Efek Pengekangan Agama Kristen dalam Persoalan Talak: Bagai Penjara Abadi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan dari efek pengekangan yang sangat ganjil dari agama Kristen dalam persoalan talak dan bertentangan dengan naluri manusia serta faktor vital yang mengharuskan seseorang bercerai dengan istrinya karena beberapa hal, maka --sebagai akibat dari itu semua-- para pengikut agama ini berani melanggar agamanya dan melepaskan diri dari tuntunan Injil , bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
"Akhirnya mereka tidak dapat berbuat lain selain harus memisahkan apa yang oleh Allah telah dijodohkannya itu," ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Orang-orang Barat yang beragama Kristen sendiri kemudian membuat undang-undang sipil yang membolehkan keluar dari penjara abadi ini.
Menurut al-Qardhawi, di balik itu tidak sedikit dari kalangan mereka, seperti bangsa Amerika , yang berlebih-lebihan dan melepaskan kendali dalam persoalan dibolehkannya bercerai, yang seolah-olah mereka itu satu kesatuan dengan Injil.
Oleh karena itu, mereka menjatuhkan Injil tersebut justru kurangnya pengertian; dan para cerdik-pandainya mengadukan situasi yang krisis ini yang menimpa ikatan perkawinan dan yang mengancam kehidupan berumah tangga serta tata-tertib keluarga, sehingga sementara hakim urusan talaq menegaskan: bahwa kehidupan rumah tangga (perkawinan) akan musnah di negeri mereka dan akan diganti dengan suatu kebebasan perhubungan antara laki-laki dan perempuan pada waktu yang tidak terlalu lama.
Sekarang ini perkawinan dianggapnya sebagai barang perdagangan yang dihancurkan sendiri oleh dua pasangan suami-istri, karena kelemahan sendi-sendinya yang sama sekali berbeda dengan agama-agama lain, lebih-lebih tidak adanya keyakinan dan kecintaan yang mengikat antara dua pasangan suami-istri itu.
Akan tetapi syahwat dan berganti-ganti pasangan adalah jalan-jalan untuk memuaskan nafsu dan mencapai hidup senang.
"Kenyataan inilah yang berlaku dalam undang-undang perkawinan sejalan dengan undang-undang sipil yang berlaku, yang sama sekali bertentangan dengan ajaran agama dan hampir tidak dijumpai selain bangsa Barat yang beragama Kristen," tutur al-Qardhawi.
Seluruh aliran dan kepercayaan, termasuk di dalamnya kaum Brahma, Buddhis, Polytheis dan Majusi, semuanya melaksanakan undang-undang perkawinannya menurut tuntunan agamanya masing-masing.
"Sekalipun kadang-kadang kita dapati di antara mereka ada yang membuat undang-undang sipil dalam beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya," ujar Al-Qardhawi.
Akan tetapi tidak kita jumpai di kalangan mereka yang membuat undang-undang sipil dalam bidang perkawinan yakni dalam urusan perkawinan, talaq dan sebagainya bertentangan dengan ajaran agamanya.
Sebab aliran dan kepercayaan-kepercayaan ini memungkinkan untuk menjalankan praktik hidup dan menyalurkan naluri manusia dalam persoalan ini (baca perkawinan).
Hanya orang-orang Kristen saja yang mengingkari agamanya dari segi praktik perkawinan pada umumnya dan dalam persoalan talaq pada khususnya. Karena mereka sendiri sudah mengetahui, bahwa ajaran agamanya dalam persoalan ini bertentangan dengan realitas dan bersikap masa bodoh terhadap naluri manusia dan tidak mungkin dapat diterapkan dalam kehidupan."
"Akhirnya mereka tidak dapat berbuat lain selain harus memisahkan apa yang oleh Allah telah dijodohkannya itu," ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Orang-orang Barat yang beragama Kristen sendiri kemudian membuat undang-undang sipil yang membolehkan keluar dari penjara abadi ini.
Menurut al-Qardhawi, di balik itu tidak sedikit dari kalangan mereka, seperti bangsa Amerika , yang berlebih-lebihan dan melepaskan kendali dalam persoalan dibolehkannya bercerai, yang seolah-olah mereka itu satu kesatuan dengan Injil.
Oleh karena itu, mereka menjatuhkan Injil tersebut justru kurangnya pengertian; dan para cerdik-pandainya mengadukan situasi yang krisis ini yang menimpa ikatan perkawinan dan yang mengancam kehidupan berumah tangga serta tata-tertib keluarga, sehingga sementara hakim urusan talaq menegaskan: bahwa kehidupan rumah tangga (perkawinan) akan musnah di negeri mereka dan akan diganti dengan suatu kebebasan perhubungan antara laki-laki dan perempuan pada waktu yang tidak terlalu lama.
Sekarang ini perkawinan dianggapnya sebagai barang perdagangan yang dihancurkan sendiri oleh dua pasangan suami-istri, karena kelemahan sendi-sendinya yang sama sekali berbeda dengan agama-agama lain, lebih-lebih tidak adanya keyakinan dan kecintaan yang mengikat antara dua pasangan suami-istri itu.
Akan tetapi syahwat dan berganti-ganti pasangan adalah jalan-jalan untuk memuaskan nafsu dan mencapai hidup senang.
"Kenyataan inilah yang berlaku dalam undang-undang perkawinan sejalan dengan undang-undang sipil yang berlaku, yang sama sekali bertentangan dengan ajaran agama dan hampir tidak dijumpai selain bangsa Barat yang beragama Kristen," tutur al-Qardhawi.
Seluruh aliran dan kepercayaan, termasuk di dalamnya kaum Brahma, Buddhis, Polytheis dan Majusi, semuanya melaksanakan undang-undang perkawinannya menurut tuntunan agamanya masing-masing.
"Sekalipun kadang-kadang kita dapati di antara mereka ada yang membuat undang-undang sipil dalam beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya," ujar Al-Qardhawi.
Akan tetapi tidak kita jumpai di kalangan mereka yang membuat undang-undang sipil dalam bidang perkawinan yakni dalam urusan perkawinan, talaq dan sebagainya bertentangan dengan ajaran agamanya.
Sebab aliran dan kepercayaan-kepercayaan ini memungkinkan untuk menjalankan praktik hidup dan menyalurkan naluri manusia dalam persoalan ini (baca perkawinan).
Hanya orang-orang Kristen saja yang mengingkari agamanya dari segi praktik perkawinan pada umumnya dan dalam persoalan talaq pada khususnya. Karena mereka sendiri sudah mengetahui, bahwa ajaran agamanya dalam persoalan ini bertentangan dengan realitas dan bersikap masa bodoh terhadap naluri manusia dan tidak mungkin dapat diterapkan dalam kehidupan."
(mhy)