Di Lembah Kedua: Pikiran Tak Bisa Tinggal Bersama Kedunguan Cinta
loading...
A
A
A
Musyawarah Burung (1184-1187) karya Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim atau Attar dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi . Judul asli: Mantiqu't-Thair dan diterjemahan Hartojo Andangdjaja dari The Conference of the Birds (C. S. Nott). (
)
==
Hudhud melanjutkan, "Lembah berikutnya ialah Lembah Cinta. Untuk memasukinya kita harus menjadi api yang menyala --begitulah dapat kukatakan. Kita sendiri harus menjadi api. Wajah pencinta harus menyala, mengilau dan berkobar-kobar bagai api. Cinta sejati tak mengenal pikiran-pikiran yang menyusul kemudian; dengan cinta, baik dan buruk pun tak ada lagi. ( )
Tetapi akan halnya kau, yang tak acuh dan tak peduli, pembicaraanku ini tak akan menyentuhmu, bahkan tak akan terkerat oleh gigimu.
Siapa yang setia mempertaruhkan uang tunai, bahkan mempertaruhkan kepala, untuk menjadi satu dengan sahabatnya. Yang lain-lain puas dengan menjanjikan apa yang akan mereka lakukan untukmu besok. ( )
Bila ia yang memulai perjalanan ini tak mau melibatkan diri seutuhnya dan sepenuhnya, ia tak akan bebas dari duka dan kemurungan yang memberatinya. Sebelum elang mencapai tujuannya, ia gelisah dan sedih. Jika ikan didamparkan ke pantai oleh ombak, ia menggelepar-gelepar hendak kembali ke dalam air. ( )
Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak bisa tinggal bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani.
Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari dunia yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi bila kau memandang segalanya dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah mengerti betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat mengorbankan satu." ( )
Koja Mabuk Cinta
Seorang Koja menjual segala yang ada padanya --perabotan, para hamba dan segalanya-- untuk membeli bir dari seorang penjual bir yang masih muda. Ia sama sekali jadi gila karena cinta akan penjual bir ini.
Ia selalu lapar karena bila ia diberi roti, dijualnya roti itu untuk membeli bir. Akhirnya seseorang bertanya padanya, "Bagaimana sebenarnya cinta yang membawa kau dalam keadaan yang patut disayangkan ini? Ceritakan padaku rahasianya!" ( )
"Cinta memang sedemikian itu," jawab orang Koja itu, "sehingga kita mau menjual barang dagangan dari seratus dunia untuk membeli bir. Selama kita tak memahami ini, kita tak akan pernah menghayati perasaan yang sejati tentang cinta."
Cerita tentang Majnun
Orang tua Laila melarang Majnun mendekati kemah mereka. Tetapi Majnun, yang dimabuk cinta, meminjam kulit domba dari seorang gembala di gurun, di mana suku Laila memancangkan kemahnya. ( )
Ia membungkukkan diri dan mengenakan kulit domba, lalu katanya pada gembala itu, "Dengan nama Tuhan, biarlah aku ikut merangkak di tengah domba-dombamu, kemudian bawalah kawanan domba itu melintasi kemah Laila, agar mudah-mudahan aku dapat mencium wewangiannya yang nikmat, dan dengan menyembunyikan diri dalam selubung kulit ini mudah-mudahan aku dapat mengusahakan sesuatu."
Gembala itu berbuat seperti yang dikehendaki Majnun, dan ketika mereka melintasi kemah Laila, Majnun melihat gadis itu, lalu pingsan. Si gembala kemudian menggotongnya dari kemah itu ke gurun, lalu menyiram mukanya dengan air untuk menyejukkan cintanya yang menyala.
Di hari lain, Majnun ada bersama beberapa kawannya di gurun, dan salah seorang bertanya padanya, "Bagaimana dapat kau, seorang yang terhormat, pergi ke mana-mana dengan bertelanjang saja? Biarlah kucari pakaian untukmu jika kau ingin."
Majnun berkata, "Tak ada pakaian yang kupakai akan layak bagi kekasihku, maka bagiku tiada yang lebih baik dari tubuhku yang telanjang atau selembar kulit domba. Laila, bagiku, seperti Ispand penangkal pengaruh jahat. Majnun tentulah akan senang memakai pakaian-pakaian sutera dan kain kencana, tetapi ia lebih suka dengan kulit domba ini, karena dengan memakai ini ia akan dapat melihat sepintas wajah Laila."
Cinta mestilah merobek-buangkan kehati-hatian. Cinta mengubah sikapmu. Mencinta adalah mengorbankan kehidupanmu yang biasa dan meninggalkan kesenangan-kesenanganmu yang menyolok mata.
Seorang Pengemis Mencintai Ayaz
Seorang darwis yang miskin suatu kali jatuh cinta pada Ayaz, dan kabar itu pun segera tersiar. Bila Ayaz berkuda di jalan yang bertaburkan wangian kesturi, darwis itu biasa menunggu dan kemudian lari mendapatkannya, lalu menatap padanya bagai pemain polo memancangkan matanya ke arah bola.
Akhirnya orang-orang pun melaporkan pada Mahmud tentang pengemis yang mencintai Ayaz ini. Suatu hari, ketika Ayaz berkuda bersama sultan, maka sultan berhenti dan memandang darwis itu dan terlihat olehnya bahwa jiwa Ayaz bagai sebutir gandum dan wajah darwis itu bagai bulatan tepung adonan yang melingkungi butir gandum itu.
Tampak padanya bahwa punggung pengemis itu bungkuk bagai tongkat pemukul bola polo, dan kepalanya berputar-putar sepenuhnya bagai bola dalam permainan polo.
Mahmud berkata, "Pengemis malang, inginkah kau minum dari satu gelas bersama Sultan?"
"Meskipun Tuan sebut hamba ini pengemis," jawab darwis itu, "namun hamba tak kalah dengan Tuanku dalam permainan cinta. Cinta dan kemiskinan sejalan. Tuan orang yang berdaulat, dan hati Tuan bercahaya; tetapi untuk cinta, hati yang menyala seperti hamba ini perlu. Cinta Tuan kelewat biasa. Hamba menderita kesedihan karena perpisahan. Tuan bersama sang kekasih; tetapi dalam bercinta kita harus mengenal bagaimana menderita kesedihan karena perpisahan."
==
Hudhud melanjutkan, "Lembah berikutnya ialah Lembah Cinta. Untuk memasukinya kita harus menjadi api yang menyala --begitulah dapat kukatakan. Kita sendiri harus menjadi api. Wajah pencinta harus menyala, mengilau dan berkobar-kobar bagai api. Cinta sejati tak mengenal pikiran-pikiran yang menyusul kemudian; dengan cinta, baik dan buruk pun tak ada lagi. ( )
Tetapi akan halnya kau, yang tak acuh dan tak peduli, pembicaraanku ini tak akan menyentuhmu, bahkan tak akan terkerat oleh gigimu.
Siapa yang setia mempertaruhkan uang tunai, bahkan mempertaruhkan kepala, untuk menjadi satu dengan sahabatnya. Yang lain-lain puas dengan menjanjikan apa yang akan mereka lakukan untukmu besok. ( )
Bila ia yang memulai perjalanan ini tak mau melibatkan diri seutuhnya dan sepenuhnya, ia tak akan bebas dari duka dan kemurungan yang memberatinya. Sebelum elang mencapai tujuannya, ia gelisah dan sedih. Jika ikan didamparkan ke pantai oleh ombak, ia menggelepar-gelepar hendak kembali ke dalam air. ( )
Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak bisa tinggal bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani.
Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari dunia yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi bila kau memandang segalanya dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah mengerti betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat mengorbankan satu." ( )
Koja Mabuk Cinta
Seorang Koja menjual segala yang ada padanya --perabotan, para hamba dan segalanya-- untuk membeli bir dari seorang penjual bir yang masih muda. Ia sama sekali jadi gila karena cinta akan penjual bir ini.
Ia selalu lapar karena bila ia diberi roti, dijualnya roti itu untuk membeli bir. Akhirnya seseorang bertanya padanya, "Bagaimana sebenarnya cinta yang membawa kau dalam keadaan yang patut disayangkan ini? Ceritakan padaku rahasianya!" ( )
"Cinta memang sedemikian itu," jawab orang Koja itu, "sehingga kita mau menjual barang dagangan dari seratus dunia untuk membeli bir. Selama kita tak memahami ini, kita tak akan pernah menghayati perasaan yang sejati tentang cinta."
Cerita tentang Majnun
Orang tua Laila melarang Majnun mendekati kemah mereka. Tetapi Majnun, yang dimabuk cinta, meminjam kulit domba dari seorang gembala di gurun, di mana suku Laila memancangkan kemahnya. ( )
Ia membungkukkan diri dan mengenakan kulit domba, lalu katanya pada gembala itu, "Dengan nama Tuhan, biarlah aku ikut merangkak di tengah domba-dombamu, kemudian bawalah kawanan domba itu melintasi kemah Laila, agar mudah-mudahan aku dapat mencium wewangiannya yang nikmat, dan dengan menyembunyikan diri dalam selubung kulit ini mudah-mudahan aku dapat mengusahakan sesuatu."
Gembala itu berbuat seperti yang dikehendaki Majnun, dan ketika mereka melintasi kemah Laila, Majnun melihat gadis itu, lalu pingsan. Si gembala kemudian menggotongnya dari kemah itu ke gurun, lalu menyiram mukanya dengan air untuk menyejukkan cintanya yang menyala.
Di hari lain, Majnun ada bersama beberapa kawannya di gurun, dan salah seorang bertanya padanya, "Bagaimana dapat kau, seorang yang terhormat, pergi ke mana-mana dengan bertelanjang saja? Biarlah kucari pakaian untukmu jika kau ingin."
Majnun berkata, "Tak ada pakaian yang kupakai akan layak bagi kekasihku, maka bagiku tiada yang lebih baik dari tubuhku yang telanjang atau selembar kulit domba. Laila, bagiku, seperti Ispand penangkal pengaruh jahat. Majnun tentulah akan senang memakai pakaian-pakaian sutera dan kain kencana, tetapi ia lebih suka dengan kulit domba ini, karena dengan memakai ini ia akan dapat melihat sepintas wajah Laila."
Cinta mestilah merobek-buangkan kehati-hatian. Cinta mengubah sikapmu. Mencinta adalah mengorbankan kehidupanmu yang biasa dan meninggalkan kesenangan-kesenanganmu yang menyolok mata.
Seorang Pengemis Mencintai Ayaz
Seorang darwis yang miskin suatu kali jatuh cinta pada Ayaz, dan kabar itu pun segera tersiar. Bila Ayaz berkuda di jalan yang bertaburkan wangian kesturi, darwis itu biasa menunggu dan kemudian lari mendapatkannya, lalu menatap padanya bagai pemain polo memancangkan matanya ke arah bola.
Akhirnya orang-orang pun melaporkan pada Mahmud tentang pengemis yang mencintai Ayaz ini. Suatu hari, ketika Ayaz berkuda bersama sultan, maka sultan berhenti dan memandang darwis itu dan terlihat olehnya bahwa jiwa Ayaz bagai sebutir gandum dan wajah darwis itu bagai bulatan tepung adonan yang melingkungi butir gandum itu.
Tampak padanya bahwa punggung pengemis itu bungkuk bagai tongkat pemukul bola polo, dan kepalanya berputar-putar sepenuhnya bagai bola dalam permainan polo.
Mahmud berkata, "Pengemis malang, inginkah kau minum dari satu gelas bersama Sultan?"
"Meskipun Tuan sebut hamba ini pengemis," jawab darwis itu, "namun hamba tak kalah dengan Tuanku dalam permainan cinta. Cinta dan kemiskinan sejalan. Tuan orang yang berdaulat, dan hati Tuan bercahaya; tetapi untuk cinta, hati yang menyala seperti hamba ini perlu. Cinta Tuan kelewat biasa. Hamba menderita kesedihan karena perpisahan. Tuan bersama sang kekasih; tetapi dalam bercinta kita harus mengenal bagaimana menderita kesedihan karena perpisahan."