Menderita Sakit Parah, Bolehkah Mengharap dan Meminta Mati Saja?

Selasa, 27 Oktober 2020 - 05:00 WIB
loading...
Menderita Sakit Parah, Bolehkah Mengharap dan Meminta Mati Saja?
Ilustrasi/Ist
A A A
BAGI sebagian orang kematian di anggap sebagai “momok” yang menakutkan. Namun ada sebagian manusia yang justru sedang mengharapkan hadirnya kematian. Sebab banyak musabab, diantaranya adalah ketika tumpukan harapan semuanya menjadi kesialan. Juga orang yang tengah sakit parah, lantaran sakitnya itu ia meminta segera mati. ( )

Dalam kondisi begitu, bolehkan bagi si sakit meminta kematian? Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: "Jangan sekali-kali seseorang diantara kamu mengharapkan kematian karena penderitaan yang dialaminya. Jika ia harus berbuat begitu, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu lebih baik bagiku; dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku." (Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5671, "Bab Tamanni al-Maridh al-Mauta;" dan Muslim dalam "adz-Dzikir wad-Du'a," hadits nomor 2680).

Hadis Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya menjelaskan hikmah larangan ini, maka Nabi SAW bersabda: "Dan jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu mengharapkan kematian, karena kalau ia orang baik maka boleh jadi akan menambah kebaikannya; dan jika ia orang yang jelek maka boleh jadi ia akan bertobat dengan tulus." (Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, nomor 5673)

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul Fatwa-Fatwa Kontemporer menjelaskan makna kata yasta'tibu ialah kembali dari segala sesuatu yang menjadikannya tercela, caranya ialah dengan melakukan tobat nashuha (tobat yang tulus). ( )

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: "Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa memohon kematian sebelum datang waktunya. Sesungguhnya kematian itu apabila datang kepada salah seorang di antara kamu maka putuslah amalnya, dan sesungguhnya tidak bertambah umur orang mukmin itu melainkan hanya menambah kebaikan baginya." (HR Muslim dalam "adz-Dzikr wad-Du'a wat-Taubah," hadits nomor 2662)

Para ulama mengatakan, "Sebenarnya dimakruhkannya mengharapkan kematian itu hanyalah apabila berkenaan dengan kemudaratan atau kesempitan hidup duniawi, tetapi tidak dimakruhkan apabila motivasinya karena takut fitnah terhadap agamanya, karena kerusakan zaman, sebagaimana dipahami dari hadits Anas di atas. Banyak diriwayatkan dari kalangan salaf yang mengharapkan kematian ketika mereka takut fitnah terhadap agamanya." ( )

Hal ini diperkuat oleh hadis Mu'adz bin Jabal mengenai doa Nabi SAW. "Ya Allah, aku mohon kepada-Mu (agar Engkau menolongku untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemunkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Dan apabila Engkau menghendaki suatu fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku untuk menghadapMu tanpa terkena fitnah."

Hadis ini diriwayatkan Tirmidzi dan beliau berkata, "Hasan sahih." Hadits nomor 3235. Diriwayatkan juga dalam Musnad Ahmad dan disahkan oleh Hakim, sebagaimana juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadis Ibnu Abbas, nomor 3233, dan Imam Ahmad yang disahkan oleh Syakir, hadits nomor 3484.

Selain itu, juga disebutkan dalam beberapa hadits yang membicarakan tanda-tanda hari kiamat bahwa kelak akan ada seseorang yang melewati kubur saudaranya, lalu ia mengatakan, "Alangkah baiknya kalau aku yang menempati tempatnya (kuburnya)." ( )

Tidak disukainya (dimakruhkannya) mengharapkan kematian ini dengan ketentuan apabila hal itu dilakukan sebelum datangnya pendahuluan kematian; namun jika setelah pendahuluan kematian itu datang, maka tidak terlarang dia mengharapkannya karena merasa rela bertemu Allah, dan tidak terlarang pula bagi orang yang meminta kematian karena kerinduannya untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.

Karena itu, dalam bab ini pula Imam Bukhari mencatat hadis Aisyah yang mengatakan, "Saya mendengar Nabi SAW, sambil bersandar pada saya, berdoa: "Ya Allah, ampunilah aku dan kasih sayangilah aku, dan pertemukanlah aku dengan teman yang luhur." (Al-Bukhari, hadits nomor 5674).

Al-Qadhari mengatakan hal ini sebagai isyarat bahwa larangan tersebut khusus untuk keadaan sebelum datangnya pendahuluan kematian. Wallahu'alam. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6581 seconds (0.1#10.140)