Lelaki ini Menceraikan 5 Perempuan Dalam Satu Hari
loading...
A
A
A
Berikut adalah kisah nyata yang diceritakan al-Asma'i. Namun, sebelum membaca kisah ini, mari kita berkenalan dulu dengan intelektual yang juga penyair moncer pada era Khalifah Harun Al-Rasyid ini.
Menurut C Pellat dalam Encyclopedia of Islam, al-Asma’i yang bernama lengkap Abd al-Malik ibn Quraib al-Asma’i lahir di Basra pada 739 Masehi. Ia bersinar tak hanya di tanah kelahirannya, tapi juga memancar kilaunya di pusat pemerintahan Islam saat itu, Baghdad.
Layaknya para cendekiawan Muslim lainnya, al-Asma’i menimba beragam ilmu pengetahuan dari sejumlah guru yang memiliki kemahiran di bidangnya. George A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam mengungkapkan, al-Asma’i misalnya berguru kepada Sufyan al-Tsawri, yang meninggal pada 1778 Masehi.
Melalui gurunya itu, al-Asma’i mendengarkan 30 ribu hadis . Ia memiliki guru lain yang bernama Abu 'Amr ibn ul-`Ala. Pada masanya, banyak para pelajar belia yang memiliki semangat untuk belajar tentang hadis. Termasuk hadis yang memiliki kaitan dengan kajian adab.
Empat Istri
Nah, Al-Ashma’i pernah bercerita tentang seorang suami yang memiliki empat istri dan dia sosok suami yang bertipe kasar. Suatu saat dia mendapati empat istrinya sedang berkelahi dan ribut, maka dia mengatakan, “Sampai kapan kalian ribut seperti ini?"
Sembari menunjuk salah seorang istrinya, dia menghardik, "Saya yakin ini adalah karena ulahmu!? Pergilah dariku karena aku telah menceraikanmu !”
Mendengar kata talak, istri kedua spontan membela madunya itu dan mengatakan, “Engkau terburu-buru menceraikannya. Andai saja engkau menghukumnya dengan selain talak , niscaya akan lebih bagus.”
“Kamu juga saya ceraikan!” spontan juga suaminya membalas.
Mendengarnya, istri ketiga mengatakan, “Semoga Allah menjelekkanmu, kedua istrimu itu sangat baik denganmu, mereka berdua selalu memuliakanmu, kenapa kamu begitu tega menceraikan keduanya?!”
“Kamu juga sok membela keduanya, saya ceraikan kamu juga,” ucap suaminya makin kalap.
Istri keempat yang dikenal dengan kelembutan mengatakan, “Nanti engkau akan menyesal karena telah menceraikan istri-istrimu.”
“Kamu juga saya ceraikan sekarang,” ujar sang suami dengan suara makin meninggi.
Ternyata kejadian tadi didengarkan oleh istri tetangga rumah yang muncul tiba-tiba seraya mengatakan, “Demi Allah, bangsa Arab tidak menilai kalian lemah kecuali karena melihat perbuatan kalian. Masak kamu menceraikan empat istrimu dalam satu waktu sekaligus!!”
Lelaki ini menjawab, “Kamu juga wahai wanita yang ikut-ikutan membela, diceraikan, jika suamimu menyetujuinya.”
Ternyata suami tetangga tersebut menjawab dari rumah, “Saya telah setuju, saya telah setuju!!!”
Kisah ini tercantum dalam buku karya al-Burquqi berjudul Daulah Nisā‘ halaman 646.
Perselisihan Ulama
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul "Aneh dan Lucu 100 Kisah Menarik Penuh Ibrah" berkomentar di antara faedah fiqih kisah ini bahwa talak model seperti ini adalah sah, hanya saja yang menjadi masalah adalah apakah suami menjatuhkannya dalam keadaan emosi dan marah?
Jika benar demikian maka hal ini kembali kepada perselisihan ulama tentangnya.
Mazhab Syafii berpendapat bahwa talak yang diucapkan ketika marah adalah sah.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengatakan bahwa jatuh talaknya orang yang marah baik secara lahir maupun batin adalah sah.
Mazhab Syafii tidak membedakan antara tahap atau tingkatan marah. Syeikh Zainuddin Al-Malibari mengatakan dalam Fath Al-Mu’in para ulama sepakat atas jatuhnya talak orang yang marah meskipun ia mengaku hilangnya perasaan oleh sebab marah.
Imam Ar-Ramli di dalam Fatawa-nya juga berpendapat demikian, hanya saja ketika kemarahan sampai kepada tahap hilangnya akal, maka dimaafkan, dalam arti ucapan talaknya tidak jatuh.
Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah , ulama bermazhab Hanbali , dalam Ighatsah Al-Lahfan mengklasifikasikan marah ke dalam tiga tingkatan, di antaranya:
1. Kemarahan tahap awal yang tidak sampai mengubah perasaan dan akal pelakunya. Ia menyadari dan menyengaja terhadap segala apa yang ia ucapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa marah dalam tahap ini adalah jatuh talaknya.
2. Kemarahan yang telah mencapai tahap puncak di mana kehendak dan pengetahuan pelakunya sudah tertutup, sehingga ia tidak mengetahui dan tidak menghendaki terhadap apa yang ia ucapkan. Marah dalam tingkatan ini hukumnya sama dengan orang gila, sehingga ucapan talaknya tidak jatuh. Para ulama juga sependapat dalam hal ini.
3. Kemarahan tahap medium atau tengah-tengah di antara dua tahap di atas. Kemarahan dalam tahap inilah yang menjadi perbedaan pendapat. Syaikh Ibnu Qayyim sendiri memilih tidak sah atau tidak jatuhnya ucapan talak dalam tahap ini. Mazhab Hanafi juga berpendapat sama dengan Syaikh Ibnu Qayyim dalam masalah kemarahan pada tahap ini. Namun, ada ulama yang berpendapat talak dalam kondisi marah medium ini tetap sah.
Pangkal perbedaan pendapat para ulama adalah dalam memahami hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِي غَلاَقٍ
Tidak ada talak (yang sah) dan pembebasan dalam ighlaq (HR Abu Dawud no. 2193).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata ighlaq dalam hadis di atas. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Dawud (yang meriwayatkan hadis di atas) berpendapat bahwa ighlaq artinya marah, sedangkan Imam Asy-Syafii mengartikannya dipaksa.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dapat dipahami menurut sebagian ulama, ucapan talak di saat marah (puncak atau medium), itu tidak membatalkan pernikahan.
Namun demikian, hendaknya kita berusaha menjaga sikap dan kata-kata kita ketika sedang marah. Jangan biasakan dengan entengnya mengucapkan kata-kata kasar apalagi mengatakan kata talak saat marah. Apalagi kalau sudah lama membina rumah tangga dan memiliki anak.
Kalau marah maka diam atau menyingkir saja, jangan membentak atau mengucapkan sesuatu yang dapat membuat kita menyesal.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sabar di kala marah itu menyelamatkan kita dari 1000 momen penyesalan di masa depan.”
Wallahu a’lam bish ash-Shawabi.
Menurut C Pellat dalam Encyclopedia of Islam, al-Asma’i yang bernama lengkap Abd al-Malik ibn Quraib al-Asma’i lahir di Basra pada 739 Masehi. Ia bersinar tak hanya di tanah kelahirannya, tapi juga memancar kilaunya di pusat pemerintahan Islam saat itu, Baghdad.
Layaknya para cendekiawan Muslim lainnya, al-Asma’i menimba beragam ilmu pengetahuan dari sejumlah guru yang memiliki kemahiran di bidangnya. George A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam mengungkapkan, al-Asma’i misalnya berguru kepada Sufyan al-Tsawri, yang meninggal pada 1778 Masehi.
Melalui gurunya itu, al-Asma’i mendengarkan 30 ribu hadis . Ia memiliki guru lain yang bernama Abu 'Amr ibn ul-`Ala. Pada masanya, banyak para pelajar belia yang memiliki semangat untuk belajar tentang hadis. Termasuk hadis yang memiliki kaitan dengan kajian adab.
Empat Istri
Nah, Al-Ashma’i pernah bercerita tentang seorang suami yang memiliki empat istri dan dia sosok suami yang bertipe kasar. Suatu saat dia mendapati empat istrinya sedang berkelahi dan ribut, maka dia mengatakan, “Sampai kapan kalian ribut seperti ini?"
Sembari menunjuk salah seorang istrinya, dia menghardik, "Saya yakin ini adalah karena ulahmu!? Pergilah dariku karena aku telah menceraikanmu !”
Mendengar kata talak, istri kedua spontan membela madunya itu dan mengatakan, “Engkau terburu-buru menceraikannya. Andai saja engkau menghukumnya dengan selain talak , niscaya akan lebih bagus.”
“Kamu juga saya ceraikan!” spontan juga suaminya membalas.
Mendengarnya, istri ketiga mengatakan, “Semoga Allah menjelekkanmu, kedua istrimu itu sangat baik denganmu, mereka berdua selalu memuliakanmu, kenapa kamu begitu tega menceraikan keduanya?!”
“Kamu juga sok membela keduanya, saya ceraikan kamu juga,” ucap suaminya makin kalap.
Istri keempat yang dikenal dengan kelembutan mengatakan, “Nanti engkau akan menyesal karena telah menceraikan istri-istrimu.”
“Kamu juga saya ceraikan sekarang,” ujar sang suami dengan suara makin meninggi.
Ternyata kejadian tadi didengarkan oleh istri tetangga rumah yang muncul tiba-tiba seraya mengatakan, “Demi Allah, bangsa Arab tidak menilai kalian lemah kecuali karena melihat perbuatan kalian. Masak kamu menceraikan empat istrimu dalam satu waktu sekaligus!!”
Lelaki ini menjawab, “Kamu juga wahai wanita yang ikut-ikutan membela, diceraikan, jika suamimu menyetujuinya.”
Ternyata suami tetangga tersebut menjawab dari rumah, “Saya telah setuju, saya telah setuju!!!”
Kisah ini tercantum dalam buku karya al-Burquqi berjudul Daulah Nisā‘ halaman 646.
Perselisihan Ulama
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul "Aneh dan Lucu 100 Kisah Menarik Penuh Ibrah" berkomentar di antara faedah fiqih kisah ini bahwa talak model seperti ini adalah sah, hanya saja yang menjadi masalah adalah apakah suami menjatuhkannya dalam keadaan emosi dan marah?
Jika benar demikian maka hal ini kembali kepada perselisihan ulama tentangnya.
Mazhab Syafii berpendapat bahwa talak yang diucapkan ketika marah adalah sah.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengatakan bahwa jatuh talaknya orang yang marah baik secara lahir maupun batin adalah sah.
Mazhab Syafii tidak membedakan antara tahap atau tingkatan marah. Syeikh Zainuddin Al-Malibari mengatakan dalam Fath Al-Mu’in para ulama sepakat atas jatuhnya talak orang yang marah meskipun ia mengaku hilangnya perasaan oleh sebab marah.
Imam Ar-Ramli di dalam Fatawa-nya juga berpendapat demikian, hanya saja ketika kemarahan sampai kepada tahap hilangnya akal, maka dimaafkan, dalam arti ucapan talaknya tidak jatuh.
Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah , ulama bermazhab Hanbali , dalam Ighatsah Al-Lahfan mengklasifikasikan marah ke dalam tiga tingkatan, di antaranya:
1. Kemarahan tahap awal yang tidak sampai mengubah perasaan dan akal pelakunya. Ia menyadari dan menyengaja terhadap segala apa yang ia ucapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa marah dalam tahap ini adalah jatuh talaknya.
2. Kemarahan yang telah mencapai tahap puncak di mana kehendak dan pengetahuan pelakunya sudah tertutup, sehingga ia tidak mengetahui dan tidak menghendaki terhadap apa yang ia ucapkan. Marah dalam tingkatan ini hukumnya sama dengan orang gila, sehingga ucapan talaknya tidak jatuh. Para ulama juga sependapat dalam hal ini.
3. Kemarahan tahap medium atau tengah-tengah di antara dua tahap di atas. Kemarahan dalam tahap inilah yang menjadi perbedaan pendapat. Syaikh Ibnu Qayyim sendiri memilih tidak sah atau tidak jatuhnya ucapan talak dalam tahap ini. Mazhab Hanafi juga berpendapat sama dengan Syaikh Ibnu Qayyim dalam masalah kemarahan pada tahap ini. Namun, ada ulama yang berpendapat talak dalam kondisi marah medium ini tetap sah.
Pangkal perbedaan pendapat para ulama adalah dalam memahami hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِي غَلاَقٍ
Tidak ada talak (yang sah) dan pembebasan dalam ighlaq (HR Abu Dawud no. 2193).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata ighlaq dalam hadis di atas. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Dawud (yang meriwayatkan hadis di atas) berpendapat bahwa ighlaq artinya marah, sedangkan Imam Asy-Syafii mengartikannya dipaksa.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dapat dipahami menurut sebagian ulama, ucapan talak di saat marah (puncak atau medium), itu tidak membatalkan pernikahan.
Namun demikian, hendaknya kita berusaha menjaga sikap dan kata-kata kita ketika sedang marah. Jangan biasakan dengan entengnya mengucapkan kata-kata kasar apalagi mengatakan kata talak saat marah. Apalagi kalau sudah lama membina rumah tangga dan memiliki anak.
Kalau marah maka diam atau menyingkir saja, jangan membentak atau mengucapkan sesuatu yang dapat membuat kita menyesal.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sabar di kala marah itu menyelamatkan kita dari 1000 momen penyesalan di masa depan.”
Wallahu a’lam bish ash-Shawabi.
(mhy)