Waspada dengan Virus Kejahilan

Rabu, 04 November 2020 - 07:33 WIB
loading...
Waspada dengan Virus Kejahilan
Penyakit kejahilan hanya akan terangkat dengan ilmu, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarinya ilmu yang bermanfaat dan memberinya petunjuk kepada kebaikan. Foto ilustrasi/ist
A A A
Ada banyak faktor yang bisa merusak dan mengganggu keistiqamahan seseorang. Faktor dari dalam diri dan faktor dari luar diri. Salah satu faktor dari dalam diri yang dapat merusak keistiqamahan adalah kejahilan.

"Ini sebab yang terbesar, yaitu kejahilan . Kejahilan akan menyebabkan seseorang bisa saja mengutamakan yang mudharat daripada maslahat bagi dirinya. Karena kejahilan dan kedangkalan ilmu seorang hamba bisa saja lebih memilih mudharat daripada maslahat, lebih memilih keburukan daripada kebaikan. Dan hal ini bukan karena ketidaktahuan, tapi karena kejahilan,"ungkap Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary dalam kajian 'Aktualisasi Akhlak Muslim, kemarin di Jakarta.

(Baca juga : Hati-hati, Jangan Merasa Aman-aman Saja )

Penulis buku "Mencetak Generasi Rabbani' ini menjelaskan, akibat kejahilan menyebabkan timbangan yang dipakainya menjadi terbalik. Ini akibat pemahamannya yang dangkal atau lemah. Ketiadaan ilmu merupakan musibah. Karena ilmu adalah sumber segala kebaikan. Sedangkan ketiadaan ilmu atau kejahilan adalah sumber segala keburukan.

Kecenderungan seseorang melakukan kezaliman , pelanggaran, kekejian, mengerjakan apa yang dilarang, sebab utamanya adalah kejahilan atau bisa juga karena ilmu yang salah, pemahaman yang buruk. Dan ini merupakan musibah terbesar dalam hidup seorang hamba.

(Baca juga : Sebenarnya Darah itu Suci atau Najis? )

Kejahilan itu sendiri adalah penyakit, seperti virus yang berbahaya yang melahirkan penyakit-penyakit yang mematikan. Akan menyeret hamba yang jahil itu kepada kehancuran. Dan siapa saja yang dikuasai oleh penyakit kejahilan ini, maka dia tinggal menunggu kehancuran dirinya. Satu demi satu perbuatan dosa dan maksiat akan dilakukannya seiring dengan hidupnya yang menyimpang dari jalan Allah yang lurus. Sehingga dia akan tunduk kepada syubhat dan syahwat.

Kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya dengan menghidupkan kembali hatinya, menerangi pandangannya, membukakan baginya pintu-pintu kebaikan dan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadis:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan bagi dirinya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat dia paham, membuat dia mengerti, berilmu di dalam agamanya.” (HR. Bukhari dan Mulim)

(Baca juga : Dua Rasa Cinta )

Yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kepadanya ilmu berkaitan dengan agamanya. Sehingga dengan ilmu tersebut dia bisa membedakan yang baik dan yang buruk, itu tanda Allah menghendaki kebaikan, itu pintu gerbang kebaikan. Dari situ akan muncul banyak kebaikan.

Konsekuensi logis dari hadis tersebut, menurut Ustadz Abu Ihsan, adalah barangsiapa yang Allah kehendaki buruk atas dirinya, maka Allah jauhkan dia dari ilmu, Allah biarkan dia jatuh dalam kejahilan, digerogoti oleh penyakit kejahilan. Dan kejahilan itu merupakan pintu gerbang dari semua keburukan-keburukan yang dilakukannya. Dia pun mendatangi pintu-pintu keburukan itu, pintu demi pintu, satu demi satu keburukan itu akan dia lakukan.

(Baca juga : Waspada, Pilpres AS Dapat Meningkatkan Ketidakpastian Pasar )

Dan penyakit kejahilan hanya akan terangkat dengan ilmu, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarinya ilmu yang bermanfaat dan memberinya petunjuk kepada kebaikan. Maka akan terbuka baginya jalan-jalan kebaikan. Itu tanda Allah menghendaki kebaikan atas seorang hamba. Allah buka baginya jalan untuk mendalami dan memahami agamaNya dengan benar. Dia serius dan sungguh-sungguh menuntut ilmu. Sehingga tidak membiarkan dirinya jahil. Dan dia akan selamat dengan ilmu itu.

Tapi sebagian orang justru berasumsi sebaliknya. Ada yang berangan-angan bisa selamat tanpa ilmu. Baginya ilmu justru menjadi beban. Makin banyak tahu makin susah. Ini prinsip sebagian orang yang sangat aneh sebenarnya. Banyak tahu akan membuat kita tambah susah, katanya. Banyak tahu membuat kita lebih tidak selamat, demikian anggapannya. Ini adalah anggapan yang kelirum, ini adalah asumsi yang sangat menyimpang, ini mungkin berasal dari setan yang membisikkan was-was seperti ini ke dalam hatinya. Yaitu dia selamat tanpa ilmu. Padahal ini suatu hal yang mustahil, tidak mungkin seorang itu selamat tanpa ilmu. Tapi inilah yang dihembuskan ke telinga sebagian orang, bahwa dia bisa selamat tanpa ilmu dan dengan kejahilan.

(Baca juga : Tengku Zulkarnain: Boikot Seluruh Produk Prancis sampai Macron Minta Maaf )

Kita tahu bahwa tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga dia ditanya empat perkara, salah satunya adalah tentang ilmunya:

وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ

“Apa yang telah dia amalkan dari ilmunya.”

Orang yang berilmu itu belum tentu selamat dengan ilmunya. Walaupun dia sudah punya modal untuk selamat. Hingga dia ditanya apakah dia telah mengamalkan ilmunya? Apakah ilmu itu bermanfaat bagi dirinya? Ini orang yang menuntut ilmu. Lalu bagaimana pula orang yang tidak memiliki ilmu? Tentunya sangat mustahil dia bisa selamat. Kalaulah orang berilmu belum tentu selamat, bagaimana orang yang tidak berilmu?

(Baca juga : Geger! Pondok Pesantren di Bekasi Diberondong 8 Tembakan )

Selama Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita anugerah yang sangat agung dan sangat besar, yaitu akal, maka tidak ada alasan kita meninggalkan kewajiban menuntut ilmu dan memilih hidup jahil.

Sebagian orang lebih memilih hidup jahil daripada memiliki ilmu. Dia tidak rela jasmaninya lapar, hidupnya merasa tidak bahagia, tapi dia rela hidupnya jahil. Sebagian orang ada yang begitulah prinsipnya di dalam hidup. Itulah yang diamalkannya didalam kehidupannya. Apalagi orang-orang yang memang orientasinya dunia. Ilmu tentang agamanya merupakan hal yang menjadi beban baginya di dalam hidup. Dia merasa tidak tertuntut untuk menggalinya atau melaksanakan kewajiban menuntut ilmu itu seperti yang Nabi sabdakan:

طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, shahih)

(Baca juga : Persoalan Jatah Pengurusan Impor Bukan Hal Baru, Terus Dikeluhkan Pengusaha )

Demikian juga di dalam ayat, Allah memerintahkan kita untuk belajar, menimba ilmu. Yaitu melalui FirmanNya:

…فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾

“Tanyakanlah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Banyak yang tidak kita ketahui dan kita diperintahkan untuk bertanya. Dan ini merupakan perintah untuk menuntut ilmu. Bertanya itu adalah salah satu jalan ilmu, kita mencari tahu.

Jadi itu perintah Allah dan menjadi satu kewajiban atas setiap muslim, kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan ayat yang pertama turun juga perintah untuk membaca, yaitu belajar.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan,” (QS. Al-Alaq : 1)

Itu ayat yang pertama turun kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, perintah untuk membaca. Bahwa seorang muslim tidak boleh patah semangat, kehilangan motivasi untuk menuntut ilmu.

Sebagian orang berkata bahwa menuntut ilmu terus kapan beramalnya? Ini satu perkataan yang sangat kontradiktif. Bagaimana bisa beramal tanpa ilmu? Itu tidak mungkin, itu satu angan-angan, khayalan. Kita bisa salat dengan benar tanpa belajar itu satu hal yang sangat mustahil.

(Baca juga : Temukan Banyak Typo di UU Ciptaker, PKS Belum Tertarik Legislative Review )

Kita contohnya ibadah salat, satu ibadah yang mungkin kita lakukan setiap hari. Mungkin ilmu kita tentang salat masih belum sempurna dan banyak kurangnya, kita belum banyak bertanya tentang salat. Walaupun kita salat dari kecil, tapi kita tidak belajar. Kita hanya melihat orang hsalat lalu kita tiru tanpa kita tahu benar atau tidak apa yang kita tiru itu.

Seringkali kita ulangi bahwa taqlid itu bukan ilmu, ikut-ikutan itu bukan ilmu. Muqallid itu bukan ‘Alim. Maka ini faktor yang merusak keistiqamahan, yaitu kejahilan seseorang. Maka jangan merasa puas hidup jahil. Dan jangan merasa puas dengan sedikit ilmu. Sebagian orang merasa puas dengan sedikit ilmu yang dia miliki. Sehingga dengan modal pas-pasan dia berharap bisa menyelamatkan dirinya.

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2432 seconds (0.1#10.140)