoga Allah merahmati Ayah," ujar putra Syaikh begitu melihat apa yang terjadi. "Ibu telah bersusah payah untuk membuat roti itu untuk Ayah, kami sangat berharap agar Ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba Ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya," lanjutnya.
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." ( QS Ali Imran : 92)
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba datanglah seseorang yang masih terhitung sebagai kerabatnya dan berkata, "Wahai Abu Yazid, Hasan bin Fatimah terbunuh, semoga keselamatan tercurah atasnya dan juga ibunya."
"Innalillahi wa inna ilaihi raajiun," sambut Syaikh lalu membaca firman Allah Subhanahu wa Taala"
"Katakanlah, Wahai Allah, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkan." ( QS. Az-Zumar : 46)
Akan tetapi, rupanya orang itu belum puas dengan reaksi Syaikh, sehingga dia bertanya, "Bagaimana pendapat Anda tentang pembunuhnya?" Beliau berkata, "Kepada Allah dia kembali dan menjadi hak perhitungannya."
"Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya," ujar Ar-Rabi, sembari menatap kedua tamunya. "Waspadalah kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Allah Subhanahu wa Taala, segeralah datangkan obatnya!" lanjutnya.
"Apa obatnya?" tanya Mundzir lagi.
"Dengan taubat nasuha," ujar Ar-Rabi, lalu menangis hingga basah jenggotnya.
"Mengapa Anda menangis wahai Syaikh?" tanya Mundzir bernada heran.
"Bagaimana aku tidak menangis? Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para sahabat Nabi) di mana kedudukan kami dibanding mereka seakan sebagai pencuri," tutur Ar-Rabi.
Ketika mereka asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah seorang putra Ar-Rabi. Setelah memberi salam dia berkata: "Wahai ayah, ibu membuatkan roti yang manis dan lezat agar ayah mau memakannya, berkenankah ayah jika aku bawakan kemari?"
"Bawalah kemari," jawab beliau.
Pada saat putranya keluar, terdengar orang meminta-minta mengetuk pintu. "Suruhlah dia masuk," ujar Syaikh kepada Hilal dan Mundzir.
Pengemis itu ternyata lelaki tua yang berpakaian compang-camping. Air liurnya belepotan ke sana ke mari, terlihat dari wajahnya bahwa dia tidak begitu waras.
Hilal dan Mundzir memperhatikan lelaki itu hingga kemudian masuklah putra Syaikh Rabi membawa roti di tangannya. Ayahnya langsung mengisyaratkan agar roti tersebut diberikan kepada orang yang meminta-minta tersebut.
Roti itu diletakkan di tangan pengemis tersebut. Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang dimakannya. Dia melahapnya hingga habis tanpa sisa.
"Semoga Allah merahmati Ayah," ujar putra Syaikh begitu melihat apa yang terjadi. "Ibu telah bersusah payah untuk membuat roti itu untuk Ayah, kami sangat berharap agar Ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba Ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya," lanjutnya.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." ( QS Ali Imran : 92)
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba datanglah seseorang yang masih terhitung sebagai kerabatnya dan berkata, "Wahai Abu Yazid, Hasan bin Fatimah terbunuh, semoga keselamatan tercurah atasnya dan juga ibunya."
"Innalillahi wa inna ilaihi raajiun," sambut Syaikh lalu membaca firman Allah Subhanahu wa Taala"
قُلِ اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِي مَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
"Katakanlah, Wahai Allah, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkan." ( QS. Az-Zumar : 46)
Akan tetapi, rupanya orang itu belum puas dengan reaksi Syaikh, sehingga dia bertanya, "Bagaimana pendapat Anda tentang pembunuhnya?" Beliau berkata, "Kepada Allah dia kembali dan menjadi hak perhitungannya."